Selasa, 3 Oktober 2023
Wisata & Sejarah
Wayang

Jaka Wandara

Selasa, 26 Mei 2015

KISUTA.com - Kesunyian yang mencekam di Goa Tepisbraja, tengah-tengah hutan Setragandamayit, membawa suasana miris yang membuat mengkirik bulu kuduk. Di dalam Goa Batara Kala merenungi nasibnya yang gagal mencari mangsa golongan Sukerta dan Sengkala akibat campur tangan Ki Dalang Kandabuwana penjelmaan Batara Wisnu. Ia merasa iri pada kehebatan kakaknya itu, dan memutuskan untuk pergi bertapa agar bertambah ilmu kesaktiannya.

Berbulan-bulan lamanya ia bersamadi mengendalikan hawa nafsu, membuat kesaktian dan kecerdasannya berkembang pesat. Tidak hanya itu, ia juga menyusun jenis agama baru sebagai pecahan Agama Dewa, yang disebut dengan nama Agama Kala. Semakin hari jumlah murid dan pengikutnya semakin bertambah banyak. Ia lalu mendirikan padepokan sebagai tempat mengajar dan berganti nama menjadi Resi Siwandakara.

Di Jawa Dwipa Kerajaan Medang Siwanda, Maharaja Balya sedang membicarakan adanya agama baru bernama Agama Kala yang diajarkan oleh seorang brahmana berwujud raksasa, bernama Resi Siwandakara. Sri Maharaja Balya merasa resah karena banyak pengikut Agama Siwah yang beralih memeluk Agama Kala. Maka, dititahkannya Resi Kuramba untuk memanggil Resi Siwandakara datang ke Medang Siwanda. Resi Kuramba gagal melaksanakan tugas ini, kesaktiannya jauh di bawah Resi Siwandakara. Akhirnya Sri Maharaja Balya sendiri turun tangan menghadapi Resi Siwandakara. Tujuh hari tujuh malam mereka bertarung adu kesaktian lahir dan bathin...akhirnya mereka sadar, jika pertarungan itu dilanjutkan, mereka akan sampyuh...karena secara lahir, Resi Siwandakara memiliki kelebihan dibanding Sri Maharaja Balya, tetapi secara bathin, Sri Maharaja Balya lebih kuat.

Akhirnya Sri Maharaja Balya membawa Resi Siwandakara bergabung di Kerajaan Medang Siwanda sebagai patih. Bersama-sama mereka menyebarkan Agama Kala sehingga berkembang semakin luas dengan jumlah pengikut yang semakin banyak. Kekuatan ini membuat mereka pongah dan memutuskan menyerang Suralaya untuk menguasai dan menaklukkan mereka.

Pasukan Kerajaan Medang Siwanda yang dipimpin Patih Siwandakara, berangkat menyerbu Gunung Semeru. Sesampainya di sana mereka berhadapan dengan pasukan Kahyangan Suralaya yang dipimpin Kapi Malawapati. Pertempuran besar pun terjadi. Pihak kahyangan mengalami kekalahan di mana Kapi Malawapati tewas di tangan Patih Siwandakara.

Melihat panglimanya mati, pasukan jawata pun kocar-kacir dan mundur ke dalam Kahyangan Suralaya, kemudian menutup pintu gerbang rapat-rapat.

Di dalam Kahyangan Suralaya, Batara Indra memerintahkan para jawata untuk membuat berbagai senjata pusaka demi menghadapi kekuatan Sri Maharaja Balya. Para jawata tersebut adalah anggota keluarga Batara Ramayadi dan Batara Anggajali yang berjumlah lima belas orang.

Mendengar hal itu, Patih Siwandakara segera menyusup ke Gunung Mahameru dan memasang tumbal penolak bala untuk menarik kekuatan gaib senjata-senjata pusaka buatan kelima belas jawata tersebut. Hal ini diketahui Batara Bayu yang datang ke Kahyangan Suralaya untuk membantu Batara Indra. Ia pun mengirimkan angin topan yang menghempaskan Patih Siwandakara beserta para pengikutnya hingga kembali ke Kerajaan Medang Siwanda.

Suatu hari datang dua orang jin wanita bersaudara dari Kerajaan Madyasamodra, bernama Ratu Adiyana dan Patih Adiyati. Mereka menghadap Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda untuk mendapatkan pelajaran Agama Kala. Sri Maharaja Balya menerima kedatangan mereka dengan senang hati dan memenuhi apa yang mereka inginkan. Dua Jin wanita ini mengajak Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara ke Kerajaan Madyasamodra menyebarkan agama baru ini.

Para penduduk jin di Kerajaan Madyasamodra menyambut baik pelajaran Agama Kala yang disampaikan Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara. Kemudian Sri Maharaja Balya menikahi Ratu Adiyana, sedangkan Patih Siwandakara menikahi Patih Adiyati. Mereka pun hidup bersenang-senang di Kerajaan Madyasamodra terbius oleh nikmat duniawi lupa segalanya.

Enam tahun berlalu, Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara baru sadar kalau mereka sudah lama tinggal di Kerajaan Madyasamodra, sehingga lupa pada kewajiban di Kerajaan Medang Siwanda. Keduanya pun memutuskan untuk kembali ke Kerajaan Medang Siwanda, demi melanjutkan rencana menyerang Kahyangan Suralaya yang sudah tertunda sekian lama. Ratu Adiyana dan Patih Adiyati menyatakan siap membantu, dan mereka pun membawa serta pasukan jin Madyasamodra untuk menambah kekuatan pihak Medang Siwanda.

Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka waspada dengan pergolakan di Jawadwipa, diperintahkannya Batara Brahma dan Batara Wisnu untuk membantu Batara Indra. Batara Wisnu lalu mengubah wujudnya menjadi seorang cebol bernama Jaka Wandara, sedangkan Batara Brahma mengubah wujudnya menjadi seekor banteng sakti bertubuh besar.

Jaka Wandara menggiring si banteng besar menghadang rombongan Sri Maharaja Balya yang sedang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Medang Siwanda.

Sri Maharaja Balya: Tobil..tobil anak kadal pada seliweran....iki bocah bajang ngangu banteng...siapa kamu dan apa maksudmu menghadang perjalananku?

Jaka Wandara: Prabu Balya, kembalilah ke kerajaanmu, sadarlah..Ngati Ati Milih Laku, Lakum Gawa Nasibmu...berhati-hatilah mengambil tindakan, karena itu akan membawa nasibmu...

Sri Maharaja Balya: Eee si cebol kok malah sok memberi nasehat, berani benar...

Jaka Wandara: Aku Jaka Wandara, kesombongan telah membalut rasamu hingga kewaspadaanmu terkikis, dan engkau melihat aku hanya dari wadagku..hhmm..Balya, kamu itu durung punjul kasusu kaselak jujul, kaseselan hawa, cupet kapepetan pamrih, Tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa....lihatlah dirimu, Belum lagi mampu, ingin terlihat pandai, didorong hawa nafsu berakibat pikiran sempit, hanya karena ingin disanjung, yang seperti ini tidak akan mungkin dekat dengan Sang Khalik.

Sri Maharaja Balya mengejek Jaka Wandara yang bertubuh cebol, tidak mungkin memiliki cukup kesaktian untuk melawan seorang maharaja. Jaka Wandara menjawab kesaktian itu kehendak Tuhan Yang Esa. Sri Maharaja Balya tersinggung menantang si cebol dan bantengnya. Tantangan itu diterima, dan terjadilah pertempuran di antara mereka.

Sri Maharaja Balya mengerahkan segenap kekuatan, namun tidak mampu menandingi kesaktian Jaka Wandara. Begitu pula dengan Patih Siwandakara juga tidak mampu mengalahkan banteng besar yang dihadapinya. Akhirnya, Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara pun mengubah wujud masing-masing menjadi raksasa sebesar gunung. Anehnya, Jaka Wandara juga mampu mengubah wujudnya menjadi raksasa yang jauh lebih besar lagi. Kakinya amblas ke dasar bumi, sedangkan kepalanya melebihi tingginya tujuh lapis angkasa. Bahkan, tangannya mampu meraih bebatuan meteor yang melayang-layang di luar angkasa.

Sementara itu, si banteng besar juga telah mengubah wujudnya menjadi gunung api yang berkobar-kobar membakar segalanya. Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara tidak kuat menghadapi hawa panas yang membara, ditambah dengan hujan batu meteor yang dilemparkan raksasa penjelmaan Jaka Wandara. Akhirnya, mereka tidak kuat menahan sakit dan menyerah kalah.

Sri Maharja Balya bertobat menyadari kesalahan dan keserakahannya. Ia lalu kembali ke wujud Batara Siwah dan pulang ke Tanah Hindustan menghadap Batara Guru. Sementara itu, Patih Siwandakara kembali ke wujud Batara Kala dengan perasaan sangat kecewa dan dendam kesumat. Ia memilih pulang ke tempat tinggalnya di Setragandamayit untuk kembali bertapa demi menambah kesaktian.

Batara Brahma dan Batara Wisnu kemudian berbagi tugas menangani para pengikut Sri Maharaja Balya tersebut. Batara Brahma bertugas memimpin para pengikut yang berwujud makhluk kasar, yaitu bangsa manusia, raksasa, dan binatang; sedangkan Batara Wisnu memimpin pengikut yang berwujud makhluk halus, yaitu bangsa jin, siluman, peri, dan gandarwa. Mereka menasehati ratu Adiyana dan patih Adiyati untuk tidak lagi menggunakan kemolekannya menggoda iman manusia, dan mengembalikan dua jin wanita itu kembali ke Madyasamodra.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR