Selasa, 3 Oktober 2023
Wisata & Sejarah
Mahabharata

Kedukaan Orang Tua

Kamis, 14 Mei 2015

KISUTA.com - Yudhistira amat berduka. Katanya: "Dia telah berpulang. Dia yang mengalahkan Durna, Aswatama, dan Duryudana di medan perang dan menjelma menjadi api yang membakar pasukan musuh telah pergi untuk selamanya. Oh, kesatria yang telah membuat Dursasana lari tunggang langgang, apakah engkau benar-benar telah tiada? Sekarang, apa gunanya perang ini bagiku? Mengapa kita menuntut hak kita atas kerajaan? Kata-kata penghiburan macam apakah yang bisa aku katakan kepada Arjuna? Apakah yang bisa aku katakan kepada Subadra, yang menangis seperti induk api yang kehilangan anaknya? Memang benar, keserakahan menghancurkan maksud baik manusia. Aku ini seperti orang bodoh yang berusaha mendapatkan madu, tapi malah jatuh ke dalam jurang. Betapa dungunya aku memerintahkan anak muda yang bermasa depan gilang gemilang ini maju ke medan perang karena ambisiku untuk meraih kemenangan. Tidak ada orang yang sedungu aku. Alih-alih melindungi putra kesayangan Arjuna, aku justru membuatnya terbunuh."

Demikian Yudhistira menyesali keputusannya di perkemahan. Dia dikelilingi para penasihat dan sahabat yang semuanya duduk diam diliputi duka cita yang mendalam.

Seperti biasanya, Begawan Wiyasa datang menghibur para Pandawa ketika mereka berduka. Bagi mereka Begawan Wiyasa adalah mahaguru dan sekaligus kakek. Maka, dia pun datang dan menghibur Yudhistira. Begawan itu diterima dengan penuh hormat dan hangat. Setelah mempersilakan duduk, Yudhistira berkata kepada sang begawan: "Kakek Resi, aku telah berusaha keras memperoleh ketenangan jiwa, tapi tidak sanggup mendapatkannya."

Kata Wiyasa: "Engkau orang bijaksana. Tidak baik membiarkan diri larut dalam kesedihan. Karena engkau telah mengerti makna kematian, tidak semestinya engkau bersedih seperti orang tidak berpendidikan."

Wiyasa berusaha menghibur Yudhistira: "Ketika Brahma menciptakan makhluk hidup, dia diliputi rasa cemas. Mereka akan berkembang biak dan kelak jumlah mereka akan melebihi kemampuan yang bisa ditanggung bumi. Tampaknya, tidak ada jalan keluar untuk masalah ini. Kegelisahan itu berkembang menjadi api yang terus dan terus membesar hingga mengancam semua makhluk ciptaan seketika itu juga. Untunglah, Rudra segera datang dan memohon Brahma supaya menenangkan api yang bisa menghancurkan semuanya itu. Brahma berkenan mengindahkan permohonan itu. Kemudian, ia kendalikan api itu dan mengubahnya menjadi sebuah hukum, yang kemudian dikenal sebagai kematian. Hukum ini bisa mewujud dalam berbagai bentuk, seperti misalnya perang, wabah penyakit, atau bencana. Hukum ini menjadi keseimbangan antara kelahiran dan kematian. Dengan demikian, kematian merupakan hukum kehidupan yang tidak bisa dielakkan dan memang dimaksudkan untuk kebaikan dunia. Tidaklah bijaksana menyesali kematian atau terlalu bersedih karena kematian seseorang. Tidak ada alasan untuk menyayangkan kepergian mereka yang telah pergi menghadap Yang Kuasa. Ada lebih banyak alasan untuk bersedih bagi mereka yang masih hidup."

Setelah mengucapkan kata-kata penghiburan itu, Krishna Dwipayana mohon diri.

Dananjaya dan Krishna sedang menuju ke perkemahan setelah berhasil mengalahkan serta membantai Raja Susarma dan pasukannya.

Kata Arjuna: "Pikiranku rasanya tidak tenang. Aku tidak tahu mengapa demikian. Rasanya mulutku kering dan hatiku merasa sedih seolah kehilangan sesuatu. Aku khawatir sesuatu terjadi pada Yudhistira. Aku merasa khawatir, Krishna."

Jawab Krishna: "Jangan khawatirkan Yudhistira. Dia dan saudara-saudaramu yang lain selamat."

Di jalan, mereka berhenti sejenak untuk melakukan doa sore. Mereka turun dari kereta dan berjalan kaki menuju kemah. Ketika mendekati perkemahan, hati Arjuna semakin gundah.

"Janardana, mengapa kita tidak mendengar bunyi alat musik dan suara orang-orang menyanyi seperti biasanya. Ketika melihatku orang-orang menundukkan kepala dan menghindar bersitatap denganku. Oh, Madhawa, aku sangat takut. Apakah menurutmu saudara-saudaraku tidak apa-apa. Aku bingung. Mengapa Abimanyu tidak berlari menyongsongku, bersama saudara-saudaranya seperti biasanya?"

Mereka masuk perkemahan.

"Mengapa kalian semua menampakkan wajah sedih? Aku tidak melihat Abimanyu. Mengapa aku tidak melihat keceriaan di sini? Aku tahu Durna mengatur pasukan Kurawa dalam formasi kembang teratai. Sejauh aku tahu tidak ada di antara kalian yang bisa menembus formasi itu. Apakah Abimanyu memaksakan diri menjebol formasi itu? Jika benar demikian, ia pasti mati. Aku belum mengajarinya cara keluar dari formasi itu. Apakah benar ia telah tewas?"

Karena semua tidak ada yang menjawab dan semakin tunduk tak berani menatap matanya, Arjuna menjadi yakin bahwa Abimanyu telah tewas. hatinya remuk redam.

"Ya, Hyang Widhi, anakku terkasih telah menghadap Batara Yama. Yudhistira, Bimasena, Dristadyumna, dan Satyaki, apakah kalian biarkan anak Subadra tewas di tangan musuh? Oh, Hyang Widhi, apa yang bisa aku katakan kepada Subadra? Apa yang akan aku katakan kepada Drupadi? Apa yang akan kusampaikan kepada Uttari? Siapa yang sanggup menyampaikan kabar duka ini kepada mereka?"

Wasudewa berusaha menghibur sahabatnya yang sedang mendapat cobaan berat: "Arjuna terkasih, jangan biarkan dirimu larut dalam kesedihan. Sebagai kesatria kita harus hidup dan mati di ujung pedang. Kematian adalah sahabat bagi orang-orang yang telah bertekad mengangkat senjata dan pergi berperang. Seorang kesatria harus siap bahkan mati muda. Abimanyu, anak muda yang berani itu, telah mendapatkan kebahagiaan yang diidam-idamkan para kesatria tua di medan perang. Kematian Abimanyu adalah kematian yang diidamkan oleh semua kesatria. Jika engkau membiarkan diri larut dalam kesedihan, saudara-saudaramu dan para raja yang lain akan kehilangan semangat bertarung. Singkirkan dukamu dan tularkanlah keberanian dan kepercayaan di hati mereka.”

Dananjaya ingin mendengarkan kisah kematian putranya. Yudhistira menceritakan apa yang terjadi: “Aku perintahkan Abimanyu untuk menerjang masuk ke dalam formasi musuh. Hanya dia yang bisa menerjang masuk formasi itu. Aku katakan kepadanya: ‘Jebollah formasi bunga teratai itu dan kami akan mengikuti di belakangmu. Tugas besar ini akan membuat ayah dan pamanmu senang’. Pahlawan muda itu melakukan apa yang aku perintahkan. Dia jebol formasi pasukan Kurawa. Sesuai rencana kami mengikuti di belakangnya. Tapi, tanpa diduga Jayadrata menghalangi jalan kami. Celah yang berhasil dibuat Abimanyu langsung ditutup dan membuat kami tidak bisa mengejar Abimanyu. Pasukan kerajaan Sindhu menyulitkan kami untuk masuk. Dan kemudian, sungguh memalukan –para kesatria yang melakukan ini semestinya merasa malu. Abimanyu dikeroyok para kesatria utama Kurawa dan terbunuh.”

Mendengar kisah kematian Abimanyu, Arjuna sekali lagi terlarut dalam kesedihan. Saking sedihnya, ia jatuh ke tanah dan pingsan.

Setelah sadar, dia bersumpah: “Sebelum matahari terbenam, aku akan bunuh Jayadrata yang menyebabkan kematian putraku. Jika Durna dan Kripa menghalangiku, akan kubunuh kedua mahaguru itu.”

Setelah berkata demikian, Arjuna melepaskan anak panah dari Gandewa dan Krishna meniup Panchajanya. Kata Bima: “Lepasnya anak panah dari Gandewa Arjuna dan tiupan terompet Panchajanya akan berarti kematian bagi anak-anak Destarata!”* C. Rajagopalachari/”Kitab Mahabharata” – kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR