KISUTA.com - Setelah melewati diskusi panjang dengan para Narpati dan Panglimanya Rama Wijaya, memutuskan mulai memimpin wadya bala wanara bergerak menuju Alengka Diraja dalam upaya menyelamatkan Sinta.
Pasukan Pancawati dipimpin anoman, Anggada dan Anila, segera berangkat meninggalkan Pancawati, mereka menembus hutan Dandaka, melintasi gunung Maliawan, berhari-hari, ber bulan-bulan, sampai akhirnya sampai di tepi pantai yang memisahkan daratan Pancawati dengan Alengka. Samudra Hindia luas membentang.
Gulungan ombak tersaput bayu...seakan permainan gelombang perasaan Rama...buih-buih kerinduan pada istri tercinta, mendorong rasanya untuk bertindak..sampai buih-buih itu di hempaskan ke atas karang kenyataan...pecah harapannya...bak gulungan ombak yang pecah tersibak karang-karang tajam di bibir pantai. Rama termangu sedih mendapati kenyataan tak seindah impian. Bayangan Sinta, istri yang sangat dicintainya perlahan memudar dari benaknya, terpagut hempasan ombak samudra yang terbentang di hadapannya. Narpati Sugriwa, Laksmana, Anoman, Anila, Anggada, dan seluruh pasukan kera yang ada pun tak mampu berbuat banyak untuk membuat Sri Rama tersenyum.
Prabu Rama menerawang jauh seakan menembus luasnya samudra, berulang kali nafasnya di hela panjang... Ooo Sinta juwita hatiklu...andai hanya aku, Laksmana, Anoman, Sugriwa sampai Anggada yang harus menembus samudra hindia ini...mungkin tak masalah dengan kesaktian masing-masing.. tapi bagaimana dengan prajurit dan wadya bala wanara... Dahi Rama berkerut, tanpa sadar, tangan kanannya mengusap-usap dagunya... Narpati Wibisana menyaksikan kegalauan rajanya..perlahan-lahan dia mendatangi Rama.
Wibisana: Sembah saya Ooo..Nalendra Agung...adakah yang bisa saya lakukan untuk mengurai ke galauan paduka.
Rama: Wibisana..aku sedang memikirkan cara, bagaimana mengurangi korban dari prajurit dan wadya bala kita jika menyeberangi samudra yang luas dan ganas ini...
Wibisana: Duh sang prabu, makin takluk hamba dengan kebesaran hati paduka...sedemikian berat kesengsaraan bathin yang paduka sandang...dipisahkan secara keji dengan tambatan hati...berniat mengambil hak paduka yg di curi kakak hamba...tetapi paduka tidak membabi buta...masih saja memikirkan orang lain yang mendukung paduka...
Rama: Wibisana... Sepira gedhene sengsara yen tinampa amung dadi coba....seberapapun besarnya kesengsaraan itu, kalau bisa diterima dengan ikhlas..hanya akan menjadi suatu cobaan..ujian...Sekarang kita coba lalui ujian ini dengan kemampuan kita...Dengan demikian, kita tidak berhenti untuk merenungi nasib tanpa berbuat apa-apa...bantulah aku memikirkan, bagaimana cara paling aman membawa prajurit dan wadya bala kita menyeberangi samudra ini Wibisana.
Wibisana: Ya sang nalendra...usul saya...bagaimana kalau kita membangun tambak. Dengan mengerahkan seluruh wadya bala dan kekuatan kita, mungkin tak sampai sebulan kita akan mampu menyelesaikan pembangunan tambak tersebut.
Rama menyetujui usulan Wibisana, segera diperintahkannya para prajurit membangun Pesanggrahan untuk memulai rencana membangun Tambak di bibir pantai itu. Wibisaana mendapatkan tenda tersendiri, yang letaknya bersebelahan dengan tenda Prabu Rama dan Laksmana, karena tugasnya sebagai pelaksana dan perancang Tambak.
Sementara itu, mata-mata Alengka, Kala Marica melaporkan kepada Prabu Rahwana tentang rencana pembangunan bendungan tersebut. Prabu Rahwana merasa cemas dengan rencana Prabu Rama tersebut. Mendengar itu, Prabu Rahwana memerintahkan Detya Kala Yuyu Rumpung untuk membawa seluruh pasukan raksasa kepiting yang ada di Samudera Hindia, untuk menghancurkan tambak buatan pasukan wanara Pancawati.
Yuyu Rumpung berwujud raksasa berkepala ketam (jawa =yuyu). Ia adalah salah satu punggawa kerajaan Alengka anak haram Prabu Rahwana dengan siluman yuyu yang ditempatkan di dalam samudra. Yuyu rumpung sangat sakti. Ia dapat hidup di dalam air dan darat.
Detya Kala Yuyu Rumpung siap melaksanakan perintah Prabu Rahwana. Ia akan mengerahkan seluruh yuyu rumpung di Samodera Hindia, untuk menggagalkan pembangunan tambak Prabu Rama. Berangkatlah Detya Kala Yuyu Rumpung ke Samodera Hindia. Tentu saja Detya Kala Marica ikut pergi ke Samodera Hindia, mengawasi jalannya eksekusi pasukan Prabu Rahwana pada tambak Prabu Rama.
Sementara itu di Pancawati, Prabu Rama sedang berembug dengan Narpati Sugriwa, Laksmana, Anoman, Anggada, Anila dan para punggawa yang lain. Prabu Rama merencanakan pembuatan tanggul di Samudera Hindia, dari Pancawati sampai tanah Alengka, untuk membawa pasukan Pancawati sebanyak-banyaknya.
Akhirnya mereka mulai membendung samudera Hindia. Para pasukan kera Pancawati bahu-membahu membuat bendungan dengan batu dan batang pohon dari hutan di sekitar Pancawati. Wibisana membantu pembuatan tambak dari Pantai Pancawati sampai ke negeri Alengka. Dalam waktu sekejab Wibisana menciptakan tambak yang kokoh dan kuat. Anoman kemudian mencoba tambak yang baru diciptakan Wibisana.
Belum beberapa lama tambak itu dicoba oleh Anoman, tambak itu ambrol dan hancur. Tambak ciptaan Wibisana menjadi runtuh. Di saat seperti ini Wibisana bagai teruji kesetiaannya pada Prabu Rama. Beberapa tokoh senapati meminta agar Wibisana diusir saja dari Pancawati, karena bisa saja niat Wibisana mau menghancurkan Pancawati dari dalam. Mereka tidak bisa sepenuhnya percaya pada Wibisana adik kandung Rahwana. Wibisana tak bisa berbuat apa apa. Pikirannya melayang kembali ke kakaknya, Prabu Rahwana, Wibisana berpikiran lebih baik tinggal di Alengka, dari pada setelah meninggalkan tanah kelahirannya, ternyata sesampai di tempat Prabu Rama yang asing baginya, dianggap mata-mata musuh. Dalam hatinya menangis, teringat pula kakaknya, Kumbakarna yang sempat mau mengikuti kepergiannya. Wibisana terdesak pikiran-pikiran yang mestinya tidak perlu.
Rama: Ada apa Wibisana? Mulai aku lihat keraguan dalam setiap tindak tandukmu.
Wibisana: Duh sinuwun...hamba merasa tidak berguna...segala daya telah hamba lakukan untuk mewujudkan pembangunan tambak ini, tetapi semua hancur karena kebodohan hamba...ditambah rasa curiga dari para kawula...semua itu sungguh membuat hamba gamang.
Rama: Wibisana...aku percaya padamu. Bukankah itu jauh lebih penting dari segala kecurigaan di sekitarmu? Lamun sarwa putus, kapinteran sipenen ing pungkur, bodhonira katokna ing ngarsa yekti, gampang traping tindak tanduk, amawas pambekaning wong (serat wedharaga – R.Ng Ranggawarsito)... jika engkau sudah paham apa yang harus engkau lakukan, simpanlah kepandaianmu di belakang, tunjukkan ketidak tahuanmu di depan, hal itu akan memudahkan caramu bersikap dan memahami sikap orang kepadamu...
Wibisana: Duh sinuwun...terima kasih..sungguh paduka sangat memahami bagaimana harus bersikap memahami orang lain secara santun tanpa menonjolkan diri sendiri...saya akan melaksanakan nasehat paduka.
Rama: Ya Wibisana... Manise netra ruruh, angedohken mring salah tampi, wong kang trap sileng tata, tan agawe rengu, wicara lus kang mardawa, iku datan kasendhu marang sasami, wong kang rumaket ika (Serat Darmawasita – Mangkoenegara IV)... menunjukan muka manis dengan pandangan mata lembut, akan menjauhkan kesalahpahaman, orang yang menerapkan tata susila, tidak akan diragukan orang, orang yang bicaranya halus, tidak akan diumpat orang, semua itu menunjukan keakraban pada sesama...
Prabu Rama percaya pada Wibisana, karena Wibisana pasti mengetahui seluk beluk pertahanan Alengkadiraja. Dengan beberapa nasehat yang diberikan, hati Wibisana makin kuat mengabdi...sikapnya mulai berubah, akhirnya Wibisanapun mampu meraih kepercayaan para kawula.
Pembangunan Tambak kembali dimulai dengan semangat baru...tapi persoalan selalu runtuhnya bendungan lama-lama menjadi tak masuk akal. Jika tambak telah tegak berdiri pada pagi dan siang hari...kemudian saat petang para kawula diistirahatkan untuk menghemat tenaga. Saat mereka bangun pagi harinya tambak telah jebol, hancur berantakan tidak berujud lagi.
Menurut perkiraan Wibisana, keruntuhan-keruntuhan yang terjadi pada tambak tersebut, akibat ulah pasukan Prabu Rahwana. Wibisana meminta Prabu Rama untuk mengerahkan seluruh kera kera Yuyu Kingkin, yang berada di hutan Pancawati, ke Tambak Situbanda yang telah dibuat Perajurit Pancawati. Kapi Yuyu Kingkin yang merupakan kera pujan Bathara Baruna, siap mengerahkan ribuan kera yuyu kingkin, yaitu kera berkepala kepiting di hutan Pancawati mengusir pengganggu dari Alengka. Kapi Yuyu Kingkin adalah satu satu satu nya jenis kera, yang mempunya capit yuyu yang kuat, sanggup menyelam berjam-jam di dalam Samudera.
Dalam melakukan operasi tesebut, ditugaskan pula Kapi Sarpacitra untuk membatu. Kapi sarpacitra adalah kera pujaan Batara Cakra, seorang dewa yang juga berkedudukan sebagai pujangga kayangan. Ia berwujud kera berkepala ular dan memiliki ekor yang sangat panjang.
Pasukan Pancawati pun bertindak. Kapi Yuyu Kingkin beserta pasukan dan Kapi Sarpacitra menyelam ke dasar lautan. Benar saja sesuai perkiraan Wibisana, tambak yang dibangun ternyata dirusak oleh pasukan Alengka yang dipimpin Kala Yuyu Rumpung, Kala Yuyu Rumpung si anak haram Rahwana.
Setelah menemukan penyebab runtuhnya Tambak, maka Kapi Yuyu Kingkin dan Kapi Sarpacitra berhadapan dengan Kala Yuyu Rumpung. Terjadilah pertarungan yang dahsyat diantara mereka di tengah samudra.
Demikian dahsyatnya pertempuran itu hingga air samudra bergolak bagai diaduk dan menimbulkan banjir besar di sekitarnya. Karena kewalahan menghadapi Kala Yuyu Rumpung di dalam air, Kapa Sarpacitra melilit tubuh Yuyu Rumpung dengan ekornya yang panjang dan dibawa ke daratan. Kapi Yuyu Kingkin pun ikut kembali ke daratan. Pertempuran pun kembali berlanjut. Ternyata di darat Yuyu Rumpung tak sehebat jika bertarung di dalam air dan akhirnya tewas di tangan Kapi Yuyu Kingkin.
Pasukan Pancawati bersorak-sorak menyambut kemenangan ini, pembangunan tambak segera di laksanakan. Sesudah tidak ada lagi gangguan dari pasukan Alengka, Pasukan Pancawati dan Wibisana, lebih lancar melaksanakan pembangunan tambak, mereka bahu membahu dalam membuat tambak ke Alengka.
Para prajurit kera dikerahkan untuk mengambil batang pohon dan batu yang berada di Pasanggrahan Maliawan, Di kaki gunung ini mereka mendapat gangguan sekelompok kera hitam di bawah pimpinan Endang Suwareh dan Bambang Suweda, anak Suwareh, Oleh Anggada dan Anila gangguan itu dapat dikalahkan, bahkan Endang Suwareh dasn segenap anak buahnya kemudian dipaksa membantu membuat bendungan.
Maka jadilah tanggul itu dan akhirnya pasukan kera yang jumlahnya ribuan itu bisa diberangkatkan ke Alengka Diraja. Mereka termasuk para kera ciptaan Dewa, seperti Cucak Rawun, Endrajanu, Bakliwinata, Baliwisata, Indrajanu, serta lainnya berbaris rapi, bagaikan tentara yang perkasa, siap ke medan laga, menjemput maut, demi membela kebenaran. Tambak ini dikenal dengan Tambak Situbondo. Dan konon tambak yang menghubungkan India dengan Srilangka, masih ada, yang menyerupai pulau pulau kecil di ujung Srilangka.
Setelah bendungan menjelang selesai tiba-tiba diterjang gelombang besar sehingga batang-batang pohon itu hanyut. Hal ini membuat Sri Rama marah, maka ia melepaskan anak panah Suwarah Geni ke dalam laut dan seketika itu air surut.
Tak lama kemudian Sang Hyang Baruna menampakan diri serta berjanji akan membantu dalam pembuatan bendungan, asalkan Rama mengembalikan air laut yang surut itu, sehingga makhuk di laut tidak mati. Dengan segenap keberanian yang dimilikinya, Baruna pun mengingatkan Rama Wijaya untuk tak putus asa dan ragu-ragu dalam bertindak. Karena sebagai seorang pemimpin, keraguan dan keputusasaan adalah jurang kematian yang siap merenggut nyawa rakyat yang dipimpinnya. Rama pun kembali bangkit. Dan dengan bantuan Baruna, Sri Rama pun bahu membahu bersama para pasukan kera menyelesaikan pembangunan tambak tersebut.
Dalam waktu yang singkat bendungan dapat diselesaikan serta para bala tentara kera mulai menyeberang menuju ke Alengka.
Di perjalanan tentara Rama dihadang oleh raksasa dari Alengka yakni Agrisraba, Rahibaya, dan Rahirebata. Mereka menyerang bala tentara kera sehingga menjadi kalang kabut.
Para raksasa dari utusan Rahwana itu akhirnya dapat dibunuh oleh prajurit kera yang dipimpin oleh Kapi Yasraba, Kapi Rekata dan Kapi Menda.
Tidak sabar dengan keadaan bendungan yang sangat mengkhawatirkan karena adanya gangguan dari prajurit Alengka. Anoman yang khawatir akan keselamatan tentara yang melewati bendungan itu, melakukan triwikrama, tubuhnya menjadi besar dan membawa para prajurit kera terbang ke daratan Alengka. Setelah sebagian besar pasukan dapat menyeberang Rama memerintahkan mereka beristirahat dan membangun Pesanggrahan di Suwelagiri.
Rama: Narpati Sugriwa, Wibisana, adikku Laksmana, Anoman, Anggada, Anila dan para panglima lain...kumpulkan pasukan kalian masing-masing...beristirahatlah dahulu untuk memulihkan tenaga...namun waspadalah...
Ràgàdi musuh maparö, ri hati ya tonggwanya tan madoh ring awak.(kakawin ramayana)...
Hawa Nafsu adalah musuh kita yang utama...adanya dalam diri kita sendiri...tidak jauh dari badan kita...
Sugriwa: Sinuwun...sabda paduka sangat dalam maknanya... hamba mohon pencerahan paduka.
Rama: Paman Narpati Sugriwa..hawa nafsu yang menjadi musuh kita itu adalah Kama, Lobha, Krodha, Mada, Moha, Matsarya. ...maknanya adalah keinginan , ketidakpuasan, kemarahan, kemabukan, kebingungan, dan iri hati... Jika keinginan tidak terpenuhi...orang akan cenderung tidak puas, yang akhirnya menimbulkan kemarahan, dalam amuk kemarahan yang tidak terkendali manusia akan mabuk dan membiarkan dirinya lepas tanpa kendali...kalau sudah demikian mereka akan masuk dalam tataran kebingungan...mencari-cari alasan dan pembenaran diri yang kadang tak masuk akal..memburu kebutuhan dan kemenangan diri pribadinya saja...dan terakhir iri dengki lah yang akan ditonjolkan karena tidak terpenuhinya hasrat yang sesat tadi...semua dianggap musuh, bahkan orang terdekat yang sebenarnya peduli dan prihatin dengan kesesatannya...
Laksmana: Kakanda...benar sekali sabda paduka...tetapi betapa berat melaksanakannya...
Rama (tersenyum): Jangan ditolak dan dianggap berat Laksmana...jalankan saja dengan ikhlas...mulailah dengan pasukan kalian masing-masing...perhatikan gelagat mereka, waspadalah..dan tetaplah bijak sebagai pemimpin.
Semua tertunduk mendengar nasehat Rama, mereka merasa beruntung sebuah ilmu kebijaksanaan bisa mereka terapkan pada pribadi mereka dan pasukan kecil mereka masing- masing.*
Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com