Selasa, 3 Oktober 2023
Wisata & Sejarah
Mahabharata

Widura

Sabtu, 15 November 2014

MANDAWYA adalah seorang resi yang memperoleh kekuatan jiwa dan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang kitab-kitab suci. Ia bertapa di hutan dan menjalankan kebajikan-kebajikan sebagaimana diajarkan ajaran suci. Ia tinggal di tengah pertapaan di tengah hutan. Suatu hari ketika ia sedang khusyuk bermeditasi di bawah pohon yang rindang di luar pondoknya, segerombolan penyamun masuk ke pertapaannya. Mereka melarikan diri dari kejaran pasukan kerajaan. Mereka mengira akan aman di pertapaan tersebut. Mereka menyimpan hasil rampasan dan bersembunyi. Sementara itu, pasukan kerajaan mengikuti jejak mereka sampai di pertapaan.

Komandan pasukan itu bertanya kepada Resi Mandawya yang sedang khusyuk bertapa, dengan nada perintah yang tidak bisa ditawar-tawar: "Wahai petapa, apakah engkau melihat segerombolan penyamun? ke arah mana mereka pergi? Jawab cepat! Biar kami bisa segera menangkap mereka!" Resi Mandawya yang sedang khusyuk bertapa tidak menjawab. Komandan itu mengulangi pertanyaannya dengan kasar.

Tetapi resi yang sedang khusyuk itu tetap diam seribu bahasa. Sementara itu, beberapa pasukan masuk ke dalam pertapaan dan melakukan penggeladahan. Mereka menemukan barang-barang rampasan. Mereka segera melapor pada komandan pasukan. Mendengar laporan itu, komandan menyuruh pasukannya masuk dan melakukan penggeledahan. Dan memang benar, mereka menemukan barang-barang rampasan dan para penyamun yang sedang bersembunyi.

Komandan pasukan itu berpikir: "Sekarang, aku mengerti mengapa brahmana ini pura-pura diam dan khusyuk dalam semadi. Dialah sebenarnya pimpinan penyamun. Dialah otak perampokan." Kemudian, komandan itu menyuruh pasukannya untuk mengepung pertapaan, sementara ia pergi menghadap raja dan melaporkan bahwa Resi Mandawya ditangkap bersama dengan barang-barang hasil rampasan.

Raja amat marah dengan kelancangan kepala perampok yang berani menyamar menjadi seorang resi yang disegani. Tanpa memeriksa kebenaran laporan tersebut, raja segera menjatuhkan hukuman siksa dengan tombak.

Komandan pasukan itu kembali ke pertapaan. Ia perintahkan pasukannya untuk menyiksa resi itu dengan tombak. Kemudian, mereka kembali ke istana dengan membawa barang-barang rampokan.

Meskipun tubuhnya tercabik-cabik tombak, resi suci itu tidak mati. Berkat kekuatan yoga, ia tetap hidup. Kabar tentang resi suci itu segera menyebar. Para pertapa yang tinggal di sekitar pertapaan berdatangan. Mereka bertanya mengapa ia mengalami penderitaan yang sedemikian mengenaskan.

Resi Mandawya menjawab: "Siapa yang bisa dipersalahkan? Pasukan raja hanya melaksanakan kewajiban mereka, yaitu melindungi rakyat dari kejahatan."

Mendengar bahwa resi yang disiksa dengan tombak ternyata masih hidup dan bahwa ia sedang dikerumuni resi-resi petapa hutan itu, raja sangat terkejut dan menjadi cemas. Ia segera bergegas dengan pasukannya menuju ke hutan. Raja langsung memerintahkan resi itu diturunkan dari tombak. Sambil berlutut menyembah, raja minta ampun atas perbuatan keji yang ia perintahkan.

Resi Mandawya sama sekali tidak marah kepada raja. Ia segera menghadap Begawan Dharma, pewarta keadilan Ilahi, yang sedang duduk di singgasananya. Ia bertanya: "Kejahatan apakah yang pernah hamba lakukan sehingga hamba menerima hukuman seperti ini?"

Begawan Dharma, yang tahu kesaktian Resi Mandawya, menjawab dengan hati-hati: "Resi Mandawya, kau telah menyiksa burung dan lebah. Apakah engkau tidak tahu semua perbuatan, apakah itu baik atau jahat, sekecil apa pun, pasti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal!"

Resi Mandawya terkejut mendengar jawaban Begawan Dharma. Tanyanya: "Kapankah aku melakukan perbuatan itu!"

Begawan Dharma menjawab: "Ketika engkau masih kanak-kanak."

Resi Mandawya lalu mengucapkan kutukan pada Begawan Dharma: "Hukuman yang kau berikan sungguh keterlaluan. Terlalu berlebihan untuk seorang kanak-kanak yang belum tahu apa-apa. Karena itu, kau akan lahir di dunia menjadi manusia."

Begawan Dharma yang terkena kutukan Resi Mandawya kelak bereinkarnasi sebagai Widura, pelayan Ambalika, istri Wicitrawirya.

Kisah ini mau mengatakan bahwa Widura adalah inkarnasi Begawan Dharma. Para pemuka dunia menghormati Widura sebagai seorang mahatma yang amat mumpuni dalam pengetahuan tentang dharma, kitab-kitab sastra, dan ketatanegaraan. Ia sama sekali tidak memiliki ambisi dan tidak pernah marah. Bhisma mengangkatnya menjadi penasihat utama, ketika ia masih berusia belasan tahun.

Begawan Wiyasa menggambarkan Widura sebagai orang yang paling berpengetahuan dan paling bijak di ketiga dunia. Ketika Raja Destarata mengizinkan putra-putranya untuk berjudi dadu, Widura langsung bersimpuh di kaki raja sambil berkata: "Tuanku Raja, hamba tidak menyetujui keputusan tersebut. Putra-putra Tuanku hanya akan berselisih dan bertikai karena judi. Mohon dipertimbangkan kembali."

Prabu Destarata juga berusaha dengan berbagai macam cara untuk menghentikan putranya yang jahat. katanya: "Jangan lakukan permainan itu. Widura --yang bijaksana dan berpengetahuan mendalam serta bersih dari ambisi apa pun-- tidak menyetujuinya. Katanya permainan itu hanya akan menimbulkan perselisihan dan pertikaian yang getir dan dapat menghancurkan keluarga dan kerajaan kita. Tetapi, Duryudana telah menutup telinga pada nasihat ayahnya. Cintanya pada putranya membuat Raja Destarata tidak kuasa menolak permintaan mereka. Bahkan, ia mengirimkan undangan yang meminta Yudhistira untuk ikut berjudi dadu.* C. Rajagopalachari/”Kitab Mahabharata” – kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR