Rabu, 1 Mei 2024
Sastra & Humor

UKW, dari Benci Jadi Rindu

Minggu, 3 September 2023
awis1.jpg
Wasmowiyoto/KISUTA.com
BUPATI Ciamis, Yana D. Putra, membuka Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Angkatan 69 dan 70 PWI Provinsi Jawa Barat di Ciamis, Kamis (31/8/2023).*

KISUTA.com - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Barat dengan didukung Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tahun 2023 ini mencatat rekor dalam penyelenggaraan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) di tanah air. Gubernur Jawa Barat, Ridwal Kamil, dengan didasari semangat kolaborasi menyediakan kuota bagi 1.000 wartawan, baik bagi anggota PWI maupun non-PWI, untuk mengikuti UKW.

Dalam pelaksanaannya selama delapan bulan hingga terakhir di Kabupaten Ciamis (angkatan 69 dan 70) tanggal 30-31 Agustus 2023 lalu, tercatat peserta 648 orang dan 483 orang di antaranya dinyatakan kompeten. Artinya kuota 1.000 peserta tersebut tidak tercapai dan yang dinyatakan kompeten (lulus) pun tidak mencapai 50 persen dari kuota yang disediakan oleh Pemprov Jabar.

Angka tersebut resmi dikemukakan oleh Ketua PWI Provinsi Jabar, Hilman Hidayat. Sekalipun jumlah pesertanya tidak mencapai target, pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2023 di Medan, Sumatera Utara, PWI Jabar memperoleh penghargaan dari PWI Pusat.

Dengan tambahan angka dari PWI Jabar tersebut, hingga kini tercatat lebih kurang 18.000 wartawan anggota PWI (jenjang muda, madya, dan utama) di seluruh Indonesia telah dinyatakan kompeten. Jumlah itu tentu saja berdasarkan catatan pelaksanaan UKW sejak 2011, tahun awal penyelenggaraan UKW di tanah air.

Jumlah sekitar 18.000 wartawan kompeten tersebut baru dari yang tercatat di PWI Pusat. Belum termasuk jumlah wartawan kompeten yang mengikuti UKW melalui organisasi wartawan atau lembaga uji yang lain (non-PWI). Bisa saja jumlahnya berlipat, tapi yang jelas masih jauh dari jumlah keseluruhan wartawan di seluruh Indonesia.

Kalau ada yang bertanya, berapa sebenarnya jumlah wartawan di Indonesia saat ini? Jumlahnya pasti beragam dan tidak ada angka yang pasti. Termasuk Dewan Pers pun belum tentu mampu menjawab secara pasti. Karena pernah atau bahkan sering muncul kelakar, hanya Tuhan yang tahu jumlah sebenarnya wartawan di Indonesia.

Latar belakang penyelenggaraan UKW
Setelah datangnya era reformasi tahun 1998, muncul kritik bahwa pers nasional telah kebablasan. Mengapa? Karena setelah tidak ada lagi ketentuan perlunya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sebagaimana dikehendaki UU No. 40/1999 tentang Pers, media massa tumbuh bagai jamur di musim hujan.

Apalagi setelah datang era digital, segera menjamur media online sehingga mencapai puluhan ribu di seluruh Indonesia. Bayangkan saja jika masing-masing media online itu mempunyai sejumlah wartawan, katakanlah masing-masing lebih kurang sepuluh orang, berarti di seluruh Indonesia terdapat ratusan ribu wartawan. Belum lagi content creator.

Pendek kata, munculnya kritik bahwa pers nasional kebablasan tersebut telah dijawab dengan munculnya Piagam Palembang. Piagam itu disepakati dan ditandatangani oleh pimpinan 19 kelompok perusahaan pers.

Poin satu dalam Piagam Palembang itu berbunyi, “Kami menyetujui dan sepakat, bersedia melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan, serta akan menerapkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di perusahaan kami”.

Lahirnya Piagam Palembang itu diikuti dengan lahirnya Standar Kompetensi Wartawan (SKW), atau yang dalam penerapannya disebut UKW. SKW disusun atau dirumuskan oleh wartawan, organisasi pers, perguruan tinggi, tokoh pers, pengamat pers, lembaga pelatihan jurnalisme, perusahaan pers, dan lembaga pemerintah yang terkait langsung dengan persoalan pers. Ada 104 orang pembahas dan perumus, terdiri atas dua penasihat, satu ketua perumus, 11 anggota perumus, dan 90 pembahas. (Pedoman UKW, Penerapan SKW, LPDS dan Yayasan TIFA, bekerja sama dengan Panitia HPN 2012)

Ada enam manfaat SKW yaitu: Meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan; Menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers; Menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik; Menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual; Menghindari penyalahgunaan profesi wartawan; Menempatkan watawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.

Mata uji UKW pun –untuk jenjang muda, madya, dan utama-- ditambah sebagai upaya perbaikan atau penyempurnaan. Pada tahun 2019 lalu mulai ditambah satu mata uji baru yakni tentang Hukum Pers, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan Peraturan Terkait Pers. Terkait peraturan pers itu dimasukkan pertanyaan tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA). Dengan tambahan itu jumlah mata uji untuk jenjang muda dan madya masing-masing menjadi 10 dan jenjang utama menjadi 9.

Peraturan tentang kepesertaan UKW pun diperbaiki. Semula peserta mengikuti UKW langsung sesuai posisi kerja di perusahaan media. Reporter mengikuti UKW jenjang muda, redaktur mengikuti jenjang madya, dan redaktur pelaksana/pemimpin redaksi mengikuti jenjang utama. Kemudian, sejak tahun 2019 itu, baik reporter, redaktur, maupun redpel/pemred harus mengikuti UKW sejak jenjang muda.

Kesan dan pesan peserta
Pada acara penutupan UKW selalu diagendakan ada perwakilan peserta (jenjang muda, madya, dan utama) untuk memberikan kesan dan pesan. Secara umum mereka menyatakan menyambut baik atas penyelenggaraan UKW. Mereka merasa mendapat banyak pengetahuan baru atau alih pengalaman dari para penguji.

Tidak sedikit dari mereka yang menyatakan bahwa, “pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki sebelum ikut UKW ternyata masih jauh dari materi uji dan pengetahuan kewartawanan yang disampaikan para penguji”. Dengan pengakuan secara jujur dan rendah hati, kemudian mereka merasa harus terus belajar dan bersikap rendah hati pasca-UKW.

Sikap positif para peserta yang telah dinyatakan kompeten itu jauh berbeda dengan saat awal sekali penyelenggaraan UKW tahun 2011. Ada saja pernyataan yang bernada merendahkan penyelenggaraan UKW dan juga posisi penguji (asesor) UKW. Sebagai anggota asesor UKW PWI Pusat, penulis masih ingat pernyataan ketus, “Siapa Anda berani menguji kami?”

Jadi, kalau pada tahun-tahun terakhir ini kesan dan pesan para peserta UKW yang sudah kompeten bernada positif, hal itu ibarat “sikap benci tapi rindu UKW”. Perubahan sikap itu besar kemungkinan juga karena berlakunya ketentuan verifikasi dari Dewan Pers. Antara lain tentang keharusan pemimpin redaksi sebuah media berbadan hukum harus sudah mengikuti UKW jenjang utama dan dinyatakan kompeten.

Sementara itu, para penguji umumnya juga bersikap ingin terus belajar. Apalagi disadari, era digital --mau tidak mau-- harus diikuti dengan peningkatan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan dalam kerja jurnalistik multiplatform. Dalam berbagai diskusi informal, kalangan penguji PWI Pusat juga menyambut baik tentang perlunya materi uji disesuaikan lagi dengan perkembangan mutakhir.

Sebagai konstituen Dewan Pers, Pengurus PWI Pusat layak memperhatikan dan menampung saran dan masukan dari para penguji UKW PWI Pusat, untuk kemudian dibawa ke Dewan Pers.* wasmowiyoto-kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya