Kamis, 2 Mei 2024
Sastra & Humor

Mengenal Adinegoro dan Anugerah Jurnalistik Adinegoro PWI

Minggu, 8 Oktober 2023
adinegoro3.jpg
Net
ADINEGORO yang nama aslinya Djamaluddin Gelar Datuk Maradjo Sutan.*

KISUTA.com - Panitia Tetap Anugerah Jurnalistik Adinegoro Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tanggal 5 Otkober 2023 lalu mengumumkan penerimaan karya-karya jurnalistik untuk diikutsertakan dalam Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2023.

“Anugerah Jurnalistik Adinegoro merupakan apresiasi PWI untuk masyarakat pers yang bekerja dengan semangat profesionalisme. Sebagaimana anugerah olahraga dan anugerah kebudayaan,” ujar Ketua Umum PWI Pusat, Hendry Ch. Bangun.

Anugerah Jurnalistik Adinegoro yang merupakan penghargaan tertinggi untuk karya jurnalistik Indonesia itu, tahun ini bertema “Merawat Semangat Kebangsaan dan Demokrasi”. Menurut Ketua Panitia Tetap Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2023-2024, Rita Sri Hastuti, ada tujuh kategori Anugerah Jurnalistik Adinegoro dengan total hadiah uang tunai sebesar Rp 245 juta.

Ketujuh kategori tersebut yakni, Liputan Berkedalaman (Indepth Reporting) untuk media cetak (AA1), media siber (AA2), media televisi (AA3), media radio (AA4); karya foto jurnalistik untuk media cetak dan siber (AA5), karya karikatur opini untuk media cetak dan siber (AA6), dan karya jurnalistik video media sosial (AA7).

Karya-karya peserta dikirim paling lambat tanggal 30 November 2023 pukul 23.59 WIB melalui https://s.id/ADINEGORO2023. Para peserta dinilai berdasarkan karya-karya yang sudah dipublikasikan, ditayangkan, atau disiarkan di media cetak, media siber, media televisi, media radio, atau media video media sosial periode 1 Desember 2022 hingga 30 November 2023.

Pengiriman naskah sudah dibuka sejak 1 Oktober 2023 dan ditutup pada 30 November 2023. Penjurian berlangsung pada bulan Desember dengan dewan juri terdiri atas tokoh pers, pengamat, dan akademisi yang menguasai bidang jurnalistik sesuai kriteria penilaian dan bekerja secara profesional.

Sebagaimana disebutkan di atas, pemenang untuk setiap kategori akan mendapatkan hadiah uang tunai sebesar Rp 35 juta. “Kami harapkan kalangan jurnalis Indonesia berpartisipasi dan ikut-serta dalam penghargaan bergengsi ini tanpa melupakan Kode Etik Jurnalistik,” ujar Rita Sri Hastuti.

Adinegoro, Pejuang dan Perintis Pers
Lomba Karya Jurnalistik Adinegoro dimulai sejak tahun 1974. Saat itu diselenggarakan oleh PWI Cabang Jakarta Raya. Tahun 1994 lomba karya tulis dialihkan dan diselenggarakan oleh PWI Pusat, yang menjadi rangkaian kegiatan Hari Pers Nasional. Sementara untuk Lomba Karya Jurnalistik PWI Jaya mengabadikan nama Anugerah MH Thamrin.

Rakyat Indonesia khususnya generasi muda wartawan layak untuk mengenal lebih jauh sosok Adinegoro.

Nama asli Adinegoro adalah Djamaluddin Gelar Datuk Maradjo Sutan, lahir pada 14 Agustus 1904 di Tawali, Sawahlunto, Sumatera Barat. Dialah orang Indonesia pertama yag secara formal mempelajari ilmu publisistik di Jerman, selain mempelajari geografi, geopolitik dan kartografi.

Dari kegemarannya membaca, Djamaluddin tertarik ingin mengemukakan pendapat dan pikirannya di suratkabar. Tulisan pertamanya dimuat di Tjahaja Hindia, yang diterbitkan Landjumin Datuk Tumenggung. Untuk menarik perhatian pembaca, nama Adinegoro selalu dicantumkan pada setiap tulisannya, dari situlah muncul nama Adinegoro.

Pada tahun 1930, Adinegoro kembali ke Indonesia dan menerima tawaran menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Pandji Poestaka. Kemudian pindah ke Medan menjadi pemimpin di Pewarta Deli, selain itu dia juga memimpin Majalah Abad XX.

Tulisan Adinegoro terkenal karena analisisnya yang tepat, rubrik “Pandangan Luar Negeri”nya menjadi bacaan yang paling disukai.

Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 1945, Adinegoro diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Sumatera. Soekarno mengenal Adinegoro sebagai sosok serba bisa, sebagai sastrawan yang lebih terkenal jadi wartawan dan tokoh pemikir argumentatif, serta memiliki jaringan lobi yang kuat di mancanegara. (Anugerah Jurnalistik Adinegoro, Kumpulan Karya Pemenang Tahun 2010 & 2011, Persatuan Wartawan Indonesia, Edisi Khusus HPN 2013)

Soekarno pada 1952 mendapat kejutan dari Adinegoro. Bersama sahabatnya saat berkelana di Eropa (1926-1930), Mattheus van Randwijk, tiba-tiba saja Adinegoro beraudiensi ke Presiden Soekarno menyerahkan buku Atlas Semesta Dunia berbahasa Indonesia. Ini atlas pertama berbahasa Indonesia.

Atlas tersebut disusun Adinegoro, van Randwijk, Adam Bachtiar dan Sutopo di Amsterdam, Belanda lantaran mereka ingin mendapatkan hasil yang presisi dan berkualitas. Tidak lama kemudian, Adinegoro dan kawan-kawannya tadi menerbitkan atlas itu untuk menjadi referensi siswa sekolah se-Indonesia.

Dua tahun kemudian, Presiden Soekarno dan bangsa Indonesia kembali mendapat hadian tidak ternilai harganya secara intelektual dari Adinegoro. Ensiklopedia Umum dalam Bahasa Indonesia (1954) karya Adinegoro diterbitkan. Ini pertama kali bangsa Indonesia memiliki ensiklopedia berbahasa Indonesia yang disusun oleh orang asli Indonesia. Sebelumnya telah ada ensiklopedia sejenis disusun dan diterbitkan W. van Hoeve Ltd yang berkantor pusat di Den Haag, Belanda.

Tahun 1951 Adinegoro mengambil alih pimpinan bekas kantor berita Belanda, Aneta, yang namanya diganti Pers Biro Indonesia Aneta (PIA). Pada 1962 PIA digabung oleh Presiden Soekanro menjadi Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA.

Sampai akhir hayatnya Adinegoro bekerja di LKBN ANTARA. Pada 1972 dia dianugerahi penghargaan Perintis Pers, mendirikan Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta dan Fakultas Publisistik dan Jurnalistik Universitas Padjadjaran (Unpad). Adinegoro meninggal 8 Januari 1967 di Jakarta dalam usia 63 tahun.

Sederhana, disiplin, pekerja keras
Almarhumah Astrid Adinegoro Soerjo, anak bungsu dari lima bersaudara anak Adinegoro, memberi kesaksian berikut, “Ayah, begitu kami menyapa beliau, adalah sosok yang sederhana, disiplin, tidak banyak bicara, pekerja keras dan tekun. Sebagai seorang ayah beliau penyayang dan penuh perhatian”.

“Beliau menyediakan waktu untuk berpiknik ke pantai Cilincing atau ke Puncak, yaitu di akhir sekolah jika kami mendapatkan nilai yang bagus. Di mana pun beliau berada selalu membuat catatan dan sketsa pemandangan. Suatu ketika nanti pasti kami ditanyai mengenai apa yang kami lihat dan alami di sana, dan beliau akan membuka catatan sambil memperlihatkan sketsanya”.

“Kita harus bersyukur dengan segala karunia Tuhan dan menjaganya,” tutur Astrid mengutip pesan ayahnya.

Menurut Astrid, “Hal yang menarik adalah penjelasan beliau mengapa belajar mengenai topografi di sela-sela belajar jurnalistik di Jerman?”

“Rupanya keinginan beliau agar rakyat Indonesia tahu betapa indah dan besarnya kepulauan kita dibandingkan dengan Belanda yang menjajah kita. Simbol keberadaan perlu ada di dalam tulisan seorang wartawan. Karenanya, buku beliau ‘Melawat ke Barat’ yang berupa catatan perjalanan yang dimuat Majalah Pandji Poestaka selalu mencantumkan peta kecil dan bercerita mengenai daerah-daerah yang disinggahi tersebut”.* wasmowiyoto-kisuta.com


KATA KUNCI

BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya