Kamis, 2 Mei 2024
Sastra & Humor

Miris, Indonesia dalam Situasi Darurat Kekerasan Anak

Rabu, 11 Oktober 2023
anak1.jpg
Net
LEBIH 70 persen anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan baik dari luar maupun dari dalam lingkungannya.*

KISUTA.com - Negara tercinta kita, Indonesia, ternyata hari-hari ini dalam keadan darurat kekerasan anak. Situasi ini membuat hati miris, cemas, atau risau. Mungkin hanya para oknum pelaku tindak kekerasan itu yang tidak merasa sedih. Mungkin mereka sedang tergoda iblis, sehingga tega melakukan kekerasan.

Selasa 10 Oktober 2023 lalu muncul berita di Pikiran Rakyat berjudul “Darurat Kekerasan, Tingkatkan Perlindungan Anak”. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai dunia pendidikan tengah berada dalam kondisi darurat kekerasan. Hal ini karena data pelanggaran perlindungan anak cenderung mengalami kenaikan setiap bulannya.

Anggota KPAI, Aries Adi Leksono mengungkapkan, terdapat ratusan kasus terkait kekerasan terhadap anak yang masuk ke KPAI pada Januari-Agustus 2023. Rinciannya, 87 kasus terkait korban perundungan, 236 kasus terkait korban kekerasan fisik, dan 487 kasus terkait korban kekerasan seksual.

Data itu, menurut Aries, cenderung naik setiap bulannya sehingga perlu mendapatkan perhatian bersama untuk menekan penurunan angka kekerasan anak, khususnya di lingkungan satuan pendidikan.

KPAI memberikan perhatian serius atas maraknya kasus di satuan pendidikan dengan mengambil langkah cepat melakukan pengawasan langsung pada kasus kekerasan tersebut.

Aries menyebutkan, KPAI mengawasi langsung kasus kekerasan anak pada sekolah di Rembang, Batam, kasus SDN Jakarta Selatan, kasus pelajar SMP di Cilacap, hingga kasus pelajar MTs di Balikpapan.

Pemerintah pusat dan daerah harus melakukan langkah konkret pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Keduanya dinilai perlu mengoptimalkan peran Tri Pusat Pendidikan, yaitu keluarga, masyarakat, dan satuan pendidikan. Peran mereka akan lebih berdampak dalam mengatasi masalah kekerasan di satuan pendidikan karena bersentuhan langsung dengan peserta didik.

Kekerasan seksual tertinggi
Data 2023 yang dikemukakan Aries tadi menunjukkan jumlah kejadian kekerasan seksual terhadap anak (487 kasus) merupakan yang tertinggi. Sekalipun untuk tahun 2023 itu masih tersisa beberapa bulan lagi, mudah-mudahan tidak terjadi lagi tindak kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual.

Para orangtua memang layak terus berusaha dan berdoa agar tindak kekerasan dimaksud tidak terjadi lagi. Mengapa? Karena data tahun-tahun sebelumnya sungguh membuat miris. Sangat merisaukan!

Coba simak catatan Sistem Informasi Online dan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Simfoni Kemen PPA) berikut ini. Pada tahun 2019 terjadi 6.454 kasus terkait kekerasan anak, kemudian 6.980 kasus pada tahun 2020, naik menjadi 8.703 kasus pada tahun 2021, dan melonjak menjadi 16.106 kasus pada tahun 2022. (mpr.go.id, Sabtu, 28/1/2023)

Angka-angka tersebut mengindikasikan bukan lagi telah terjadi kenaikan, tapi lebih pas disebut terjadi lonjakan atau malah pelipatgandaan peristiwa kekerasan terhadap anak. Ironisnya, kekerasan seksual kepada anak mencapai 9.588 kasus atau merupakan yang terbanyak pada tahun 2022 itu.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Lestari Moerdijat, menyebut peningkatan kasus tersebut dipicu oleh semakin terbuka dan beraninya masyarakat melaporkan terjadi kasus tindak kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual.

Kaji mendalam faktor penyebab
Selain faktor meningkatnya keberanian masyarakat untuk melapor, tentu perlu dilakukan pengkajian secara mendalam apa saja yang menjadi faktor penyebab terjadinya lonjakan kasus kekerasan –termasuk kekerasan seksual yang dominan-- tersebut.

Misalnya, apakah konten-konten pornografis dan kekerasan media sosial yang bisa diakses para pemilik telepon pintar pada gilirannya ikut mempengaruhi perilaku negatif masyarakat? Ataukah terjadinya penurunan indikator iklim keamanan sekolah ikut berpengaruh?

Data Rapor Pendidikan yang baru dirilis Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), September 2023, menunjukkan penurunan 3 poin untuk jenjang SMP, yang semula 68,25 turun menjadi 65,29. Lalu penurunan drastis 5 poin jenjang SMA, yang semula 71,96 menjadi 66,87.

“Permendikbudristek Nomor 46 Agustus 2023 seolah macan kertas, galak di tulisan namun lemah dalam implementasi di sekolah. Semula diharapkan mampu mencegah terjadi kekerasan, namun yang terjadi malah sebaliknya,” kata Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, merinci data kekerasan terhadap anak tersebut berdasarkan jenjang sekolah. Yakni, 46,67 persen kasus terjadi di tingkat Sekolah Dasar (SD), 33,33 persen di Pondok Pesantren, 13,33 persen di jenjang SMP, dan 7,67 persen di SMK. (detik.com/edu, Rabu, 26/7/2023)

Perlu penanganan khusus
Pakar Psikiatri Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), dr. Yunias Setiawati mengatakan, permasalahan kekerasan seksual di Indonesia membutuhkan penanganan khusus. Sebab, ada 70 persen anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan baik dari luar maupun dari dalam lingkungannya.

Menurut Yunias, perlu adanya penyelesaian yang panjang karena angka kekerasan seksual pada anak di Indonesia cukup besar. Salah satu usia yang rentan mengalami kekerasan yaitu pada usia di bawah 5 tahun.

“Kita harus menyelesaikan permasalahan ini agar tidak semakin berkepanjangan di masa mendatang, karena dapat mengganggu keberlangsungan hidup dari sang anak,” tuturnya dikutip dari laman resmi Unair.

Yunias Setiawati juga menjelaskan pentingnya mengenal jenis kekerasan seksual pada anak yaitu secara langsung dan tidak langsung. “Catcalling” termasuk salah satu yang kerap terjadi di kalangan anak dan remaja. Parahnya, masyarakat kerap kali meremehkan catcalling, namun hal tersebut berdampak besar bagi korbannya.

“Salah satu bentuk catcalling yakni melalui sapaan dengan tujuan tertentu. Sapaan tersebut mengandung makna lain. Hal tersebut yang harus kita hindari,” terangnya.

Dokter Yunias mengingatkan bahwa semua orang bisa rentan untuk mengalami kekerasan seksual baik perempuan maupun laki-laki. Sebagian besar dari korban mengalami fenomena gunung es, yakni kondisi di mana kekerasan yang dilaporkan sangat sedikit dibandingkan dengan yang tidak.

Mayoritas dari korban enggan untuk melapor dan speak up atas kekerasan yang mereka alami. Hal itu menjadi bahaya karena anak-anak akan merasa terancam jika mereka melapor kepada pihak luar atas kekerasan yang mereka alami.

Karena itu sangat penting bagi semua orang --tidak hanya pendidik dan orangtua-- untuk mengedukasi korban untuk tidak takut melapor. Hal ini perlu adanya penanganan pertama untuk para korban agar rasa trauma berangsur menghilang. Lakukan deteksi dini pada anak jika dirasa ada hal yang mengganjal selama berkegiatan sehari-hari.* wasmowiyoto-kisuta.com


KATA KUNCI

BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya