Kamis, 2 Mei 2024
Sastra & Humor

Nasib Buruh Versi UU Cipta Kerja

Jika kehadiran UU Cipta Kerja itu direnungi dengan cermat, maka wajar jika para orangtua menginginkan lebih baik anak dan keturunannya kelak bisa menjadi pengusaha saja. Bukan sebagai buruh, apalagi buruh yang berada di tingkat bawah.

Kamis, 12 Oktober 2023
aburuh1.jpg
Net

KISUTA.com - Mungkin tidak ada orangtua di tanah air tercinta ini yang menginginkan anak, cucu, dan keturunannya kelak hanya menjadi buruh. Mengapa? Sebab, dengan berlakunya UU Cipta Kerja (UU No. 6 Tahun 2023), nasib buruh boleh dibilang tidak akan sebaiknya masa sebelumnya.

Jadi, apa pun profesi mentereng para orangtua dewasa ini, jika kelak anak dan keturunannya terpaksa hanya menjadi buruh, tentu nasibnya akan tergambar seperti yang dimaui UU Cipta Kerja. Mungkin para orangtua yang saat ini berprofesi sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pejabat tinggi pemerintah, akan merenung lebih dalam ketika anak dan keturunannya terpaksa hanya menjadi buruh.

Jika kehadiran UU Cipta Kerja itu direnungi dengan cermat, maka wajar jika para orangtua menginginkan lebih baik anak dan keturunannya kelak bisa menjadi pengusaha saja. Bukan sebagai buruh, apalagi buruh yang berada di tingkat bawah.

Kehadiran UU Cipta Kerja sebaiknya justru dijadikan motivasi agar para buruh yang kini penghasilannya relatif baik pada gilirannya dapat menjadi pengusaha. Minimal bermula dari menjadi pengusaha kecil atau menengah dan kelak dapat menjadi pengusaha besar.

Tentu tidak mudah untuk mengubah nasib dari semula sebagai buruh kemudian berangsur berubah menjadi pengusaha. Untuk itu diperlukan proses –secara bertahap—menjadi wirausahawan. Kelak jika berhasil berubah menjadi pengusaha –syukur menjadi pengusaha besar—jangan bersikap pelit kepada para buruhnya.

Dampak pengesahan UU Cipta Kerja
Membahas kehadiran UU Cipta Kerja memang tergantung dari mana kita melihatnya. Berikut ini setidaknya menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). YLBHI mencatat ada sembilan poin dampak disahkannya UU Cipta Kerja. (Pikiran Rakyat, Rabu, 4/10/2023)

1. Pengesahan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja semakin merugikan para buruh.
2. Melegalkan praktik fleksibilitas hubungan kerja yang semakin tak melindungi buruh dengan kontrak kerja atau PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu).
3. Mendorong praktik outsourcing (alih daya) semakin liar dan tidak terkontrol.
4. Memutihkan dosa dengan hilangnya peraturan akan beralih menjadi perusahaan user jika melanggar.
5. Penambahan alasan hubungan pemutusan kerja (PHK) dan pengurangan kompensasi PHK menjadi alasan yang memudahkan perusahaan melakukan PHK kepada buruh. Sehingga kepastian kerja dan hak terhadap buruh menjadi minim.
6. Melegalkan praktik fleksibilitas waktu kerja. Pengusaha dapat memperpanjang waktu kerja buruh.
7. Perusahaan dapat mengurangi hak istirahat buruh. Hal ini terlihat dalam batasan maksimal waktu lembur semula maksimal 3 jam sehari dan 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu.
8. Tidak memiliki aturan pasal tentang jangka waktu serta mekanisme perpanjangan kontrak kerja. Sehingga aturan ini berpotensi dijadikan alasan bagi pengusaha untuk menjadikan buruh sebagai pekerja kontrak seumur hidup.
9. Melegalkan praktik fleksibilitas upah. Aturan ini dapat terlihat dalam aturan tentang penentuan besaran upah yang dimonopoli oleh pemerintah dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) tanpa melibatkan serikat buruh dalam penentuan upah.

Pengkhianatan demokrasi dan konstitusi
Gagasan tentang UU Cipta Kerja alias omnibus law pertama kali diungkap Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya sebagai presiden periode kedua pada 20 Oktober 2019. Kemudian pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR dikebut. Bahkan untuk meloloskan aturan itu menjadi UU, anggota dewan sampai rela menggelar rapat maraton.

Berbagai kalangan langsung menggugat UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi aturan itu berlangsung panjang dan baru diputuskan setahun setelah UU Cipta Kerja berlaku, tepatnya 25 November 2021. MK menyatakan UU No. 11 Tahun 2020 inskonstitusional bersyarat.

Satu tahun setelah putusan MK, pemerintah tiba-tiba menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Aturan itu ditandatangani Presiden Jokowi, Jumat 30 Desember 2022.

Putusan MK yang menolak seluruh gugatan uji formil terhadap UU Cipta Kerja dipandang oleh YLBHI sebagai memalukan. YLBHI menyatakan, putusan itu sangat mengkhawatirkan dan menunjukkan pengkhianatan nyata para hakim konstitusi terhadap demokrasi dan konstitusi. Di lain pihak, kalangan buruh menyatakan bahwa mereka akan terus melawan.

YLBHI menilai, MK telah mengingkari sendiri putusan sebelumnya yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. MK menilai, dalil para pemohon uji materi (yudicial review) tidak beralasan menurut hukum. MK membenarkan alasan “kegentingan yang memaksa” dalam pembentukan perppu yang akhirnya menjadi UU tersebut.

Pertimbangannya, terdapat krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi perang Rusia-Ukraina dan krisis ekonomi akibat adanya pandemi Covid-19.

Padahal, menurut YLBHI, UU Cipta Kerja justru menenggelamkan rakyat dalam situasi krisis. Peraturan mengenai pasar tenaga kerja yang semakin fleksibel dan dihilangkannya hak-hak dasar semakin membuat buruh tidak memiliki jaminan kepastian kerjanya.

Buruh lakukan konsolidasi
Serikat buruh dan pekerja, menyesalkan putusan MK tadi karena dinilai melukai rasa keadilan bagi buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea mengatakan, semula pihaknya yakin bahwa MK akan menerima gugatan konfederasi buruh, tapi nyatanya tidak sesuai dengan harapan.

Andi mengungkapkan seperti dikutip Pikiran Rakyat, pihaknya akan segera melakukan konsolidasi untuk menyiapkan gugatan materiil terhadap UU Cipta Kerja. Soalnya, putusan MK itu tidak bulat. Terdapat empat hakim MK yang menyatakan perbedaan pendapat.

Andi mengaku akan menyiapkan segala cara agar putusan ini bisa direspons buruh dengan baik. Keputusan untuk melumpuhkan kawasan industri masih akan didiskusikan.

Sementara itu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam siaran persnya 2 Oktober 2023 lalu menyatakan, “Dengan Putusan MK, Pemerintah Terus Laksanakan UU Cipta Kerja Guna Memperkuat Perekonomian Nasional”. (ekon.go.id)

Mempertimbangkan putusan MK tersebut, pemerintah terus melaksanakan UU No. 6/2023 tentang Penetapan Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU. Pelaksanaan UU ini diharapkan dapat mendorong perluasan lapangan kerja melalui kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UMKM meningkatkan ekosistem investasi dan mempercepat proyek strategis nasional. Juga meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, serta memperkuat perekonomian nasional dalam menghadapi situasi perekonomian global mendatang.* wasmowiyoto-kisuta.com


KATA KUNCI

BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya