Yudhistira Kembali Diuji
MENATAP badan saudara-saudaranya yang semasa hidupnya amat perkasa, hati Yudhistira bertanya-tanya siapakah yang sedemikian sakti bisa membunuh mereka. Dengan hati hancur, ia merenung: “Haruskah hatiku terbuat dari baja agar aku tidak meratapi kematian Nakula dan Sadewa. Untuk apa aku harus hidup di dunia ini?”
Kemudian pikirannya mulai bekerja. Ini pasti bukan kecelakaan biasa. Tidak ada kesatria di dunia ini yang bisa mengalahkan saudara-saudaranya; selain itu tidak ada luka fatal di tubuh mereka. Wajah mereka pun tampak seperti orang yang tertidur dalam damai, tidak tampak tanda-tanda amarah. Tidak ada jejak-jejak kaki musuh. Pasti telah terjadi peristiwa gaib di tempat ini. Atau apakah mungkin ini adalah tipu muslihat Duryudana? Mungkinkah telaga itu telah diracun oleh Duryudana? Kemudian, Yudhistira turun ke tepi telaga. Ia ingin melepaskan dahaga yang sudah tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba terdengar lagi suara gaib itu.
“Saudara-saudaramu mati karena tidak mengindahkan kata-kataku. Jangan ikuti mereka. Jawab dulu pertanyaanku sebelum engkau minum dari telaga. Telaga ini milikku.”
Yudhistira tahu suara itu pasti suara yaksa. Ia mulai mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi pada saudara-saudaranya. Ia mencari cara untuk mengatasi keadaan ini. Katanya pada suara tanpa wujud itu. “Silakan ajukan pertanyaanmu.”
Suara gaib itu segera memborbardir Yudhistira dengan pertanyaan:
Suara gaib: “Apa yang menyebabkan matahari bersinar setiap hari?”
Jawab Yudhistira: “Kekuatan Brahman”
“Apa yang menyelamatkan manusia dari mara bahaya?”
“Keberanianlah yang menyelamatkan manusia dari mara bahaya.”
“Ilmu apakah yang bisa membuat manusia bijaksana?”
“Untuk menjadi bijaksana, tidak cukup hanya dengan membaca kitab-kitab. Dengan bergaul dengan orang-orang bijak, orang bisa mendapatkan kebijaksanaan.”
Tanya yaksa itu: “Apakah yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini?”
Jawab Yudhistira: “Ibu yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, lebih mulia dan memberikan kehidupan yang lebih baik besar daripada bumi ini.”
“Apakah yang lebih tinggi daripada langit?”
“Bapak.”
“Apakah yang lebih cepat daripada angin.”
“Pikiran.”
“Apakah yang lebih berbahaya daripada jerami kering pada musim panas?”
“Hati yang dilanda duka nestapa.”
“Apakah yang menemani seorang pengembara?”
“Kemauan belajar.”
“Siapakah yang menemani seorang laki-laki di rumah?”
“Istri.”
“Siapakah yang menemani manusia dalam kematian?”
“Dharma. Hanya Dharmalah yang menemani jiwa dalam perjalanan sunyi setelah kematian.”
“Perahu apakah yang paling besar?”
“Bumi, yang menampung segala isinya dalam dirinya sendiri adalah perahu terbesar.”
“Apakah kebahagiaan itu?”
“Kebahagiaan adalah buah dari perbuatan baik.”
“Apakah yang jika ditinggalkan manusia akan membuatnya dicintai sesama?”
“Keangkuhan. Dengan meninggalkan keangkuhan, manusia akan dicintai sesama.”
“Kehilangan apakah yang membuat orang bisa bahagia dan tidak sedih?”
“Amarah, dengan menghilangkan amarah, manusia tidak akan dikejar kesedihan.”
“Apakah yang ditinggalkan manusia supaya menjadi kaya?”
“Dengan meninggalkan hawa nafsu, manusia akan menjadi kaya.”
“Apakah yang membuat seorang menjadi brahmana sejati? Apakah kelahiran, kelakuan baik, atau pendidikan? Jawab yang tegas!”
“Kelahiran dan pendidikan tidak membuat orang menjadi brahmana. Sehingga apapun pendidikan orang jika diperbudak oleh kebiasaan jelek, orang itu bukan seorang brahmana. Meskipun telah menguasai keempat kitab Weda, jika kelakuannya buruk, tidak pantas disebut brahmana.”
“Apakah yang paling mengherankan di dunia ini?”
“Setiap hari orang melihat orang pergi menghadap Batara Yama, tapi orang-orang masih saja berusaha untuk hidup lebih lama lagi. Inilah yang paling mengherankan di dunia.”
Demikianlah yaksa itu mengajukan berbagai macam pertanyaan dan semuanya dijawab tanpa keraguan oleh Yudhistira.
Pada akhirnya, yaksa itu bertanya: “Tuanku Raja, seandainya salah satu saudaramu bisa hidup kembali, siapakah yang akan kau pilih?”
Yudhistira diam sejenak berpikir dan jawabnya: “Aku pilih Nakula, saudaraku yang berkulit putih seperti awan berarak, bermata bak bunga teratai, berdada bidang, berlengan panjang; tapi kini terbujur kaku seperti sebatang pohon yang tumbang.”
Yaksa itu senang mendengar jawaban Yudhistira dan bertanya kembali” “Mengapa engkau memilih Nakula dan bukan Bima yang mempunyai kekuatan setara enam belas ribu gajah? Kudengar kau sangat menyayangi Bima. Dan mengapa bukan Arjuna, yang keterampilan olah senjatanya bisa melindungimu? Jelaskan menapa kau meilih Nakula?”
Jawab Yudhistira: “Yaksa, hanya dharma yang dapat melindungi manusia, bukan Bima atau Arjuna. Jika mengabaikan dharma, manusia akan menemui kehancuran. Dewi Kunti dan Dewi Madri adalah istri ayahku. Aku, anak Kunti, masih hidup; dengan demikian, ia tidak kehilangan keturunan. Supaya adil, biarlah Nakula, putra Dewi Madri, hidup kembali.”
Yaksa sangat senang dengan sikap adil Yudhistira. Akhirnya, ia menghidupkan kembali saudara-saudara Yudhistira.
Ternyata, menjangan dan yaksa itu adalah jelmaan Batara Yama yang ingin menjenguk dan menguji putranya, Yudhistira. Batara Yama memeluk putranya dan memberikan restu.
Kata Yama: “Beberapa hari lagi, masa pengasingan kalian di hutan akan selesai. Tahun ketiga belas pun akan berlalu dengan cepat. Musuh-musuh kalian tidak akan bisa mengenali kalian. Kalian pasti akan lulus dalam ujian berat ini. Setelah berkata demikian Batara Yama menghilang.
Jelaslah bahwa Pandawa harus melalui berbagai macam masalah selama masa pengasingan mereka di hutan. Namun demikian, buah yang mereka peroleh pun setimpal. Periode pembuangan itu merupakan masa di mana mereka menjalani disiplin yang keras dan percobaan yang berat. Periode itu mereka menjadi manusia yang semakin tangguh dan bermartabat.
Arjuna kembali dari tapa brata dan mendapatkan senjata dewata dan bertambah sakti berkat pertemuan dengan Batara Indra. Bima juga bertemu dengan saudara tuanya, Hanoman, di dekat telaga tempat tumbuhnya bunga Saugandhika. Ia menjadi sepuluh kali lipat lebih kuat berkat pelukan saudaranya itu. Setelah bertemu dengan ayahnya, Batara Yama, kekuatan batin dan kemuliaan Yudhistira semakin bersinar.
“Orang yang mendengarkan kisah pertemuan antara Yudhistira dan ayahnya tidak akan berbuat jahat. Mereka tidak pernah membuat perselisihan dengan para sahabat dan iri hati pada kekayaan atau hak milik orang lain. Mereka tidak akan pernah membiarkan diri menjadi budak nafsu. Mereka tidak akan pernah membiarkan diri lekat pada hal-hal yang fana.” Demikian dikatakan Waisampayana kepada Janamejaya ketika menceritakan kisah yaksa ini. Semoga hal yang sama terjadi pada pembaca kisah ini.* C. Rajagopalachari/”Kitab Mahabharata” – kisuta.com


