Aswatama
KISUTA.com - Ketika Aswatama mendengar bahwa Duryudana terbaring sekarat dan mendengar pertarungan yang terjadi antara Duryudana dan Bima, amarahnya membuncah seperti laut pasang. Tipu daya yang digunakan para Pandawa untuk membunuh ayahnya semakin menyayat hatinya. Setelah mengetahui Duryudana terbaring menunggu ajal karena pertarungan yang tidak mengindahkan aturan perang. Aswatama segera bergegas menuju tempat Duryudana. Dia bersumpah akan membunuh para Pandawa.
Duryudana, yang tinggal menunggu saat-saat terakhir, amat gembira ketika mendengar sumpah Aswatama. Dia segera memerintahkan orang-orang yang ada di temp[at itu untuk menahbiskan Aswatama menjadi mahasenapati Kurawa. Setelah upacara penahbisan itu selesai, dia berkata kepada Aswatama: "Aku gantungkan semua harapan kepadamu."
Waktu itu matahari sudah terbenam dan hutan mulai gelap. Mahaguru Kripa, Kritawarma, dan Aswatama memutuskan untuk beristirahat di sebuah pohon besar. Mereka amat kelelahan hingga langsung jatuh terlelap begitu membaringkan diri. Tapi, Aswatama tidak bisa memejamkan mata. Amarah dan dendam kesumat membuatnya tidak bisa memicingkan mata. Dia mendengarkan suara-suara burung dan binatang malam yang sedang mencari mangsa. Pikirannya melayang-layang mencari cara untuk menuntaskan sumpahnya di depan Duryudana.
Pada cabang-cabang pohon besar tempat mereka bertiga beristirahat burung-burung gagak bertengger. Mereka semua diam dan tertidur pulas sampai tiba-tiba seekor burung hantu besar datang dan menyerang. Satu per satu burung gagak itu menjadi korban burung hantu besar. Melihat cara burung malam itu memangsa gagak-gagak yang tidak berdaya, Aswatama mendapatkan ide. Burung-burung gagak yang tidak bisa melihat pada waktu malam beterbangan ke sana ke mari tanpa arah. Satu per satu jatuh menjadi korban burung hantu yang menyerang tanpa ampun.
Pikir Aswatama: "Para Pandawa dan Panchala yang telah membunuh ayahku dan bala tentara Pandawa bisa dibunuh dengan mudah jika kita menyerang secara tidak terduga, ketika mereka tidur di tenda-tenda mereka, seperti yang dilakukan burung hantu ini pada burung-burung gagak yang tidak bisa melihat di malam hari. Dengan cara ini, aku bisa membalaskan kecurangan-kecurangan yang mereka gunakan dalam perang. Aku berutang budi pada burung hantu ini yang telah mengajarkanku sebuah pelajaran penting. Tidak ada salahnya meniru cara yang ia gunakan untuk memangsa korbannya. Jika kita boleh menyerang musuh yang kepayahan dan tercerai berai, mengapa kita, yang telah kehilangan pasukan, tidak boleh menyerang musuh yang sedang tidur? Tidak ada yang salah dengan serangan seperti ini. Hanya dengan cara inilah kita bisa menghukum dan mengalahkan para Pandawa yang telah berbuat curang dalam perang ini. Kita tidak punya pilihan lain lagi."
Aswatama sudah bulat dengan keputusannya. Ia segera membangunkan Mahaguru Kripa dan menjelaskan rencananya. Mahaguru Kripa sangat terkejut dengan rencana itu.
Katanya: “Cara seperti ini tidak boleh digunakan! Cara ini salah. Tindakan seperti ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Kejahatan semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah golongan kesatria. Aswatama, untuk siapa lagi kita berperang? Orang yang kita bela dalam perang ini sudah terluka parah dan sekarat. Kita telah melakukan tugas kita dengan sebaik-baiknya. Kita telah bertempur dengan segenap kemampuan kita untuk Duryudana serakah dan kita kalah. Tidak ada gunanya kita melanjutkan pertempuran ini. Marilah kita menghadap Destarata dan Dewi Gandari dan bersiap untuk menerima perintah mereka. Kita minta nasihat Widura yang bijaksana apa yang sebaiknya kita lakukan.”
Kata Aswatama: “Setiap orang yakin apa yang dia pikirkan adalah satu-satunya jalan terbaik dan harus dilakukan. Sudah sewajarnya pemahaman orang membatasi caram pandangnya. Para Pandawa bersalah karena menggunakan cara-cara yang tidak semestinya dalam perang. Mereka membunuh ayahku yang berbudi luhur dan mau percaya pada orang lain dengan tipu daya yang licik. Mereka membunuh Duryudana dengan melanggar aturan perang yang berlaku. Aku yakin sekali rencanaku ini layak digunakan untuk membalaskan dendam pada para Pandawa yang licik itu. Hanya dengan cara inilah aku bisa membalaskan budi pada raja dan ayahku. Keputusanku sudah bulat. Aku tidak akan mengubah keputusanku. Malam ini aku akan pergi ke perkemahan Pandawa yang telah melepaskan baju perang mereka. Aku akan bunuh para Pandawa dan Dristadyumna yang sedang tertidur pulas.”
Mendengar Aswatama bicara seperti itu, hati Mahaguru Kripa amat sedih. Katanya: “Aswatama, namamu disegani baik kawan maupun lawan. Karena tindakan ini, namamu akan tercemar, seperti susu putih yang terkena setets darah. Membunuh musuh yang sedang tidur sama sekali tidak bisa dibenarkan. Jangan bertindak bodoh.”
Jawab Aswatama: “Guru, apa yang kau bicarakan? Para Pandawa membunuh ayahku ketika ia telah membuang senjata dan duduk bersila untuk bermeditasi. Mereka telah merobek-robek dharma dan tidak ada lagi dharma yang tersisa! Karna, yang sedang memperbaiki roda keretanya, dibunuh oleh para bedebah itu . Bima membunuh Duryudana dengan memukul di bawah perut. Dharma apa lagi yang mesti kita ikuti? Para Pandawa sudah tidak mengindahkan dharma. Mengapa kita harus mengikuti aturan perang untuk menghadapi para pemnjahat yang memenangkan perang dengan melanggar dharma? Aku tidak peduli jika karena membunuh para Pandawa dan Panchala yang sedang tidur aku dikutuk untuk terlahir kembali menjadi burung pemakan bangkai9 atau cacing yang menggeliat. Akan kujalani hidup seperti itu!”
Setelah berkata demikian dan tanpa menunggu jawaban, Aswatama langsung meloncat ke kudanya dan mempersiapkan kereta. Ketika Aswatama sudah bersiap untuk berangkat, Mahaguru Kripa dan Kritawarma berseru: “Hai, berhenti! Aswatama apa yang akan kau lakukan? Kami tidak setuju dengan keputusanmu, tapi kami juga tidak bisa membiarkanmu pergi sendirian. Meskipun jalan yang kau pilih keliru, kami akan tetap menyertaimu. Biarlah dosamu menjadi dosa kami juga.” Demikianlah Kripa dan Kritawarma menyertai Aswatama.
Demikianlah terjadinya kejahatan. Satu dosa akan melahirkan dosa yang lain dan demikian pula kejahatan membenamkan jalan kebenaran. Dosa melahirkan balas dendam.
Mereka tiba di perkemahan Pandawa. Dristadyumna telah menanggalkan baju perang dan tidur lelap di tendanya. Aswatama menyelinap diam-diam ke dalam tenda. Sebelum kesatria itu sempat membela diri, Aswatama telah membunuh Dristadyumna.
Cara yang sama terus dilakukan sampai semua pangeran Panchala dan putra-putra Pandawa tewas saat tertidur lelap. Setelah melakukan tindakan yang belum pernah terjadi dalam sejarah para kesatria itu, Aswatama, Kripa, dan Kritawarma menyelinap ke luar dari tenda dan mulai membakar perkemahan pasukan Pandawa. Ketika ap menyebar, para prajurit yang sedang tidur lelap bangun dan berlari ke sana ke mari berusaha menyelamatkan diri. Seperti burung-burung gagak yang dimangsa burung hantu, pasukan Pandawa dihabisi Aswatama dengan bengis.
Kata putra Durna: “Tugas kita telah selesai. Mari kita pergi dan beri tahu Duryudana kabar gembira ini sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya. Semoga dia bisa mati dengan tenang.”
Kemudian, mereka bertiga segera bergegas menuju tempat Duryudana terbaring sekarat.* C. Rajagopalachari/”Kitab Mahabharata” – kisuta.com


