Jumat, 17 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Trisirah, Trikaya dan Trimuka Pralaya

Kamis, 24 September 2015

KISUTA.com - Kematian Prahasta disikapi Rahwana dengan semmbarang amuk di Sitihinggil Alengkadiraja. Dia merasa para panglima dan prajuritnya kurang serius menghadapi perang ini...bagaimana mungkin mereka yang berbadan besar sebagai denawa (raksasa) bisa kalah dari pasukan kera?


Rahwana: Ndrajit...!! Huueeee...jian, iblis laknat pada gegojegan...semua tamat, perang di palagan....huuueee...bagaimana ini? Kalian tidak malu, mati konyol dikroyok munyuk...huh...badan saja gede, tandang kok kaya piyiiik...Indrajit, apa usulmu? Siapa lagi yang bisa kita jadikan panglima membasmi prajurit-prajurit Pancawati itu?


Indrajit: Kanjeng Rama, kalau boleh saya usulkan sepertinya yayi Ditya Trisirah putra paduka dari kanjeng ibu Dewi Tisnawati sudah saatnya diberi kepercayaan.


Rahwana: Trisirah? Wah...benar-benar kamu...Trisirah anakku, ahli dalam tatagelar perang, ia juga mahir dalam mempermainkan senjata gada dan lembing.


Indrajit: Kesaktian yayi Trisirah yang paling ampuh saat bertiwikrama, kepalanya bisa berubah menjadi tiga. Ini serupa dengan tiga nyawa Rama Prabu....satu kepala luka, akan segera muncul kepala pengganti, asalkan jumlahnya tetap tiga. Karena itu Yayi Trisirah seakan punya tiga lapis nyawa.


Rahwana: Hua hahahahaha..joss..pinter kamu, titis mrekitis...modyar kamu Pancawati...pasti munyuk-munyuk itu habis ditumpas Trisirah...Huahahahaha...


Rahwana seakan menemukan semangat baru dengan usulan Indrajit, segera disuruhnya Detya Trisirah maju ke medan laga.


Pagi harinya Ditya Trisirah maju ke medan perang membela negaranya. Sepak terjangnya sangat menakutkan, membunuh beberapa wanara senapati Gowa Kiskenda. Narpati Sugriwa mencoba maju membela kawulanya. Panglima tua ini memiliki kesaktian yang sangat tinggi, kegesitannya tak kalah dengan para senapati muda. Beberapa kali kepala Trisirah remuk di hantam gada Sugriwa, tetapi beberapa kali pula tumbuh kepala baru, yang membuat Trisirah tidak mati-mati.


Wibisana, adik Prabu Rahwana yang berpihak pada Prabu Rama, yang mengetahui rahasia kesaktian/hidup mati Trisirah, segera menyuruh Lesmana untuk menghadapinya. Ditya Trisirah akhirnya tewas dalam peperangan setelah ketiga kepalanya terpangkas secara bersamaan oleh panah sakti Surawijaya yang dilepas Lesmana.


Kegagalan Trisirah ditanggapi Indrajit dengan mengirimkan saudara kembarnya Ditya Tikaya dan Ditya Trimuka, mereka ini anak Rahwana dari Dewi Wisandi adik Prabu Wisakarma dari Gowawindu.


Trikaya dan Trimuka merupakan saudara satu guru sehingga hidup dalam satu jiwa. Apabila salah satu dari mereka mati dan mayatnya dilangkahi oleh yang masih hidup, maka yang mati akan hidup kembali. Mereka selain sakti juga ahli racun, karena itu Indrajit percaya kedua saudara kembarnya ini bisa mengatasi keadaan.


Pada hari berikutnya Trikaya dan Trimuka tampil sebagai senapati perang Alengka. Sepak terjang mereka sangat ganas, menakutkan dan tak tertandingi lawan. Tangannya menebarkan racun yang melalui tamparan dan pukulan, membuat setiap wanara dan prajurit yang tersambar, mati dengan tubuh terbakar atau leleh menyebarkan bau busuk.


Dari kaki Gunung Suwela, Wibisana menyaksikan tandang kedua saudara kembar yang bengis itu, segera dipanggilnya Anoman, Anggoda dan Anila untuk mensiasati keadaan.


Wibisana: Anoman, Anggada dan Anila...sepertinya kakanda Rahwana sudah mulai menyuruh anak-anaknya terjun sebagai senapati. Aku mengenal keponakan-keponakanku itu sebagai orang-orang sakti dengan keunggulan mereka masing-masing.


Anggada: Benar, kedua denawa kembar ini sungguh membuat kami bingung. Tangannya mengandung racun, sulit bertempur dengan jarak dekat. Anehnya lagi, kalau dari jarak jauh salah satu di antara mereka berhasil kita bunuh dengan panah atau lembing...salah satu lainnya segera melompati saudaranya...yang mati akan hidup lagi....haduuuh benar-benar merepotkan.


Anila: Hebat juga Rahwana punya anak-anak yang mumpuni...heran, bagaimana mereka bisa memiliki ilmu setinggi itu? Kalau kita lihat bapaknya semaunya sendiri seperti itu.


Wibisana (tersenyum mendengar ocehan Anila, mulutnya menyenandungkan macapat Wulangreh – Pakubuwana IV, Pupuh II Kinanti Gatra 1)


Padha gulangen ing kalbu; Ing sasmita amrih lantip; Aja pijer mangan nendra; Kaprawiran den kaesti; Pesunen sariranira sudanen dhahar lan guling ... Latihlah kalbumu ; Supaya kamu menguasai ilmu lahir dan batin ; sehingga menjadi pandai. jangan hanya makan dan tidur ; Berkonsentrasilah pada keperwiraan; upayakan dengan sungguh-sungguh dirimu; Kurangilah makan dan tidur...


Anila, siapapun bisa mendapat kemampuan tinggi, asalkan dia MAU dan menjalankan LAKU-nya untuk mencapai tujuannya. Jangan memanjakan diri, hanya untuk kesenangan dan mengumbar rasa malas...


Anoman: Narpati Wibisana, kembali lagi ke rencana kita mematahkan amukan kedua buto kembar itu...bagaimana petunjukmu?


Wibisana: Anoman...jiwa mereka saling bertaut, karena itu kematian baru bisa sempurna kalau mereka dibunuh secara bersamaan.


Petunjuk Wibisana itu menjadi acuan bagi para panglima Pancawati untuk mengalahkan Trikaya dan Trimuka.


Anggada dan Anila segera maju untuk mengacaukan barisan raksasa di sekitar kedua yaksa kembar itu, sehingga Anoman bisa konsentrasi menggiring Trisirah dan Trimuka, menjauh dan hanya berhadapan dengan Anoman.


Karena kemampuan Anoman terbang, dan tandangnya yang penuh perhitungan dengan tendangan-tendangan menghajar muka dan bahu kedua saudara kembar itu, akhirnya mereka mengamuk karena kesakitan, Trikaya dan Trimuka mengejar Anoman dengan penuh nafsu. Kemarahan ini membuat kedua saudara kembar itu lengah, akhirnya Anoman dapat membunuh kedua raksasa kembar tersebut. Kepala Trikaya dan Trimuka diadu kumba (saling dibenturkan) hingga pecah. Trikaya dan Trimuka mati secara bersamaan.


Gegap gempita sorak sorai balatentara Pancawati menyambut kemenangan para panglimanya.


Rama: Wibisana lan Sugriwa....mabuk kemenangan ini harus diwaspadai...agar kawula kita tetap waspada dan tidak lengah.


Kabeh den padha nastiti, marang pitutur kang yektos, aja dumeh tutur tanpa dhapur, yen bakale becik, denanggo weh mufangat, kaya pucung lan kaluwak (Wulangreh Pupuh VIII Wirangrong Gatra 27)... Semuanya harus waspada, jangan hanya karena nasihat yang tak tampak. Jika itu memang baik , maka dengarkanlah karena jika dilaksanakan memberi manfaat., jangan seperti pucung dan kluwak...


Wibisana: Sang Prabu, apa maksudnya dengan ‘nasehat yang tak tampak’....darimana nasehat itu?


Rama: Wibisana...kemenangan itu memabukkan...dan orang mabuk itu terkadang seperti mendapat bayangan yang harus diikuti...buah kluwak muda itu namanya pucung...saat muda buah ini beracun dan memabukkan, orang menjadi tidak tahu apakah pandangan yang dia dapatkan saat mabuk itu, benar atau menyesatkan....karena itulah kita harus mendampingi kamum muda kita...agar mereka tidak terlena oleh keadaan yang memabukkan.


Para Narpati dan panglima tertunduk dalam rasa hormat...mereka bangga mengabdi pada raja yang penuh dengan ilmu, dan selalu welas asih menularkan ilmunya untuk mengingatkan mereka dalam setiap tindakan.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya