Kamis, 16 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Sayempraba Putra Takon Bapa

Jumat, 25 September 2015

KISUTA.com - Pura Goawindu yang sunyi, dua saudara yang berlainan wujud, menghadap ibundanya dengan wajah masgul. Sang kakak berwujud Denawa ksatria yang gagah, dengan mata ketiga terletak di dahinya, Denawa ksatria ini bernama Bukbis, atau Detya Trinetra, atau Pratalamaryam. Bukbis sangat sakti, pukulannya mengandung racun, mata ketiganya yang terletak di dahi bisa menghanguskan apa saja yang dipelototinya. Saudaranya yang juga menghadap ibunya berwujud kera putih, dengan perawakan gagah pideksa, bernama Trigangga.

Kedua bersaudara ini dibesarkan ibundanya Dewi Sayempraba, di Pura Goawindu seorang diri dengan penuh kasih sayang, setelah berangkat dewasa, merekapun menuntut ibunya untuk berterus terang, siapakah ayahanda mereka yang belum pernah menengok mereka atau belum juga mereka jumpai.

Bukbis: Ibu, mengapa ibu masih merahasiakan siapa Bapakku? Bukankah wajar setiap anak memiliki Bapak?

Trigangga: Iya ibu, wujud kakang Bugis dan aku juga sangat berbeda...mengapa demikian? Ibu cantik sekali, karena kata ibu nenekku bidadari Maniloka dan ayah ibu seorang raja Yaksa...karena itu mungkin wajah kakang Bukbis mengikuti eyang kakung...kalau aku berwujud seperti kera...apakah Bapak kami kera atau siluman kera ibu?

Sayempraba: Ooo anakku ngger Bukbis dan Trigangga...apakah kurang kasih sayang ibu, hingga kalian masih saja menanyakan siapa bapakmu? Ibu sengaja tidak mau menyebutkan siapa Bapakmu, karena tidak ada kebanggaan di hati ibu menjadi ‘garwa peteng’...istri simpanan bapakmu...yang juga punya istri-istri lain di luar ibumu ini...

Bukbis: Heemmm...kalau bapakku punya banyak istri, dan sudah begitu lama tidak menengok kita...mengapa dulu ibu mau sama dia...bukankah itu artinya Bapak tidak sayang pada ibu...

Sayempraba: Duuh anakku Bukbis...inilah nasib wanita seperti ibu, walau ibu tidak mencintai ayahmu...tapi kekuasaan dan kedudukannya membuat ibu tidak kuasa menghalangi kehendaknya untuk menjadikan ibu sebagai selirnya...

Trigangga: Hah? Wah, salah itu...itu alasan yang lemah ibu...kalau ibu tidak cinta, mengapa ibu layani dia? Tidakkah ibu ingin bahagia punya suami yang baik dan selalu ada bersama ibu? Dibandingkan melayani suami orang...dan akhirnya ibu punya anak, ditinggalkan disuruh membesarkan sendiri seperti ini...wah...kacau..kacau...

Bukbis: Berarti bapakku menghamili ibu hanya karena nafsu saja...merasa punya hak melakukan apa saja yang dia mau, tapi tidak mau tanggung jawab?? Laki-laki macam apa itu ibu?

Sayempraba: Sudahlah Bukbis, Trigangga... aku tidak menuntut...benar kata Trigangga, seharusnya sebagai wanita baik-baik..aku menolak diperlakukan serendah ini...tapi...aah..Bapak kalian terlalu berkuasa, aku tidak berani menentangnya...

Bukbis: Kalau begitu, sebutkan namanya Ibu, biarkan kami yang menghadapinya.. enak saja habis pakai langsung ngeloyor... kami khan anaknya juga...dia harus bertanggung jawab.

Sayempraba menghela nafas panjang...perasaannya sangat tertekan..terasa benar hubungannya dengan Rahwana memang hubungan kotor yang tidak dikehendakinya. Rahwana sang raja besar Alengkadiraja yang memuja nafsu syahwatnya itu, hanya menjadikannya sebagai pelampiasan syahwat, habis manis sepah dibuang...begitu dia hamil, Rahwana sudah jarang mengunjunginya, sampai akhirnya benar-benar melupakannya. Apalagi dia dengar Rahwana sekarang sedang mabok kepayang dengan Dewi Sinta, istri Prabu Rama.

Tentang anaknya Trigangga, Sayempraba sengaja menyembunyikan sejatinya Trigangga, putra Anoman yang berhubungan dengannya dalam kondisi tidak sadar, mabok terkena racunnya, saat dia mencoba menghambat Anoman sebagai duta Pancawati ke Alengka. Sayempraba merasakan kepedihan bak sembilu menusuk ulu hatinya....hati dan perasaannya tertambat pada Anoman, tapi dia mendapatkan anak Trigangga dari laki-laki pujaannya itu juga melalui jalan tak benar....saat Anoman dalam kondisi tak sadar...menggenang airmata di pelupuk mata Sayempraba. Terbata-bata pesannya pada Bukbis dan Trigangga:

“Anak-anakku ngger, baiklah...pergilah kalian ke Alengkadiraja, ayah kalian adalah Sang Prabu Rahwana...sampaikan bahwa kalian anak-anakku, keturunannya.. hati-hati menghadapinya. Kudu angon wektu, tumindak kudu manut kala mangsa...jangan gegabah anak-anak, kalian harus tahu waktu yang tepat saat berhadapan dengan ayah kalian...bertindak harus sesuai dengan kondisi dan suasananya. Bukbis, yang rukun dengan adikmu, pangestuku untuk kalian semua anak-anakku.”

Bukbis dan Trigangga segera berangkat ke Alengka, mereka diterima oleh Indrajit sang putra mahkota, setelah tahu bahwa kedua remaja itu adalah anak-anak dari Sayempraba salah satu selir Rahwana.

Indrajit mengantarkan mereka menemui Rahwana. Setelah menerima kedua anak itu, Rahwana memberikan syarat, bahwa mereka akan diakui sebagai anak, kalau mampu memberikan manfaat bagi Alengkadiraja khususnya Rahwana. Rahwana menyampaikan bahwa dia sedang berperang dengan Raja Pancawati, Sri Rama Wijaya, jadi kalau kedua anak itu mampu menaklukkan Rama Wijaya, dan menawan raja Pancawati itu untuk dihadapkan pada Rahwana, maka Rahwana akan mengakui mereka sebagai anak.

Rahwana: Bagaimana? Sanggupkah kalian membuktikan diri sebagai anak-anakku? Tidak sembarangan asal ngaku saja heh!

Bukbis: Sebenarnya aneh bahwa Bapak yang tidak pernah menengok kami atau merawat kami, bisa mengajukan syarat seperti itu...kelihatan sekali betapa bapak hanya mencari keuntungan sendiri, cari enaknya saja.

Trigangga: Tapi kepalang tanggung bagi kai..kehormatan kami dipertanggung jawabkan...baiklah akan kami buktikan kemampuan kami, kalau memang itu melegakan dirimu.

Rahwana: Huahahahaha...wis terserah kalian mau ngomong apa...bagi Rahwana, tidak ada yang percuma...semua harus membawa keuntungan...buktikan saja kemampuanmu...kalau sudah aku akui..tidak akan rugi kamu jadi anak Rahwana.

Bukbis dan Trigangga menyanggupi syarat tersebut, dan segera berangkat ke Pancawati untuk membuktikan kemampuan mereka.

Dengan kesaktiannya, Bukbis menyirep semua makhluk di Suwelagiri, sehingga mereka semua tertidur pulas. Dari sekian banyak mahluk yang terjaga tinggallah Wibisana dan Anoman saja yang belum tertidur terkena sirep Bukbis. Wibisana tanggap, segera didekatinya Anoman.

Wibisana: Anoman, aja kasirep kahanan kang sarwa nentremake, nora sakbaene rasa, mapan netra abot, badan krasa lungkrah, kamangka wajibe iki mangsa waspada, perang kautaman lagi kawiwitan...eling lan waspada kaki...

Anoman...jangan terlena keadaan yang tampaknya tentram...semua ini tidak wajar, mata terasa berat, badanpun lemah...padahal seharusnya saat ini kita harus selalu terjaga..pertempuran untuk kebajikan baru saja di mulai ...ingat dan waspadalah Nak...

Anoman menganggukkan kepalanya yang terasa berat. Pesanggrahan Sri Rama dan Lesmana yang terbuat dari kaca dengan lis, pinggiran berupa logam keemasan, dibuatnya mengecil dengan kesaktiannya sampai hanya sebesar kendil dan dibelitnya dengan ekornya, sampai diapun jatuh tertidur karena hebatnya sirep Bukbis.

Trigangga yang berhasil menyusup ke Suwelagiri menemukan cupu jene (cupu kuning) yang dibelit Anoman itu, perlahan-lahan, disingkapnya ekor itu dan cupu jenepun dia bawa kabur.

Anoman tersentak saat ekornya tersentuh Trigangga, sehingga terjadi perkelahian yang seru. Ketika keduanya sedang mengadu kesaktian, datanglah Batara Narada yang segera melerai dan memberitahukan bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah ayah dan anak.Trigangga adalah anak Anoman dari Dewi Sayempraba, saat Anoman terkena racun Dewi Sayempraba pada waktu bertugas sebagai duta ke Alengkadiraja. Batara Narada juga menyadarkan Trigangga bahwa sesungguhnya ia telah ditipu dan diperalat oleh Rahwana. Batara Narada segera kembali ke Kahyangan setelah menguraikan kenyataan ini.

Tinggallah Anoman dan Trigangga yang saling menatap dalam keharuan yang dalam...*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya