Jumat, 17 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Trigangga Panggih Bapa, Bukbis Pralaya

Minggu, 27 September 2015

KISUTA.com - Sorot pandangan mata Anoman masih menyiratkan tanda tanya besar, wajah dan perawakan Trigangga yang serupa dirinya, adalah bukti nyata bahwa kera putih muda ini mungkin adalah putranya. Tapi bagaimana bisa terjadi?

Sejenak ingatan Anoman mengembara, saat awal dia menjadi duta Sang Rama, dan sempat tersesat di Goa Windu, teringatlah dia betapa Dewi Sayempraba telah mencoba menghambat perjalanannya, meminumkan racun untuk membuatnya lemas tak bertenaga. Aah...apakah racun itu juga yang sudah melenakannya hingga terjadi hubungan badan tanpa rasa, yang terdorong syahwat semata? Tanpa sadar Anoman menggelengkan kepalanya, bayangan Dewi Trijata yang diam-diam disimpannya dalam kalbu sebagai wanita pujaannya, membuatnya miris memikirkan Trigangga...duh, mengapa anak titisan kalbunya harus lahir dengan cara yang tidak dikehendakinya?

Trigangga: Ada apa bapa? Kenapa menggelengkan kepala? Apakah bapa tidak yakin kalau aku ini anakmu seperti kata-kata Bathara Narada?

Anoman: (Kata-kata Trigangga dengan nada pilu...takut harapannya pudar ini menyadarkan Anoman, aah...anak ini tidak bersalah...haruskah dia dikorbankan untuk ego nya sebagai laki-laki ?)...Aah...tidak anakku..tidak begitu..(diraihnya Trigangga, dipeluknya erat anak itu, seakan ingin dileburnya segenap perasaan yang mengharu birukan hatinya..Anoman mencoba mencari kekuatan dari pelukan yang mengalirkan rasa kasih murni anak dan bapa ini)..Trigangga..aku menggelengkan kepalaku..karena membayangkan betapa beratnya ibumu mengasuh dan membesarkanmu sendiri, tanpa pendamping...hem...kau katakan..engkau punya saudara satu ibu, yang berwujud yaksa...siapa dia...?

Trigangga: Oooh..dia kakang Bukbis, atau disebut juga Trinetra karena ada mata ketiga di keningnya....sepertinya dia putra ibu dari Rahwana ..karena wujudnya yaksa, dan ibu sebelumnya adalah selir Rahwana ..Bapa...Dia menunggu aku di luar pesanggrahan Suwelagiri, dialah yang mengeluarkan aji sirep tadi...aku ditugaskan menculik Prabu Rama dan Laksmana...Bapa.. Mari kita temui kakang Bukbis, ijinkan aku menjelaskan keadaan sebenarnya...kakang Bukbis tidak bersalah, dia saudaraku bapa...

Trigangga dan Anoman segera menemui Bukbis di luar perbatasan Suwelagiri. Bukbis terkejut melihat Trigangga dan Anoman datang menemuinya.

Bukbis: Trigangga adikku...siapa kera putih ini? Mengapa serupa benar denganmu....bagaimana tugasmu menculik Rama dan Laksmana? Sudah berhasilkah...sirepku sudah membuat semua wadya bala pancawati tertidur..ayo kita bawa Rama dan Laksmana ke hadapan ayah kita Prabu Rahwana...

Trigangga: Kakang Bukbis...sabarlah kakang...tenangkan dulu hatimu...ini ayahku kakang namanya Anoman...(Trigangga menceritakan usahanya menculik Rama dan Laksmana, pertempurannya dengan Anoman, hingga Bathara Narada melerai dan mengisahkan kenyataan bahwa sebenarnya dia adalah putra Anoman)...kakang...Rahwana adalah raja yang jahat, dia seorang duratmoko yang menculik istri orang...ayahku mau mengakuimu juga sebagaimana putranya sejati...bergabunglah bersamaku kakang.

Anoman: Bukbis...dengarlah...Pepuntone nggonira dumadi, ngugemana mring catur upaya, mrih tan bingung pangesthine, kang dhingin wekasingsun, anirua marang kang becik, kapindho anuruta mring kang bener iku, katri nggugua kang nyata, kaping pate miliha ingkang pakolih, dadi kanthi ning ndonya. (Serat Darmawasita - KGPAA Mangkoenegara IV)...Hakikat hidupmu di dunia, berpeganglah pada empat usaha, agar tidak bingung mencapai tujuan, nasehatku yang pertama, contohlah apa yang baik, kedua tirulah kehendak yang baik, ketiga indahkanlah apa yang nyata, keempat pilihlah apa yang membawa keberhasilan, itulah bekal hidupmu...jangan ragu mendengar kata-kata adikmu, aku ikhlas menerimamu ngger...

Bukbis: (Tercenung Bukbis menerima kenyataan yang terpapar di hadapannya...Trigangga sudah menemukan bapanya..seorang perwira sejati, kera putih yang perkasa....dan dia? Ahai orang yang mungkin menjadi bapanya baru mau mengakuinya kalau dia berhasil menjalankan tugas yang sebenarnya melenceng dari kebenaran. Nurani Bukbis tercekat, sesaat matanya nanar, kakinya seperti tidak berpijak kebumi...dengan mata berkaca-kaca, dipandangnya wajah Trigangga...kata-katanya pilu).

Aku bahagia untukmu Di...engkau telah menemukan bapamu yang menerimamu tanpa syarat...sedang aku masih harus menggenapi syaratku untuk bisa diakui sebagai anak...hemm..paman Anoman, dari keempat pilihan pedoman hidup nasehatmu...aku memilih yang ketiga...indahkanlah apa yang nyata...kenyataannya aku ini anak Rahwana, lihatlah wujudku..semua tak terbantahkan...karena itu paman...Wong tan manut pitutur wong tuwa ugi, pan nemu duraka, ing dunya praptaning akir, tan wurung kesurang-surang...Yen dadi nom ing enomipun, kang ginawe tuwa dikaya banyu neng beji, den awening paningale aji samar (Serat Wulangreh - Sri Susuhunan Pakubuwana IV)...Orang yang tidak menjunjung nasihat orang tua, akan menemui kutuk sengsara, di dunia sampai akherat, berakhir penderitaan, Jika ditakdirkan menjadi muda, sadarilah kedudukan mudanya, sedang yang tua, jadilah seperti air, jernihkanlah penglihatanmu...

Anoman: Ooo ngger Bukbis, benar kata-kata adimu Trigangga, engkau satria pilihan...kata-katamu itu benar sekali...tapi lihatlah, bukankah bapamu Rahwana bukanlah bapa yang bisa bijaksana seperti air yang jernih?

Bukbis: Paman, aku hanya bisa menempatkan diriku sebagai anak...bagaimana bapaku...itu bukan urusanku...karena itu biarlah aku selesaikan kewajibanku sebagai anak, jangan halangi tekadku paman...hadapilah aku anak Rahwana...Trigangga, apapun juga engkau adikku, darah dagingku...menyingkirlah Di...biarkan aku genapi takdirku di tangan bapamu.

Bukbis maju sebagai senopati muda menghadapi Anoman, dengan kekuatan andalannya sorot api dari mata ketiganya, bala Pancawati banyak yang tewas terbakar. Bukbis, memiliki sorotan api dari mata ketiganya. Pasukan kera menjerit jerit kepanasan terpanggang api. Melihat kesengsaraan perajurit kera, Wibisana mengarahkan panahnya ke sekumpulan mega mendung di langit, hingga hujan turun dengan derasnya. Apipun padam. Wibisana membisikkan pada Anoman untuk membawa kaca cermin dalam menghadapi sinar api Bukbis. Kaca cermin telah disiapkan oleh Anoman.

Perkelahian Bukbis dengan Anoman kembali terjadi. Ketika mata ketiga Bukbis mulai memancarkan sinar yang menyilaukan mata, Anoman sudah siap menjemputnya. Anoman segera meloncat ke samping kaca, menghindar dari serangan sinar api, dan menahannya dengan kaca cermin tersebut. Sehingga sinar api yang diarahkan ke Anoman mengenai cermin, dan sinar api yang mengenai cermin, kemudian berbalik kembali ke arah Bukbis, sehingga Bukbis terbakar dengan sendirinya.Ksatria muda ini mati terpanggang, dengan senyum tersungging di bibirnya.

Naiki sedu sedan di tenggorokan Trigangga, dia memburu diraihnya tubuh Bukbis yang masih panas membara...dengan kasih, dipangkunya kakaknya itu sambil diusap-usapnya wajah Bukbis untuk meredakan api yang masih membakar wajah kakaknya...ajaib, begitu api padam, wajah Bukbis berubah menjadi ksatria tampan setampan Wibisana....Anoman, Trigangga, Wibisana, Rama & Laksmana yang telah keluar dari cupu jene...mewaspadai itu sebagai anugrah dewa...yang menerima lelaku Bukbis, sebagai yaksa berkarakter ksatria...

Kematian Bukbis, disampaikan Anoman dan Trigangga pada Dewi Sayempraba....hancur perasaan wanita cantik yang tidak pernah mampu membentengi martabatnya ini...Bukbis adalah anak hasil hubungan tanpa hasratnya dengan Rahwana...bagaimanapun juga melalui air susu dan waktunya saat merawat Bukbis, cinta kasihnya sebagai ibu, tertuang tulus dan murni....Anoman sangat merasakan kehancuran Sayempraba, walau cintanya tidak juga muncul untuk wanita ini...namun kehadiran Trigangga, membuatnya harus berlaku ksatria...di raihnya bahu Sayempraba.. "Sayempraba, hentikan tangismu...aku akan menjadikan engkau sebagai istriku...tetapui berjanjilah untuk menata hidupmu..kuatkan imanmu..jadilah wanita yang tahu menjaga kehormatanmu sebagai istri..sebagai ibu...wanita yang lenjehan, mau melayani sembarang laki-laki untuk tujuan kesenangan, harta, kedudukan dan kebutuhan..adalah sehina-hinanya wanita yang hanya menjadi sampah kehidupan..."Eling-eling kang samya mangudi nalar, awya kongsi nemahi, kadrojoging tekad, lah pada den prayitna, sayekti ambebayani, luwih agawat, watgating trang ing urip." (Sastra Gending - Sultan Agung Hanyakrakusuma)...Perlu diingat oleh orang yang melatih pikiran, jangan sampai terjadi hasrat tanpa kendali, haruslah itu diperhatikan, karena sangat berbahaya, menghancurkan kehidupan...

Sayempraba menganggukkan kepala menyerap kata-kata Anoman...inilah persinggahan terakhirnya, tekadnya pasti..dia akan menata hidupnya lebih lurus, hingga ajal menjemputnya menyatukannya dengan Bukbis putranya terkasih.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya