Jumat, 17 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Rahwana Digang

Senin, 28 September 2015

KISUTA.com - Surem-surem buana, senja yang temaram, di taman Argosoka, wajah Dewi Sinta begitu sendu, membawa duka seisi jagad. Segala hiburan, canda dan upaya Trijata, bagaikan percikan air di samudra, hilang lenyap tanpa bekas...tak juga mampu hadirkan senyum di wajah jelita itu...

Trijata: Uwa Dewi...sudahlah, duka uwa tidak akan menyelesaikan masalah. Sambil menunggu Prabu Rama dan Raden Laksmana menyelamatkan paduka...rawatlah tubuh dan wajah paduka Uwa...

Dewi Sinta: Trijata...bagaimana aku bisa merawat tubuhku...saat jiwaku teraniaya...aku merasa terhina dijadikan barang permainan Uwamu Rahwana...

Trijata: Duuh, uwa Dewi...jangan begitu...bukankah Uwa prabu sangat mencintai paduka, hingga tanpa peduli norma dan adat, diculiknya paduka untuk dijadikan istri terkasihnya...hamba lihat sampai saat ini, uwa prabupun tidak berani menyentuh paduka...itu tanda cintanya tulus uwa dewi...

Dewi Sinta: Hmm...Trijata, jangan picik....Rahwana sudah memiliki istri bidadari swargaloka Batari Tari yang jelita...akupun sudah menjadi istri orang...buka mata dan nuranimu...sebutlah...apa namanya orang yang mengaku cinta pada istri orang lain dengan mengkhianati istrinya sendiri? Sebutan pengkhianat tidak cukup untuk durjana seperti ini...rendah akhlak dan budinya...dan kalau aku sebagai istri Rama, membiarkan saja prilaku seperti ini disampaikan padaku...apa sebutanku? Bukan saja wanita murah yang tak tahu martabatnya dihinakan...aku juga menjadi wanita lemah yang mandah saja dininabobokkan rayuan murahan lelaki hina seperti Rahwana....tidak Trijata, ajining dirimu...engkau sendirilah yang harus menentukan dengan mengambil sikap yang benar...

Trijata: Duh uwa Dewi...maafkan kebodohanku yang tidak bisa mendalami apa yang terjadi.

Dewi Sinta: Trijata...Rahwana itu raja yang digang...suka sumbar dan sombong...ketahuilah.."Umpama jun kurang banyu, kocak-kocak kendhit ing wong, menawi kebak kang jun, yekti anteng denindhit ing lambung, iku bae kena kinarya palupi, pedah apa umbag umum, mundhak kaeseman ing wong"... Jika bejana itu kurang air tidak terisi penuh, pastilah terguncang saat di panggul..tetapi jika penuh tentu akan lebih tenang...itulah contoh, untuk apa sombongkan diri, hasilnya malah ditertawakan orang.

Sikap Dewi Sinta yang tidak juga mau tunduk dan kematian putra-putranya satu demi satu, makin membuat Rahwana murka, segera ditunjuknya putranya yang lain, Detya Kala Trimurda, untuk maju sebagai senopati di palagan menghadapi pasukan Pancawati.

Detya Kala Trimurda adalah putra Rahwana dari Dewi Wiraksi, raseksi dari hutan Dandaka.

Ditya Trimurda sangat sakti. Selain ahli dalam tatagelar perang, ia juga mahir dalam mempermainkan senjata panah dan tombak. Apabila bertiwikrama, tubuhnya bisa menjadi sebesar bukit dan dari kedua matanya keluar gumpalan api yang daya kekuatannya dapat menghancurkan batu gilang. Anggada dan Anila mencoba untuk mengatasi kesaktian Trimurda, namun mereka mulai kewalahan saat Trimurda melakukan Tiwikrama.

Sepak terjangnya sangat menakutkan, membunuh ratusan prajurit kera. Melihat kondisi ini, Wibisana segera memberitahu Laksmana bahwa kelemahan Trimurda ada di kedua belah matanya yang harus dihancurkan seketika. Tanggap terhadap masukan Wibisana ini, Laksmana segera melepaskan sepasang panah Surawijaya, yang dengan tepat menancap di kedua bola mata Trimurda...mata itu meledak, gugurlah Trimurda di palagan itu.

Hari berikutnya Rahwana mengirimkan Yaksadewa, anaknya yang lain dari Dewi Satiwati brahmana putri Goa Rati. Selain sakti, Yaksadewa mempunyai pusaka panah sakti bernama Candrasa. Ia juga mempunyai kereta perang yang ditarik singa dan dapat terbang, pemberian Bathara Brahma.

Untuk menghadapi Yaksadewa, Wibisana meminta Anoman menghadapinya, kuncinya adalah menghancurkan Yaksadewa bersamaan dengan Kereta dan Singanya, karena itu menjadi satu kesatuan.

Sugriwa, Anggada dan Anila membantu Anoman untuk menyibukkan Yaksadewa, pertempuran berjalan dengan hebat, pada satu kesempatan Anoman berhasil menghancurkan Yaksadewa, Kereta dan Singanya dengan menghantamnya menggunakan pohon Nagasari besar yang dicabut se akar-akarnya. Yaksadewa tewas. Kemenangan kembali untuk Pancawati.

Rama: Semua narpati dan panglima...terima kasih atas kemenangan yang kalian persembahkan...pesanku, tetaplah rendah hati, tekan kebanggaan dan kesombongan kalian, yang biasanya mengikuti tiap keberhasilan..."Nadyan ratu ya tan ana paenipun, nanging sri narendra, iku pangiloning bumi, enggonira ngimpuni sihing manungsa. Mapan sampun panjenengan sang aprabu, sinebut narendra, ratuning kang tata krami" (serat Nitisruti - Pangeran Karanggayam)....Meski seorang raja juga tidak boleh berbeda, dialah cermin di dunia, dalam hal menghimpun rasa kasih, sebab setelah diangkat menjadi pemimpin, ia disebut narendra, raja dalam tata krama...

Sugriwa: Ya sinuwun...nasehat paduka akan selalu menjadi pegangan kami.

Rama: Paman, dan semuanya saja...Anganggoa rereh ririh ngati-ati, den kawang-wang barang laku, kang waskitha solahing wong (Wulangreh - Pakubuwana IV)..Seyogyanya berlakulah sabar, cermat dan hati-hati, perhatikanlah segala perilaku dan cermatlah terhadap perilaku orang.

Sri Rama selalu mendampingi para Narpatinya dengan tulus...dia adalah ciri pemimpin yang mau terlibat lahir dan bathin pada setiap perjuangan kawulanya.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya