Kamis, 16 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Aswani Kumba Mba Kinumba Kusumaning Bangsa

Selasa, 29 September 2015

KISUTA.com - Sitihinggil Pangleburgangsa terasa tegang, ketika Raden Indrajit yang diutus Rahwana meminta kepada Prabu Sumali untuk melepaskan cucunya Aswani Kumba dan Mba Kinumba, putra-putra Kumbakarna dari Bathari Kiswani maju ke Palagan sebagai Senopati.

Dahi Prabu Sumali mengernyit, betapa teganya Rahwana memilih kedua anak kembar yang belum dewasa itu sebagai Senopati. Anak- anak Kumbakarna itu memang remaja yang sakti mandraguna, hasil didikan Indrajit, Patih Prahasta dan Prabu Sumali sendiri. Walaupun mereka terpisah dalam dua raga, sebenarnya kedua raga anak kembar ini mempunyai satu nyawa. Karena itu ketika salah satu tertimpa musibah, satu yang lainnya akan mampu membangkitkan kembarannya hanya dengan satu sentuhan kasih. Mungkin inilah yang membuat Rahwana memutuskan memilih keponakan remajanya itu sebagai Senopati ing Ngalaga.

Sumali: Indrajit, betapa teganya engkau memilih adik-adikmu sebagai senopati? Mereka itu masih remaja, belum saatnya dilepas ke palagan....Apa sudah habis panglima perang di Alengkadiraja?

Indrajit: Eyang prabu....kekhawatiran paduka ini sudah saya sampaikan ke Rama Prabu.. tetapi seperti paduka juga sudah mengenal watak Rama Prabu, beliau malah marah dan menganggap saya lancang menghalang-halangi keinginan beliau.

Sumali: Rahwana memang keterlaluan...apa yang menjadi kemauannya harus dituruti... keangkuhan dan kesombongannya sundul langit...” Wong ngaurip wus tamtu, akeh padha arebut piyangkuh, lumuh lamun kasor kaseser sathithik, nanging singa peksa unggul, ing wekasan dadi saor.” (Pupuh Sekar Gambuh Wedharaga gatra 16 – R.Ng Ranggawarsita).. Orang hidup tentulah, banyak berebut kebanggaan, tak mau kalah dan bergeser sedikit pun, tetapi siapa yang memaksa unggul, akhirnya menjadi hina.... cam kan itu Indrajit dan jangan kamu tiru kesombongan bapakmu.

Indrajit: Sendika dawuh Eyang, tetapi siapa yang mampu menolak permintaan Rama, mungkin hanya eyanglah yang bisa menolaknya.

Sebelum Prabu Sumali menjawab permintaan Indrajit, kedua remaja kembar yang sedari tadi mendengarkan percakapan itu, mengajukan diri kehadapan eyangnya.

Aswani Kumba: Eyang, sudahlah..ijinkan saja kami berangkat menjadi senopati sesuai permintaan Uwa Prabu...

Mba Kinumba: Benar Eyang, kalau kami pergi...tentu Uwa Prabu tidak akan mengganggu kanjeng rama yang sedang bertapa di Gn Gohkarna, menyepi menghindari keresahan hati...

Sumali: Oo ngger cucu-cucuku yang santun...sungguh cinta kasih kalian pada ayahmu sedemikian besar. Sadarkah kalian yang kalian hadapi ini pertempuran besar yang bisa menyeret kalian ke kematian...

Aswani Kumba: Kami tidak takut eyang...kanjeng ibu selalu menyiapkan kami, kalau kami berani hidup, seharusnya kami juga tidak takut pada kematian...

Mba Kinumba: Karena bukankah sesudah hidup, selalu ada kematian eyang...kata ibu, jika hidup diisi dengan yang benar, menjalankan amanah dan tidak mengkhianatinya...mengapa harus takut pada kematian ?...bukankah kematian yang mengerikan hanya ada di neraka?

Aswani Kumba: Kalau kami tidak bertindak salah, menjalankan yang benar, melaksanakan dharma ksatria...apakah kami tetap masuk neraka eyang?

Mba Kinumba: Menjalankan amanah Uwa Prabu, adalah menjalankan titah raja kami...bukan memilih pihak yang salah...itulah dharma bakti kami eyang...

Sumali: Ndrajit !!....kamu dengarlah kata-kata adik-adikmu si kembar ini... ibaratnya mereka ini masih piyik...belum dewasa...tapi lihatlah kebesaran jiwa mereka...Ooo cucuku sayang...

Prabu Sumali memeluk keduanya dengan airmata berlinang-linang...terasa benar, dia akan kehilangan mutiara hatinya ini.

Dengan langkah yang berat, Indrajit mengiringkan kedua sepupunya ini, layaknya mengiringkan senopati agung...tanpa memandang usia belia mereka.

Ketika mendengar keponakan kembarnya putra Kumbakarna di kirimkan Rahwana sebagai Senopati perang. Teriris hati Gunawan Wibisana, betapa teganya Rahwana memilih si kembar yang baru berusia belasan tahun. Wibisana sadar, walaupun dia sangat mencintai kedua keponakannya itu, tetapi kesaktian mereka yang tidak mudah pralaya, adalah ancaman serius bagi pasukan Pancawati. Karena itu Gunawan Wibisana memerlukan untuk menghadap Prabu Rama sendiri.

Saat sampai di hadapan Rama Wijaya, Wibisana tidak mampu menahan pergulatan bathinnya, dia ambruk memeluk kaki Rama, naik sedu sedan dari tenggorokannya.

Rama: Narpati Wibisana, ada apa ini?

Wibisana: Duh Sinuwun...katiwasan, kakaprabu Rahwana menunjuk keponakan kembar hamba...Aswani Kumba dan Mba Kinumba putra kakang Kumbakarna...mereka itu anak baik-baik dididik dalam budi pekerti luhur, walau berwujud yaksa, tandang tingkahnya sehalus dan sesantun ksatria...Ooo Sinuwun ampunilah mereka, usia mereka masih belasan.. apakah mereka harus pralaya semuda itu...?

Rama: Wibisana...saat kedua keponakanmu menyanggupi penugasan ini tentu mereka sadar apa yang terjadi...itulah budi terbesar dari ksatria yang sadar akan kematian...“

Ana tangis layu-layu, tangise wong wedi mati, tangise alara-lara, maras atine yen mati, gedhongana kuncenana, yen pesthi tan wurung mati.” (serat Centhini)

Ada tangis dalam kematian, tangisnya orang yang takut mati, tangisnya sangat pedih, tak rela hati jika mati, sembunyikanlah atau kuncilah, jika sudah takdir akhirnya tetap mati..Wibisana, tenangkan hatimu, untuk mengantarkan kedua senopati agung ini, aku sendiri yang akan menyempurnakan perjalanan mereka.

Perang Tanding si Kembar Aswani Kumba, Mba Kinumba adalah perang tanding terindah sepanjang episode Ramayana. Dengan kesaktian dan kemampuan mereka yang bisa saling menghidupkan, kedua bersaudara ini mengalahkan lawan-lawannya dengan sesedikit mungkin mengambil korban jiwa. Mayoritas wanara dan panglima pancawati hanya di buat pingsan oleh tamparan dan tendangan keduanya. Kalau sangat terdesak dan akhirnya terpaksa membunuh lawannya, salah satu saudara kembar itu akan melindungi kembarannya agar sempat menghaturkan sembah pada korbannya sebagai perwujudan penyesalan mereka.

Prabu Rama sangat terharu melihat tandang kedua ksatria remaja itu, dipersiapkannya panah Gowawijaya dua pasang di busurnya, sebelum panah dilepaskan diperlihatkanlah wajahnya sebagai Titisan Wisnu kepada kedua bocah kembar itu...Gilang Gemilang wajah Rama Wijaya saat mementang gendewanya..Aswani Kumba dan Mba Kinumba yang melihat wajah Rama sebagai titisan Wisnu, tersenyum bahagia menyambut kematiannya.. Guwawijaya mendesing lepas dari busurnya..tepat menghujam jantung si kembar...tanpa rasa sakit mereka gugur sebagai kusuma bangsa.

Dewi Kiswani sangat berduka. Ia kemudian mengadu kepada kakek mertuanya, Prabu Sumali. Segera setelah mendapat laporan yang menyatakan cicit kembar kesayangannya tewas, Prabu Sumali berkeputusan terbang ke Alengka untuk menghentikan kehendak cucunya agar segera mengembalikan saja Dewi Sinta kembali ke tangan Ramawijaya.

Sumali: Rahwana ngger...mau berapa lagi korban yang engkau butuhkan, untuk memenuhi hasratmu... (Pupuh Sekar Gambuh Whedaraga Gatra 22-24 – R.Ng Ranggawarsito)

“Saking lobaning kalbu, mung kalebu lebdeng bek kung lur kung, kumalungkung ngaku ngungkuli sakalir, saliring utameng kawruh, pangrasane padha kasor.”

Rahwana, karena angkara hati, engkau termasuk orang yang membiarkan orang lain susah bertambah sedih, engkau angkuh mengaku pandai melebihi segala-gala, semua keutamaan pengetahuan pula, merasa semuanya sudah kalah ..Oo Rahwana “Tur maksih sasar-susur, saraseng ros tan pati tinemu, wekasane mung kudu den alem bangkit, inganthukan bae munthuk, tandha lamun durung kamot.” ..Padahal dirimu masih tersesat-sesat, rasa intinya tidak begitu jelas, akhirnya hanya harus dipuji kecakapannya, diangguki saja sudah besar hatinya, itu tandanya belum mampu menampung banyak pengetahuan...Rahwana ingatlah “Marma utama tuhu, yen abisa matrap unggah-unggah, tanggap ing reh ngarah-arah ngirih-ngirih, satiba telebing tanduk, tumindak lawan angawon.

Maka sungguh utama, jika dapat menjalankan sopan-santun, dapat mengerti gelagat dan hati-hati serta) bertindak halus, bagaimanapun cara pelaksanaannya, hendaklah bertindak dengan mengalah...

Rahwana tidak tahan mendengar sekar gambuh macapatan penuh nasehat dan sindiran yang disampaikan Prabu Sumali. Gelap mata ia, tak bisa memandang, bahwa Sumali adalah kakeknya. Tanpa diduga Rahwana tega mencabut pedang dan menyabetkan ke leher eyangnya. Tewaslah Prabu Sumali di hadapan para senopati yang hadir, termasuk cicitnya Indrajit...Tragis kematian kakek yang penuh derita ini.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya