Jumat, 17 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Kumbakarna Gugur

Kamis, 1 Oktober 2015

KISUTA.com - Rahwana mulai uring-uringan, kematian Indrajit dan Kuntalabahu, membuatnya panik. Harapannya tinggal pada Kumbakarna, adiknya yang perkasa.

Rahwana lupa bahwa dahulu dialah yang mengusir Kumbakarna karena dianggapnya tidak loyal. Dalam kepanikannya Rahwana memerintahkan para prajurit membangunkan Kumbakarna yang tapa tidur di gunung Gohkarna. Pasukan terompet, pasukan tambur dan pasukan meriam sampai dengan petasan bergantian membangunkan Kumbakarna. Namun Kumbakarna tidak terusik sama sekali.

Rahwana menjadi kehabisan akal. Akhirnya Tejamantri Togog menghadap Rahwana, ia bersedia membangunkan Kumbakarna kalau mendapat perintah dari Rahwana. Rahwana mengijinkan Tejamantri Togog. Togog mendekati kaki Kumbakarna, dan dipeganginya jempol kaki kirinya, kemudian dicabut bulu(wulu cumbu)nya. Begitu tercabut, Kumbakarna langsung bangun, kedua tangan dan kedua kakinya menghentak keras sekali, sehingga tanah menjadi bergetar. Beberapa orang pasukan yang ada di dekatnya, sempat terinjak dan terpukul oleh kedua tangan dan kakinya.

Kumbakarna merasa senang Rahwana mau mendatanginya dan Rahwana telah memaafkan Kumbakarna. Makanan dan minuman diberikan kepada Kumbakarna. Makanan dan minuman beberapa grobag pun habis. Setelah selesai makan dan minum, Rahwana baru menjelaskan maksud kedatangannya.

Rahwana: (Sambil menangis terisak, sedih sekali) “Oooo, Di, Kumbakarna, aku membutuhkan tenagamu... Negeri kita hampir hancur berantakan, ...dan kamu enak-enak tidur mendengkur tidak menghiraukan....Di, ketahuilah Semua Senapati dan perwira Alengka satu-persatu gugur.... negeri ini telah diinjak-injak kera dan munyuk-munyuk wadyabala Sri Rama dari Pancawati... Adiku yang gagah... Sekarang mereka berkemah dan berbaris di gunung Suwelagiri.... adakah baktimu kepada negara dan bangsamu?”

Kumbakarna diam membisu tak sepatah katapun menjawab. Sedang Rahwana hanya mondar-mandir seolah-oleh kehabisan kata, kemudian mengeluh sambil menghempaskan diri, duduk di sisi Kumbakarna dengan tampang memelas.

“Oooh Kumbakarna, ...kini harapanku tinggal kepadamu, ketahuilah bahwa kedua anakmu, Mba Kinumba dan Aswani Kumba, anakku Indrajit, cucuku Kuntalabahu, Eyang Sumali... Bahkan paman Prahastapun telah gugur pula.....Di, tegakah kamu hanya makan, minum dan ngorok melihat negrimu diacak-acak...darah dagingmu ditumpas habis... Ooo Kumbakarna, engkau selalu dipuji Rama Begawan sebagai putra beliau yang bersifat ksatria... Terjunlah ke medan laga adikku, bunuhlah Rama dan Laksmana. Tumpaslah Anggada dan Anoman, musnahkanlah sekalian wadya munyuk dan rewanda dari bumi Alengka. ... adikku, Kumbakarna yang kucintai, perlihatkanlah kesetiaan baktimu dan cinta kasihmu kepadaku. Aku adalah kakakmu yang tertua yang kini dalam kesedihan, aku yakin dengan kesaktianmu engkau dapat dan sanggup menumpas seluruh wadyabala dan pengikut Rama.”

Kumbakarna terkejut ketika Prabu Rahwana, memberi tahu kalau perang Alengka sudah terjadi. Saudara saudaranya, Sarpakenaka, anak anak Prabu Rahwana serta patih Prahasta semuanya telah gugur. Juga anak anaknya sendiri, Mba Kinumba dan Aswani Kumba telah gugur pula di medan laga. Kumbakarna mendengar itu menjadi marah luar biasa. Kumbakarna berteriak membahana, memecah kesunyian. Guntur, petir bersahut sahutan, burung burung di langit saling bertubrukan,dan binatang binatang liar di hutan saling berlarian tidak tentu arah, binatang besar, gajah, banteng, singa dan macan, lari tunggang langgang dan jatuh terguling guling ke dalam jurang. Karena teriakan Kumbakarna menimbulkan gempa.

Rahwana pun ikut kaget. Akhirnya Kumbakarna memuntahkan makanan dan minuman yang terlanjur masuk ke dalam perutnya.

“Rahwana kakakku, itulah akibat orang yang berkepala batu, yang didengar hanya nafsunya sendiri. Kecongkakan dan kepongahanmu engkau sendirilah yang membentuknya. Istri orang engkau maui, diberi nasehat, tidak engkau gubris. Selalu merasa benar sendiri. Setiap kali engkau sesumbar, sok kuasa, seolah-olah tidak ada manusia di dunia ini yang melebihi kesaktianmu. Sekarang apakah jadinya? Negara hampir punah dan tumpas gulung tikar... Oohhh Rahwana kakakku yang kuhormati dan aku segani, mengapa dahulu engkau tak mau dengar, di kala aku dan adikmu Wibisana yang cerdik bijaksana itu menasehatimu. Bukankah ia telah dengan berani dan penuh kejujuran mengingatkanmu, tetapi engkau buta, bahkan memarahinya, menuduhnya seolah-olah mengkhianatimu dan membantu lawan. Wibisana adalah manusia “Sarjana-sujanengbudi” yang dapat membaca akibat jauh dari hasil perbuatan baik dan buruk. Engkau tidak mendengarkan pertimbangannya, bahkan engkau mengutuk dan mengusirnya. Kini ia meninggalkanmu, meninggalkan negeri Alengka, bukan karena mengkhianati negara, tetapi ia memihak kebenaran. Itu adalah sikap manusia yang tahu akan kebenaran.”

Kini engkau baru tahu akibat kepergiannya, seolah-olah Alengka kehilangan cahayanya. Para hulubalang bahkan engkau sendiri, berjalan menumbuk-numbuk seperti orang buta kehilangan tongkatnya! Siapakah yang bersalah, oh kakakku,... masih ada waktu. Kembalikan Sinta kepada Rama demi keselamatan negara dan bangsa Alengka. Saranku ini bukanlah karena aku takut berperang, tetapi aku tahu bahwa Ramalah yang berdiri di pihak yang benar. Kalau ini kau kerjakan, berarti engkau telah menyelamatkan negara dan bangsamu.”

Rahwana meradang: “Bangsat engkau Kumbakarna...badanmu segede gunung, nyalimu sekecil semut...kalau kamu masih ngeri berhadapan dengan Rama....kesana bersembunyilah di belakang pantat istrimu Kiswani...anak-anakmu sudah tumpas...habiskan saja waktumu gulung bergulung dengan babonmu...kurang ajar...keparat kamu ya...

Kumbakarna, akhirnya bergerak menuju Kasatriyan Pangleburgangsa untuk pamitan pada istrinya Bathari Kiswani, dan menyetujui penunjukannya sebagai senopati ing ngalaga.

Kumbakarna: Dinda Kiswani, maafkan aku...engkau menghadapi sedih dan laranya jiwa ragamu kehilangan anak...Ooo Kiswani, betapa tidak patutnya aku menjadi guru lakimu...

Kiswani: Kanda...putra-putra kanda gugur sebagai kusuma bangsa..lebih baik begitu, daripada hidup dalam kubangan angkara murka...aku menerima semua ini dengan ikhlas kanda. Kanda siapkah kanda madeg senopati?

Kumbakarna: Ya dinda "Mangka ta kang aran laku, lakune ngelmu sejati, tan dahwen pati openan, tan panasten nora jail, tan nyurungi kaardan, among eneng mamrih ening". (Serat Wedhatama - Mangkoenegara IV) Kiswani istriku sayang, Adapun yang disebut laku adalah laku bagi ilmu hak sejati, tidak punya pamrih, tidak ada rasa iri dan hasut, tidak menuruti nafsu, hanyalah ketenangan agar tetap jernih.. sebentar lagi, pun kakangpun akan bersatu dengan anak-anak dalam kasedan jati...siapkan busanaku Kiswani, darahku harus tertumpah untuk tanah kelahiranku, semoga bisa membersihkan angkara yang telah mengotori tanah leluhurku.

Kumbakarna berpakaian putih putih dan berangkat ke medan laga membela tanah air, bukan karena membela Rahwana yang angkara murka. Pasukan Alengka mengiringkan kepergian Kumbakarna ke medan perang.

Wibisana melihat kedatangan kakaknya Kumbakarna sebagai Senapati dengan berpakaian seorang brahmana, putih-putih. Wibisana segera menghampiri kakaknya.

Wibisana: Duh kanda Kumbakarna, mengapa maju ke medan perang sebagai senopati Alengka kanda tahu perang ini karena ulah kanda Rahwana yang mencuri istri orang. Apakah orang seperti itu pantas untuk dibela?”

Kumbakarna: Adikku Wibisana, ketahuilah kakangmu ini bukan datang karena Rahwana, kakangmu ini hanya ingin mempertahankan kemerdekaan Alengkadiraja, negeriku, tanah airku. Aku tidak menginginkan perang tetapi juga tidak menginginkan negeri tercintaku di injak injak oleh musuh, Aku tidak ingin negeriku dijajah oleh negara lain.

Terdiam Wibisana..Kumbakarna meneruskan biacaranya...

Kumbakarna: Lihatlah Di, aku tidak akan membunuh siapapun. Aku kecewa sudah banyak korban dari Alengka yang tewas. Juga kedua anakku, Mba Kinumba dan Aswani Kumba telah tewas. Aku hanya menginginkan Prabu Rama dan pasukannya kembali ke Pancawati... Wibisana adikku menyingkirlah, biarkan kakangmu ini menemui Prabu Rama, agar mereka segera kembali ke Pancawati.

Kumbakarna memasuki wilayah pertahanan Prabu Rama. Pasukan kera langsung segera menyerbu Kumbakarna. Lengannya dikerubuti ratusan kera, menggigitnya dan mencakarnya, tapi Kumbakarna diam saja. Lengan yang satu juga ditunggangi ratusan kera, juga kepala, muka, leher, punggung, perut, paha, kaki. Mereka menggigit, mencakar dan merobek robek kulit Kumbakarna. Dalam waktu sekejap Kumbakarna menjadi gunung kera.

Tidak ada satu bagian tubuh Kumbakarna yang terlewatkan, semua sudah penuh kera kera. Walaupun sedemikian hatinya Kumbakarna, agar tidak melukai siapapun, tetapi tanpa sengaja Kumbakarna juga menginjak ratusan kera yang menghadangnya.

Kumbakarna akhirnya berhadapan dengan Rama, kemudian ia meminta kepada Prabu Rama, agar Prabu Rama kembali ke Pancawati. Prabu Rama mengatakan baru akan menarik pasukannya kalau istrinya dikembalikan. Rama ganti meminta agar Kumbakarnalah yang kembali ke istana Alengkadiraja.

Sementara itu para Senapati Kera, Sugriwa, Anoman, Anggada dan Anila berusaha mencegah Kumbakarna mendekati Prabu Rama. Mereka memegangi kedua kaki Kumbakarna agar tidak melangkah lagi, tetapi keempat satria kera itu tidak berdaya, mereka berjatuhan, dan hampir hampir saja terinjak oleh kaki Kumbakarna.Tubuh Kumbakarna memang lebih besar dari raksasa yang lain, Kumbakarna memiliki ukuran tubuh beberapa kali ukuran raksasa biasa.

Untuk membebaskan kesengsaraan Kumbakarna dari serangan para rewanda, Prabu Rama melepaskan panah Guwawijaya kepada Kumbakarna. Panah pertama memutuskan bahu sebelah kiri. Lengan tangan kiri Kumbakarna yang dikerubuti ratusan kerapun jatuh. Banyak kera yang tewas tergencet lengan kiri Kumbakarna.

Kumbakarna masih melangkah maju, Prabu Rama mengingatkan jangan maju lagi, namun Kumbakarna tetap melangkah. Prabu Rama pun melepaskan anak panah yang kedua. Putuslah bahu kanan Kumbakarna. Lengan kanan Kumbakarna yang dikerubut ratusan kerapun jatuh. Banyak kera yang tewas tergencet lengan kanan Kumbakarna. Kumbakarna terus melangkah.

Prabu Rama melepas anak panah yang ketiga dan keempat kearah kedua kaki Kumbakarna. Kedua kaki Kumbakarna yang dikerubuti ratusan kerapun lepas dan jatuh menggencet pula para kera yang mengerubutnya di bawah kakinya.Tubuh Kumbakarna pun ambruk dan menjatuhi ribuan kera kera yang ada dibawahnya. Kini Kumbakarna tinggal tubuh dan kepalanya saja, yang wajahnya sudah tidak berujud lagi. Kedua daun Telinga, hidung, mulut, kedua mata, Kumbakarna sudah tanggal semua.

Kumbakarna menahan sakit, Kumbakarna yang tinggal kepala dan tubuhnya berguling guling kesakitan, dan tanpa sengaja banyak kera yang tewas terlindas oleh tubuh Kumbakarna. Prabu Rama merasa ngeri dengan keadaan Kumbakarna.

Wibisana segera meminta pada Prabu Rama untuk menyempurnakan kematiannya. Prabu Rama yang kelima kalinya melepaskan anak panahnya ke leher Kumbakarna. Kepala dan gembung Kumbakarna terpisah. Kumbakarna pun gugur.

Kematian Kumbakarna disambut harum bunga melati yang turun dari langit. Tubuh Kumbakarna yang semula terpotong potong, dan tercecer di mana-mana, tiba tiba menyatu menjadi Kumbakarna yang utuh kembali. Kumbakarna bangkit kembali dan hilang dari pandangan mata. Rupanya Kumbakarna, moksha. Jiwa dan raga Kumbakarna diterima oleh dewa, dan ditempatkan di Swarga Pangrantunan.

(Lirih Kiswani yang kembali sebagai Bidadari mengiringkan sukma suaminya dengan macapatan Dhandanggula)

"Wonten malih tuladan prayogi; Satriya gung nagri ing Ngalengka, Sang Kumbakarna arane, Tur iku warna diyu; Suprandene nggayuh utami; Duk wiwit prang Ngalengka, dennya darbe atur; Mring raka amrih raharja. Rahwana tan keguh ing atur yekti; Dene mengsah wanara.

Kumbakarna kinen mangsah jurit; Mring kang raka sira tan lenggana; Nglungguhi kasatriyane; Ing tekad datan purun; Amung cipta labuh nagari; Lan noleh yayah rena; Nyang leluhuripun; Wus mukti aneng Ngalengka mangke; Arsa rinusak ing bala kapi; Punagi mati ngrana." (Serat Dhandanggula Tripama - Mangkoenegara IV)

Ada lagi tauladan yang baik; Satria agung dari negara Ngalengka; Sang Kumbakarna namanya; Walaupun wujudnya raksasa; Walau demikian ingin mencapai keutamaan; Ketika dimulainya perang Ngalengka; Ia menyampaikan pendapat; Kepada kakaknya (Prabu Rahwana supaya (Ngalengka) selamat; Rahwana tidak mau mendengar pendapat baik; Karena hanya melawan (balatentara) kera.

Kumbakarna diperintah maju perang; Kepada kakaknya ia tidak membantah; Karena menetapi sifat ksatria; (sebenarnya) Tekadnya tidak mau; Hanya semata-mata bela negara; Dan melihat bapak ibunya; Serta leluhurnya; Sudah hidup mukti di negara Ngalengka; Sekarang mau dirusak balatentara kera; Bersumpah mati di medan perang.

Prabu Rama dan segenap punggawa terkesima dengan peristiwa itu. Terlebih lebih Wibisana, menangisi kepegian Kakaknya yang paling dicintainya.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya