Kamis, 16 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Rama Awas

Senin, 12 Oktober 2015

KISUTA.com - Pesanggrahan Suwelagiri terasa lengang, ketegangan terasa di setiap sudut tenda-tenda pesanggrahan itu. Prabu Rama di tenda terbesar sedang berhadapan dengan Narpati Sugriwa, Narpati Wibisana, Laksmana, Anoman, Anggada, Anila beserta segenap panglimanya.

Rama: Wibisana, besok adalah pertarungan besar, karena Rahwana sendiri akan maju sebagai senopati. Bagaimana persiapan para prajurit kita?

Wibisana: Ya Sinuwun, saya rasa kakang Sugriwa telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik...namun...

Rama: Ada apa Wibisana, seakan ada keraguan di hatimu?

Wibisana: Sinuwun...Sampai saat ini kemenangan bisa dikatakan sudah hampir kita dapatkan...namun, kakanda Rahwana adalah raja gung binatara, yang memiliki kesaktian luar biasa....beliau memegang aji rawarontek dan pancasona, yang membuatnya tidak bisa mati...

Rama: Ya Wibisana, aku tahu itu...tetapi sebagai manusia biasa, Rahwana tidak bisa terhindar dari rasa sakit...itulah sebabnya Prabu Arjunasasrabahu bisa menundukkannya dengan menyiksanya, hingga hidup pun segan karena rasa sakitnya dan membuatnya takluk...

Wibisana: Aaah Sinuwun, apakah paduka yakin...hanya dengan menyiksa raga kakaprabu Rahwana...paduka bisa mendapatkan Dewi Sinta kembali? Bukankah dahulu..Prabu Arjunasasrabahu juga gagal mempertahankan Dewi Citrawati yang suduk salira karena fitnahan rakanda Rahwana...?

Rama: Wibisana...“meloke ujar iku; yen wus ilang sumelanging kalbu; amung kandel kumandel marang ing takdir, iku den awas den emut, den memet yen arsa momot" (Wedhatama pupuh 3, gambuh, gatra 25 - Sampeyan Ndalem Mangkoenagoro IV)...ya Wibisana, kepasrahanku pada Illahi, membuatku bisa melihat dengan jelas, hilanglah rasa was-was, karena semuanya aku serahkan pada sang takdir..semua itu harus bersamaan dengan sikap waspada, selalu ingat bahwa kita punya keterbatasan tidak takabur, teliti dan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan cermat, sesuai dengan kemampuannya agar mencapai tujuannya.

Hening suasana pertemuan itu, diisi dengan nasehat Sri Rama dan strategi Wibisana menghadapi kesaktian Rahwana.

Wibisana: Sinuwun, pemegang aji Rawarontek itu, tidak akan pernah mati selama tubuhnya masih menyentuh tanah...bumi akan menyatukan patahan-patahan tubuhnya, dan menghidupkannya kembali saat raganya menyentuh Bantala...

Anoman: Aah..kalau begitu akan saya pancing dia, untuk terbang gegana...jika lengah...kematiannya kita buat saya tersangkut di pohon atau di atas tanah, supaya mati seterusnya...

Wibisana: Tidak semudah itu Anoman..karena selain rawarontek, kakaprabu Rahwana juga pemilik aji Pancasona...dengan merapal mantra pancasona, kelima unsur alam berupa udara, angin, tanah, air, dan api dapat menghidupkan rakanda Rahwana kembali Anoman...

Angin yang dingin menusuk tulang, saat para narpati mengolah pikir, mencoba mencari jalan mengenyahkan kebathilan...Ooo dewata agung, betapa dahsyat kekuatan iblis..kesaktian Rahwana begitu hebat...dari laku dusta, curang dan khianat...siapa yang peduli, ketika niat bejat sudah menyatu dalam raga sang Angkara Murka...

Syahdan, di keputren Taman Argasoka, dewi Trijata sedang gundah gulana...tersimpan di cupumanik yang disembunyikannya di peraduannya, Kama Rahwana yang terjatuh di daun Nagasari...ternyata menunjukkan tanda-tanda kehidupan...kama (air mani) yang keluar karena birahinya pada dewi Sinta ini, mulai berkembang dalam asuhan Trijata, yang sengaja merahasiakan hal ini...karena tidak tega pada penderitaan Sinta, dan takut kalau Rahwana mengetahui hal ini...Rahwana dengan segala akal bulusnya, bisa memanfaatkannya untuk menfitnah Sinta...

Sinta: Trijata..makin jarang engkau menemaniku..seakan ada yang engkau rahasiakan..ada apa nini?

Trijata: Ooh uwa dewi...tidak ada apa-apa....mungkin hamba gelisah karena besok Uwa Prabu akan madeg senopati...inilah saat yang sangat menentukan Uwa Dewi...

Sinta: Benar Trijata...karena itu, temani aku ke sanggar pamujan.. Aku ingin berdoa untuk keselamatan dan kejayaan Prabu Rama...

Dewi Sinta ditemani Trijata menuju sanggar pamujan...khusuk Sinta mencurahkan segala kemampuan bathiniahnya...pikirannya tertuju pada suami terkasihnya, permohonannya mengalir tulus...untuk tibanya keadilan, kejayaan, kemenangan kebajikan atas kebathilan...dari tubuh jelita itu seakan keluar sinar terang warna warni yang menyelubungi auranya.

Usai berdoa di sanggar pamujan...Sinta berpapasan dengan Banondari, yang mencoba mengajaknya bicara...

Banondari: Duhai Sinta...jelita pujaan kaum pria, ijinkan aku sampirkan harapanku pada doamu yang tulus...

Sinta (dipandangnya wanita cantik di depannya...Banondari... wanita ini adalah istri kesayangan Rahwana, namun Sinta juga tahu betapa menderitanya wanita ini yang anak kembarnya dibunuh oleh Rahwana suaminya sendiri, bapak kandung si kembar...hanya untuk memperdayanya)..kakangmbok Banondari, ada apakah...

Banondari: Esok adalah hari penentuan...suamiku akan berhadapan dengan suamimu...Ooo Sinta, sebagai seorang istri...tidak akan aku temui engkau..menjelang pertempuran dahsyat itu. Tapi.....(suara Banondari tercekat di tenggorokan.. air matanya mulai membasahi pipinya)

Sinta: ya kangmbok...lanjutkanlah...

Banondari: Aku menemuimu...sebagai ibu Sondara dan Sondari.. wajib bagiku menyempurnakan kematian putra-putraku..yang meninggal dalam penasaran...sukmanya akan tergantung terhambat menuju nirwana...dan baru akan lepas, jika keadilan ditegakkan...(lepas tangis Banondari...lututnya lunglai..Banondari menangis dalam pelukan Sinta...)

Sinta: Kangmbok..tenanglah...apa yang bisa aku lakukan untuk menolong putra-putramu...

Banondari: Sinta...anak-anakku akan ikhlas kembali ke kasedan jati, jika bisa melepas sukma ayahnya yang telah membunuhnya.. kedua anakku itu sudah menjelma menjadi bukit kembar di tlatah Sumawana dekat bukit Maliawan..Prabu Rahwana tidak akan tewas, karena memiliki aji Rawarontek dan Pancasona...tetapi saat tubuhnya terjepit bukit kembar jelmaan putraku..maka setiapkali mati, dia tidak akan sempat hidup lagi karena akan terjepit mati lagi...begitu seterusnya Sinta...sampaikan ini pada suamimu, untuk kejayaannya esok hari...

Banondari terus terisak setelah menyampaikan pesan rahasia beralaskan ilapat mimpinya bertemu dengan sukma Sondara Sondari.... sayup-sayup..dewi Sinta mendendangkan macapat gambuh pupuh ke3 gatra 24 Wedhatama - SP Mangkoenagara IV "“kalamun durung lugu; aja pisan wani ngaku-aku; antuk siku kang mangkono iku kaki, kena uga wenang muluk, kalamun wus pada melok”..... Trijata, sampaikan apa yang ayunda Banondari pesankan ini pada Prabu Rama....Rahwana adalah raja yang sombong, dia tidak bisa bersikap lugu ...selalu penuh kecongkakan, karena itu dia mengundang kutukan azab untuk semua perbuatannya.

Trijata, kembali menjadi duta menuju Suwelagiri, tak lupa dibawanya cupumanik yang berisi kama Rahwana. Sesampainya di Suwelagiri, segera ditemuinya ayahnya Wibisana, menyampaikan pesan Sinta, berbekal pengetahuan pepesten Rahwana dari dewi Banondari. Dari pengetahuan baru ini strategi perang menghadapi Rahwana segera disusun, dan untuk sementara waktu Trijata diminta Wibisana menginap di Suwelagiri, karena perang dahsyat esok hari akan segera dimulai.

Kehadiran Trijata di Suwelagiri...adalah percik-percik asmara liar yang tak tentu arah...antara hasrat Trijata pada Laksmana, yang tidak berbalas...karena kesetiaan Laksmana pada Urmila....Gairah Anoman pada Trijata, yang seakan menampar angin karena Trijata hanya melihat Laksmana, dan di balik rerimbunnya semak, pandang binar Kapi Jembawan menatap wajah cantik Trijata tanpa kedip.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya