Kamis, 16 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Rahwana Lena

Rabu, 14 Oktober 2015

KISUTA.com - Kereta perang Rahwana yang megah mulai memasuki palagan, Rahwana kelihatan tegar dengan baju zirahnya yang melambangkan kebesarannya....Matanya nyalang mencari sosok Rama Wijaya, musuh besarnya..suami wanita yang dicintainya.

Di seberang palagan, Rama mulai bergerak dikusiri Laksmana, Sinar mentari pagi memberikan sorot keemasan ke muka Rama, menambah ketampanan dan kewibawaannya. Rama begitu tenang dengan wibawanya yang besar. Inilah hari penantian ini, saat dimana kehormatan dipertaruhkan, saat dimana tanggung jawabnya sebagai guru laki mencari jawab...

Para Panglima kedua belah pihak sudah mulai berlaga, pasukan Alengka mulai kocar kacir menghadapi Anoman, Anila, Anggada dan pasukan pancawati. Tak mengherankan karena panglima-2 utama Alengka sudah banyak yang pralaya...yang tersisa adalah panglima lapis kedua, yang jelas bukan tandingan para ksatria wanara pilihan ini.

Tiba-tiba Rahwana menghentakkan keretanya menyerbu ke tengah palagan, cemetinya melecut ke kanan dan kiri menyemburkan api, prajurit wanara bergelimpangan terkena amukan raja perkasa ini. Anoman tanggap segera dihadapinya Raja Alengka ini, kegesitannya melenting ke sana ke mari dengan tendangan-tendangan geledeknya merepotkan Rahwana.

Rahwana meradang, sumbarnya menggeledek menghina Anoman.

Rahwana: Hooiii..dasar monyet jelek anak haram dewa..berani-beraninya kamu menghadapi aku...hayoo turun, hadapi aku di sini.

Anoman: Rahwana, penculik istri orang..kenapa tidak berani menghadapi kamu? Kau katakan aku anak haram..hehehe lihatlah tengkukmu sendiri...aku lahir membawa kutukan ibuku, agar beliau menjadi bidadari yang bersih suci mendampingi Batari Uma...bagaimana dengan engkau ? wujudmu yang menjijikkan adalah tanda nafsu gila orang tuamu yang tak terbendung...kasihan engkau Rahwana...

Rahwana: Kurang ajar!! Munyuk jelek...mati kamu...

Blllaaarghhh...Rahwana mengirimkan pukulan gelap ngampar.. tetapi bisa dihindari dengan gesit oleh Anoman. Rahwana kalap, dilepaskannya mantra untuk membuat alam gelap gulita dan petir menyambar-nyambar menghanguskan prajurit Pancawati.. Prabu Rama tanggap bahwa Rahwana telah mengeluarkan ilmu hitamnya. Dilepaskannya palastra kyai Brahmastra, anak panah itu menembus mega, meledak membuyarkan ilmu hitam Rahwana, palagan menjadi terang benderang, prajurit kedua kerajaan kembali meneruskan peperangannya.

Melihat Rama sudah turun tangan dengan kekuatan senjata saktinya, Rahwana berteriak lantang, berubahlah dia menjadi Raksasa yang mengerikan..Rahwana bertiwikrama... Melihat ini Rama Wijayapun bertiwikrama menjadi Brahala Sewu mengimbangi kesaktian Rahwana. Kedua Raksasa ini bertempur dengan dahsyat, Brahala Sewu Prabu Rama berkali-kali dapat membanting Tiwikrama Rahwana, tetapi karena ajian Rawarontek dan Pancasona Rahwana, Raksasa Tiwikrama ini selalu hidup kembali. Melihat kejadian ini Rama Wijaya merubah strategi nya, setiap kali berhasil meringkus Tiwikrama Rahwana, tidak pernah dilepaskannya Rahwana dari cengkeramannya..dibanting, diseret, ditelikung, dibanting lagi, dibenturkan ke bukit dsbnya...begitulah siksaan yang dialami Rahwana, hingga Rahwana merubah wujud menjadi jati dirinya kembali supaya lebih gesit melarikan diri dari Brahala Sewu Rama Wijaya.

Setelah berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Rama, Rahwana terbang nggegana bersembunyi di balik awan.

Brahalasewu Rama, kembali ke wujud semula. Prabu Rama segera semedi, diisinya panah pusaka Kyai Dangu yang berujung cucuk bangau, dengan sebagian sukmanya, sehingga pusaka panah ini bisa bicara...dilepasnya pusaka sakti ini dengan Kyai Gandewa...Kyai Dangu mendesing membelah udara mengejar Rahwana..saat sampai di dekat Rahwana, Kyai Dangu mulai menusuk-nusuk tubuh Rahwana dengan cucuknya sambil berbicara...

Kyai Dangu: Raja durjana, mau sembunyi ke mana lagi engkau....ke manapun engkau pergi aku akan tetap menusuk-nusukmu sampai engkau tobat...

Rahwana: Aw..aduuh...adiiieww...kurang ajar...lepaskan aku...

Kyai Dangu: Hmmm Rahwana.... “Bener luput ala becik lawan begja, cilaka apan saking, ing badan priyangga, dudu saka wong liya, pramila den ngati-ati, sakeh dirgama, singgahana den eling.” ( Serat Wulangreh – Sunan Pakubuwana IV)..Rahwana, benar salah baik buruk juga keberuntungan, atau celaka itu tergantung diri sendiri, bukan dari orang lain, oleh karenanya berhati-hatilah, waspada terhadap segala ancaman...engkaulah pangkal tolak bencanamu sendiri...bertobatlah, kembalikan istri Rama...

Rahwana: Aduuuh...tidak...Sinta itu cinta sejatiku, akan aku pertahankan sampai kapanpun...enyahlah engkau panah keparat...

Kyai Dangu: Otakmu bebal, tidak mau mendengar dan menerima kebenaran....engkau perusak norma dan akhlak....rasakan ini...ccuuuusszzhhh....

Rahwana: Aduhh...haduuuh...(Rahwana terus terbang berlari...tetapi selalu bertemu kyai Dangu yang merobek-robek kulit luarnya dengan tusukan-tusukannya)

Melihat Rahwana kerepotan menghadapi Kyai Dangu, Anoman segera terbang menyusul, bekerjasama dengan Kyai Dangu, Anoman mengarahkan Rahwana mendekati Gunung Kembar jelmaan Sondara Sondari ...tanpa sadar karena hanya ingin terbebas dari siksaan Kyai Dangu dan serangan-serangan Anoman Rahwana makin mendekati Gunung Kembar tersebut. Sayup-sayup terdengar bisikan sukma Sondara Sondari...

Sondara: Yayi Sondari, sepertinya sudah saatnya kita ajak kanjeng rama menuju kasedan jati...

Sondari: Benar Kakang aku juga melihat..kanjeng rama sedang kewalahan dan terbirit-birit menuju gunung kita ini.

Sondara: Adikku..mari pahami, bahwa apa yang akan kita lakukan mengantarkan kanjeng rama ke kasedan jati ini...bukanlah karena kita durhaka atau membalas dendam...tetapi karena kita perlu keselarasan dan keadilan dalam memayu hayuning bawana...

Sondari: Ya kakang...tangisan Ibu Banondari yang menembus kahyangan, dalam rintihan kepedihan...menjadi arah kita meletakkan keadilan...apa yang telah dilakukan kanjeng rama pada diri kita...dengan membunuh kita untuk menipu dewi Sinta...bukanlah alasan tindakan kita menjadi durhaka...

Sondara: Yayi...kita adalah alat untuk mewujudkan keselarasan hidup...setiap tindakan ada sebab dan akibatnya..di situlah bobot keadilan ditentukan...

Sondari: Kanjeng Rama sudah makin mendekat kakang...mari kita mempersiapkan diri...

Rahwana Terbang lintang pukang menghindari Kyai Dangu dan Anoman...di kejauhan saat Anoman melihat Gunung Kembar jelmaan Sondara Sondari, Anoman terbang mendekati celah kedua Gunung itu...Saat itu Rahwana melihat celah di antara kedua gunung itu sebagai tempat persembunyian yang sempurna...Rahwana terbang melesat ke arah jelah sempit yang membentuk jurang terjal dengan dinding batu-batu di antara dua gunung itu...

Sayup-sayup terdengar suara misteri....”Saatnya sudah tiba....inilah waktunya.....” tiba-tiba kedua gunung itu bergeser merapatkan diri, Rahwana tersentak tapi tak sempat meloloskan diri...dari atas, Kyai Dangu melesat menghujam ubun-ubunnya, terdengar suara gemeletak..Rahwana tewas dengan kepala pecah....Rawarontek membuatnya hidup sesaat kemudian, tetapi jepitan kedua gunung itu membuatnya tak berkutik, luka yang parah akibat hujaman Kyai Dangu juga membuatnya mati kembali – hidup – mati lagi – hidup – mati lagi – hidup – mati lagi...begitu seterusnya...dari kejauhan Anoman mematahkan bukit Kendalisodo, gunung anakan ini dibawanya terbang dan dibantingnya mengubur jasad Rahwana diantara dua gunung itu...sampai tak ada lagi udara yang masuk diantara kedua celah gunung itu....keluarlah gelembung-gelembung dari retakan celah gunung itu...gelembung itu diyakini sebagai inti watak Rahwana yang memuat keangkara murkaannya....gelembung-gelembung itu menyebar bersama udara, dan bisa merasuki siapa saja yang imannya lemah...

Pusaka Kyai Dangu...mendesis, seakan menyenandungkan tembang akhir...” Urip sepisan rusak,Nora mulur nalare ting saluwir,Kadi ta guwa kang sirung,Sinerang ing maruta,Gumarenggeng anggereng Anggung gumrunggung,Pindha padhane si mudha,Prandene paksa kumaki.” (Serat Wedhatama – Sri Paduka Mangkoenegara IV)...Hidup sekali saja berantakan, Tidak berkembang, pola pikirnya carut marut.

Umpama goa gelap menyeramkan, Dihembus angin, Suaranya gemuruh menggeram. Berdengung , Seperti halnya watak anak muda masih pula berlagak congkak...

Perlahan-lahan bersama semilir angin wujud Kyai Dangu menghilang, sukmanya sudah kembali menyatu bersama raga sang Rama Wijaya...

Anoman segera menghadap Prabu Rama Wijaya untuk menyampaikan akhir dari tugasnya menyempurnakan kematian Rahwana.

Rama: Ya Anoman...waspadalah bahwa Rahwana itu raja yang sakti mandraguna, dengan kesaktian Rawa rontek dan Pancasona...walaupun jasadnya sudah abadi terkurung dalam gunung dan ditimpa bukit Kendalisodo...ada kemungkinan wujud halusnya menjelma kembali. Kelak ada masanya Rahwana menjelma sebagai Prabu Godakumara atau Prabu Godayitma...

Anoman: Kalau demikian halnya...apa yang harus kita lakukan sinuwun.

Rama: Tuntaskan pengabdianmu Anoman bertapalah engkau di bukit Kendalisodo itu. Hanya engkaulah yang akan mampu menjerat dan menawan Prabu Godakumara atau prabu Godayitma kembali ke pasarean abadinya di bawah bukit Kendalisodo ini. Mari aku wejang engkau dengan mantera pengunci sukma penasaran ini.

Anoman mendapatkan bisikan mantera pengunci sukma Godayitma dan Gudakumara dari Sri Rama Wijaya. Selanjutnya Prabu Rama meminta Anoman madeg kapanditan dengan menjaga bukit Kendalisodo.

“Kekerane ngelmu karang, Kekarangan saking bangsaning gaib, Iku boreh paminipun. Tan rumasuk ing jasad, Amung aneng sajabaning daging kulup, Yen kapengok pancabaya. Ubayane mbalenjani......(Whedatama – Sripaduka Mangkoenegara IV).... Di dalam ilmu yang dikarang-karang (sihir/rekayasa) Rekayasa dari hal-hal gaib, Itu umpama bedak. Tidak meresap ke dalam jasad, Hanya ada di kulitnya saja . ..Bila terbentur marabahaya, bisanya menghindari...

Anoman memahami sepenuhnya bahwa tugasnya adalah memayu hayuning bawana, sebagai bala kebajikan dia harus menjalani hidupnya secara benar, menjaga akhlak, moral dan kecakapan pribadinya secara bijak. Ilmu yang didapatkannya secara benar, akan lebih lestari menyatu dalam pribadinya. Berkembang seiring dengan kekayaan pengalamannya. Dan tidak akan pudar melawan zaman.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya