Kamis, 16 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Kelahiran Lawa dan Kusa

Selasa, 27 Oktober 2015

KISUTA.com - Syahdan, di sisi lain hutan Dandaka di Pertapaan Wismaloka, Dewi Sinta sedang mengejan menahan sakit..tampaknya tiba saat baginya melahirkan. Resi Walmiki berada di luar pondok, gelisah menunggu saat-saat yang mendebarkan itu. Beberapa saat kemudian terdengar tangisan bayi melengking bersahut-sahutan. Walmiki terkejut...Aah sepasang putra kembar yang tampan dan elok rupawan....rupanya inilah jawaban mengapa kandungan Sinta demikian besar...ternyata Sinta mengandung bayi kembar.

Jadi tuduhan bahwa Sinta mengandung mendahului waktu yang diperkirakan atau mengandung bibit Yaksa, adalah tuduhan yang tak berdasar. Bukankah kesucian Sinta sudah terbukti saat Sang Dewi melakukan Aghni Pariksa...membakar diri untuk uji kesuciannya.

Walmiki menggeleng-gelengkan kepalanya, segera diteruskannya menulis seloka untuk meggambarkan nestapa dan ketidak adilan yang dialami wanita jelita ini.

Waktu berjalan demikian pesat Putra kembar Sinta tumbuh sebagai anak-anak tampan, cerdas dan sakti dibawah bimbingan Walmiki. Kedua anak kembar ini diberi nama Lawa dan Kusa. Senja itu Dewi Sinta menemani anaknya di tepi telaga ingatannya menerawang ke masa silam. Masih terngiang-ngiang pesan Sri Rama, “Istriku kau akan meneruskan perjalanan bathinmu menepi dari pandangan masyarakat. Sedangkan aku sebagai raja, masih harus memberi contoh selangkah demi selangkah agar mereka dapat memahami bagaimana berbudaya dan bermasyarakat. Sebagai raja, aku harus lebih memperhatikan suara masyarakat daripada suara keluarga dan kerabatku..kecurigaan mereka akan besarnya kandunganmu perlu disikabi. Istriku kau akan mengerti aku dan kamu sejatinya satu, dimanapun engkau berada, disitulah hatiku bertaut..itulah sumpahku dalam Eka pratni vrata dan menjalani laku Sewala Brahmacari…..” Suaminya benar. Dirinya menerima apa pun yang terjadi dan bersyukur. Lebih mudah meningkatkan laku bathinnya bersama Resi Walmiki, tanpa masyarakat yang salah memahami dirinya karena tingkat kesadaran mereka yang berbeda. Tugas Sri Rama adalah meningkatkan kesadaran masyarakat dan setelah tugasnya selesai, mereka akan bertemu lagi.

Segalanya sekarang semakin jelas, Guru Walmiki membimbing Dewi Sinta yang memang sudah matang bathinnya.

Ketika Lawa dan Kusa meningkat remaja mereka menanyakan siapakah ayah mereka. Dan, Resi Walmiki membacakan Kitab Ramayana, yang merupakan kisah dari Rama dan Sinta. Dewi Sinta telah menceritakan semua kisah hidupnya kepada Gurunya, Resi Walmiki. Resi Walmiki telah mengabdikan dirinya untuk peningkatan kesadaran manusia yang telah ‘siap’. Kisah Dewi Sinta dengan Sri Rama di catat dan diabadikannya dalam Kitab Ramayana. Lawa dan Kusa menanyakan kepada Resi Walmiki apakah ada ‘dosa asal’ mereka, sehingga mereka dibesarkan di pedesaan dan tidak di perkotaan. Resi Walmiki menjelaskan bahwa kehidupan adalah hasil dari tindakan masa lalu kita. Tetapi tindakan yang harus diambil pada saat ini adalah sepenuhnya merupakan pilihan diri sesuai tingkat kesadaran kita.

“Jadi janganlah menganggap bahwa apa yang kalian alami itu sudah suratan takdir, kalau demikian halnya, kalian akan merasakan banyak ketidak adilan..mengapa nasib kalian tidak seindah dan senikmat orang lain yang ‘suratan takdir’nya lebih bagus. Sebagian kehidu[pan kalian dihiasi oleh pilihan tindakan kalian...semua itu akan terangkai dalam hubungan sebab akibat.”

Lawa dan Kusa tumbuh bijak dalam didikan Walmiki dan Sinta. Hingga suatu hari tibalah peristiwa yang mengantarkan pertemuan mereka dengan Rama.

Sudah menjadi kebiasaan di Kerajaan Ayodya. Seseorang Maharaja mengadakan ritual melepaskan kuda putih yang diikuti pasukan tentara yang kuat. Kuda putih tersebut dibiarkan memilih jalan sendiri yang dikehendakinya. Tak ada seorang raja tetangganya yang mengambil kuda putih tersebut. Apabila seseorang raja berani melakukannya, berarti dia telah berani menentang sang maharaja dan terjadilah pertempuran sampai seorang raja kalah dan tunduk, ataupun kerajaannya dapat menundukkan kerajaan sang maharaja dan kekuasaanpun beralih pada siapa yang terkuat.

Ketika kuda putih melewati desa tempat Dewi Sinta tinggal, kuda tersebut ditangkap oleh Lawa dan Kusa. Pasukan tentara yang mengikutinya tahu bahwa anak-anak remaja tersebut bukan seorang raja, tetapi semua pasukan mereka dapat dikalahkan mereka dengan mudah. Sang kembar tidak mau menyerahkan kuda tangkapannya. Panglima pasukan yang kalah tempur melapor kepada Sri Rama yang kemudian menyuruhnya membawa pasukan yang lebih kuat. Akan tetapi pasukan itu pun takluk pada Lawa dan Kusa dengan mudah. Akhirnya seperti pesan Sri Rama, diundanglah kedua remaja tersebut ke istana.

Dewi Sinta membekali putranya dengan nasehat sebelum kedua anak kembar itu menuju Ayodyapala.


“Lawan malih wekas mami, anak putu butut ingwang, miwah canggih wareng ingwang, poma padha estokna, ing pitutur kang arja, aja ana wong tukar padu, amungsuh lawan sudara.... Dhahat ingsun tan nglilami, sujatma ahli dursila, cewengan lan sudarane, temahan tan manggeh arja lan tipis kang sarira, wong liyan kathah kan purun, mejanani mring sira ... Mokal sira tan miyarsa, kang kocap sujana kathah, gecul mgrumpul bandhol ngrompol, nanging aja kalirua, babasan kaya ika, den waskitheng surupipun, babasan kaya mangkana... Dipun kumpul sira sami, aja gecul tekadira, dipun ngrompol ala bandhol, poma iku estokna, yen sira nedya arja, aja ma kawongan pocung, anom kumpul tuwo pisah .. Yen kayaa pocung ugi, salahsiro neng donya, dadi wong pidhangan bae, dudu watek wong sujana, salawasira neng donya, lamun sujalma kang surup, nom kumpul tuwa tan pisah ... Poma den astiti, pitutur ing layang iki, poma aja da maido, lamun sira maidoa, lan mara ayonana, dumeh tutur tanpa dhapur, tinarik tan manggih arja .... Yen sira karsa ngayeni, pitutur ing layang iki, anuli solahe age, mungsuhe lawan sudara, nuli pisaha wisma, samangsane sira luput, kalawan sujalma liyan .... Pasti sira den ayoni, den ira sujalma liyan, sadulur wis tega kabeh, sanajan silih kataha, kadhang mangsa belas, sajege sira tan atut, lawan sanak kadhangira (Serat Wulangsunu Pupuh II gatra 1-8 karya Sinuwun Pakubuwono IV)....”

“Ada lagi nasehatku anak cucu cicitku, serta canggah dan warengku, supaya memperhatikan petunjuk menuju selamat. Jangan ada yang bertengkar, bermusuhan dengan saudara ... Aku juga tidak merestui, manusia yang melanggar kesusilaan, bertengkar dengan saudaranya, akhirnya tidak akan menemui keselamatan, tetapi jika kamu suka membantu banyak orang yang senang menjalin hubungan denganmu. .. Mustahil kalau kamu tidak mendengar yang diucapkan oleh orang banyak, (akan lebih peka) penjahat berkumpul dengan penjahat, (pandailah memilih lingkungan) agar dirimu tidak keliru, seperti petuah tadi, perhatikanlah bagaimana akhirnya, demikian lah petuah itu. .. Bila kamu berkumpul, janganlah berniat jahat, berkumpul janganlah berbuat jahat, perhatikanlah itu bila ingin selamat, jangan ada orang seperti pocung, waktu mudanya berkumpul setelah tua berpisah (khianat dan tidak setia) . ...Bila seperti pocung juga, selamanya kamu didunia hanya menjadi hinaan orang, itu bukan watak orang yang baik selama hidup di dunia, sedang orang yang baik adalah waktu muda berkumpul sampai tua tidak berpisah (utamakan kesetiaan). ... Agar diperhatikan petunjuk dalam serat ini jangan ada yang membantah, bila kamu membantah cepat sadar dan lakukan, jangan dikira petunjuk tanpa dasar, digunakan tidak bermanfaat. ...Bila kamu membantah petunjuk dalam serat ini, cepatlah ingat, jika bermusuhan dengan saudara, lalu berpisahlah dengan rumahnya, sewaktu-waktu kamu berbuat salah, terhadap orang lain..... Bila kamu lakukan juga saudaramu kau anggap orang lain, saudaramu juga ikhlas semua, meski telah banyak berkorban, saudaramu tidak akan membela, selama kamu tidak pantas, tinggal bersama sanak saudaramu. (akhir dari kesetiaan yang sudah dikhianati, akan bubar semuanya).*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya