Kamis, 16 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Sinta Ditelan Bumi

Jumat, 30 Oktober 2015

KISUTA.com - "Duhai Ibu, inilah saat mengakhiri penderitaan ibu sebagai permaisuri raja yang tersisih di hutan. Marilah ikuti kami bertemu dengan ayahanda Rama Wijaya."

Lawa dan Kusa terus membujuk Ibunya, untuk mengikuti mereka ke Ayodyapala. Sinta tertunduk, matanya terpejam mencoba mengumpulkan kekuatan. Aah betapa inginnya dia di jemput dan disambut sebagai permaisuri raja sejati yang suci dan penuh kemuliaan...

Terbayang kerinduannya pada Rama Wijaya, saat pujaan hatinya itu memenangkan peperangan melawan Rahwana sang Durjana penculiknya. Betapa inginnya Rama sendiri yang menjemputnya ke taman Argasoka. Namun, Rama jijik menginjakkan kakinya ke bumi Alengka, diutusnya Laksmana untuk menjemput Sinta. Sinta memakluminya...

Betapa teriris hatinya ketika dia berlari memeluk suaminya setelah dijemput Laksmana, Rama begitu dingin, meragukan kesuciannya. Sinta melakukan Agni Pariksa, api tak mampu menghanguskannya tanda kesuciannya masih utuh. Rama menerima kesuciannya.

Tetapi saat kandungannya membesar, tidak wajar karena memang mengandung si kembar, kembali suara sumbang meragukannya...dan suaminya hanyut pada suara-suara di sekitarnya. Sinta menyingkir agar martabat suaminya terjaga. Dia mulai merasa bahagia dengan kepasrahannya. Sekarang anaknya ingin mengajaknya bertemu lagi dengan pujaan hati yang sudah dua kali meragukannya. Duhai Bunda Bathari...sambat Sinta dalam hati, kali ini jika keraguan itu kembali menyiksa bathin, biarlah pertala menerima tubuhku seutuhnya.

Prabu Rama menatap tajam wajah tampan kedua putra kembarnya.

Rama: Siapa nama kalian?

Lawa: Hamba Lawa.

Kusa: Dan hamba Kusa.

Rama: Siapa ayah dan ibu kalian hingga kalian memiliki kesaktian yang begitu tinggi?

Kedua remaja tampan itu duduk bersila berhadap-hadapan, tangan mereka terbuka berbentuk padma di paha dan mulailah mereka menyenandungkan Kisah Ramayana dalam seloka tembang karya Walmiki, begitu runtut, lengkap dan merdu didengar...Rama dan segenap hadirin terpukau, keringat dingin mulai keluar dari dahi sang Prabu...

"Ah Lawa, Kusa, engkaukah putra Sinta? Engkaukah putraku? Di manakan ibumu?"

Lawa dan Kusa mengalihkan pandangannya ke sebelah kanan pendapa di mana seorang wanita jelita duduk bersimpuh beralaskan tanah di halaman berlindung dari teriknya mentari di bawah pohon tanjung...

"Sinta...engkaukah itu diajeng...kemarilah..ceritakan benarkah ini anakku?"

Mata Dewi Sinta terbuka, pertanyaan Rama ini membuatnya gamang, masih kurangkah seloka yang dibawakan anak kembar mereka? Hingga perlu lagi baginya mengulang kisah untuk keyakinan Rama? Perlahan Sinta menggelengkan kepalanya..Oo dewata Agung, cukup sudah...Sinta mulai menembangkan macapat "Sapantuk wahyuning Gusti Allah,Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit,..Bangkit mikat reh mangukut, Kukutaning jiwangga,..Yen mengkono kena sinebut wong sepuh, Lire sepuh sepi hawa, Awas roroning atunggil (Serat Wedatama karya Mangkoenegara IV pupuh Pangkur gatra 12)...Siapapun yang menerima wahyu Tuhan, Dengan cermat mencerna ilmu tinggi, Mampu menguasai ilmu kasampurnan, Kesempurnaan jiwa raga, Bila demikian pantas disebut “orang tua”. Arti “orang tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu, Paham akan dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan)...

Kakaprabu, kalau masih kurang keyakinan paduka akan jatidiri anak-anak itu. Ya, hambalah Sinta istrimu, ibu yang mengandung putra-putramu..dalam rintihan kerinduanku, selalu kutunggu rengkuhan tanganmu memelukku, menjemputku...menempatkanku sebagai istri sejati pendamping hidupmu. Namun..hingga hari ini impianku tampaknya jauh dari kenyataan, kebesaran dan kehormatanmu terlalu mulia untuk disejajarkan dengan cinta kita. Karena itu kanda, aku titipkan anak-anak kita...jika kesuciankulah yang masih terus dipertanyakan, di hadapan rakyat Ayodyapala, Sinta akan bertanya pada Dewata Agung, jika tubuhku diterima utuh oleh Sang Bumi, maka itulah jawabannya bahwa kesucian cintaku terlalu besar untuk disandingkan dengan manusia walaupun dia titisan Wisnu sekalipun, hanya bumi dan isinya yang sanggup menerima kebesaran cintaku kanda...

Tiba-tiba bumi terbelah, dengan senyuman agungnya tubuh Sinta tersedot ke Pertala dan dengan sempurna bumi menutup membawa tubuh perempuan suci itu.

Rama pingsan dalam pelukan anak-anaknya.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya