Kamis, 16 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Kuru, Leluhur Wangsa Bharata

Senin, 9 November 2015

KISUTA.com - Alkisah di kerajaan Astina, setelah didampingi permaisuri Shakuntala dan putra mahkota Bharata, kebesaran Prabu Duswanta mencapai zaman keemasan. Kerajaan Astinapura menguasai hampir dua pertiga wilayah India. Saat Duswanta wafat Bharata naik tahta, didampingi permaisurinya yang cantik Sunandadewi. Dari pernikahannya, mereka memiliki 9 putra, tetapi anak mereka tidak ada yang selamat, meninggal semua. Akhirnya Dewa Brahma disertai Resi Bharadwaja, menemui Bharata agar Bharata mau mengangkat Bharadwaja sebagai putranya.

Akhirnya Bharata menerima Bharadwaja sebagai putera. Bharadwaja menikah dengan Susila. Sebagai putera angkat Bharata, ia dicalonkan menjadi raja, tapi Bharadwaja tidak tertarik dengan kerajaannya. Ia memilih kehidupan rohani. Untuk mengatasi kekecewaan Bharata, maka Bharadwaja menyelenggarakan upacara suci. Upacara suci itu direstui oleh para dewa, maka Bharata memiliki seorang putera bernama Bhumanyu. Setelah Bharata mangkat, Bhumayu menggantikan kedudukannya sebagai raja.

Raja Bhumayu memerintah Astinapura dengan adil tanpa gejolak, beliau berputra Sambarana yang tampan dan cerdas. Pada usia tuanya Bhumayu menyerahkan tampuk pemerintahan pada Sambarana, dan melanjutkan kehidupannya sebagai Brahmana.

Sambarana menikahi Tapati putri cantik dinasti Chandra, pasangan ini memiliki seorang putera yang diberi nama Kuru. Pangeran Kuru sejak kecil menunjukkan kebesaran hati dan jiwa welas asihnya.

Pada masa pemerintahan Sambarana, terjadi perang saudara dengan Panchala. Para kesatria Bharata terpukul mundur oleh tentara musuh. Panchala mengalahkan dinasti Bharata. Kemudian Sambarana bersama istri, menteri, putera dan kerabatnya, melarikan diri, dan menempati sebuah hutan di tepi sungai Sindhu, yang termasuk wilayah dari kaki pegunungan di sebelah barat India.

Suatu hari Pangeran Kuru memutuskan membajak wilayah tersebut dengan menggunakan bajak yang terbuat dari emas, ditarik oleh seekor sapi dan seekor kerbau. Tindakan Kuru disaksikan oleh Dewa Indra, sang dewa penasaran turun ke bumi menanyakan tujuan Kuru melakukan hal tersebut. Kuru menjawab ia melakukannya agar mendapatkan pahala atas meditasi, tindak kebenaran, tindakan welas asih, pengampunan, kesucian, amal, melalui perbuatan nyata. Saat Indra menanyakan di mana benihnya, Kuru tidak menjawab sambil terus membajak.

Dewa Indra pergi meninggalkan Kuru, Dewa Wisnu turun ke bumi untuk menanyakan hal yang sama kepada Kuru.

Kuru: Duh sang Bathara, sungguh benihnya ada dalam diri saya pribadi.

Wisnu: Kalau benih itu ada di dalam dirimu, coba keluarkan benih itu...

(Kuru merentangkan tangan kanannya.Wisnu mengeluarkan cakra menyayat tangan Kuru menjadi ribuan potongan, kemudian menaburi tanah yang dibajak Kuru. Setelah itu, Kuru merentangkan tangan kirinya dan Wisnu melakukan hal yang sama. Lalu, Kuru menyerahkan kakinya, dan Wisnu pun memotongnya. Akhirnya saat Kuru menyerahkan kepalanya, Wisnu terkesan kepadanya).

Wisnu: Duhai raja Kuru...engkaulah pemimpin sejati yang menyerahkan jiwa ragamu untuk kemuliaan bangsamu. Pengorbananmu ini sepadan dengan kebesaran dan kemuliaan yang akan engkau ukir sepanjang abad. Melalui restuku, Aku kembalikan martabatmu sebagai Raja Astinapura, hidup dan pimpinlah negrimu dalam kebesaran jiwamu.

Kemudian, Wisnu memberi dua anugerah pada Kuru. Pertama, wilayah yang telah dibajaknya menjadi wilayah yang suci, di mana upacara suci yang diselenggarakan di sana akan berpahala berlipat ganda dan ramai dikunjungi sebagai tempat berziarah untuk mendapatkan pengampunan, dan akan dikenal sebagai Kurushetra, yang secara harfiah berarti "Wilayah Kuru", untuk mengenang jasa Kuru.

Kedua, Wisnu memberkati bahwa siapapun yang meninggal di wilayah tersebut maka arwahnya akan segera mencapai surga. Semenjak itulah, tempat yang terletak di wilayah India Utara tersebut, menjadi salah satu tempat suci di India. Menurut legenda, ribuan tahun setelah Kurushetra disucikan, perang saudara antara sesama keturunan Kuru terjadi di tempat itu. Tempat tersebut dipilih dengan harapan agar para kesatria yang gugur segera mencapai surga, karena tanah di wilayah tersebut diberkati.

Raja Kuru menikahi Dewi Subanggi putri kerajaan Dasarha, di bawah pemerintahannya Astinapura mengalami kejayaan, hingga beliau mangkat, digantikan putranya Widurata yang kelak berputra Santanu....saat di mana Astinapura mulai surut kejayaannya.

(Waosan Serat Kalatida Pupuh Sinom Gatra 1-4 karya R.Ng Ranggawarsito, sebagai pameling tentang pemerintahan yang mulai disusupi aneka kepentingan, sampai pemilihan pembantu rajapun bisa dipolitisir)

Mangkya darajating praja, Kawuryan wus sunyaturi, Rurah pangrehing ukara, Karana tanpa palupi, Atilar silastuti, Sujana sarjana kelu, Kalulun kala tida, Tidhem tandhaning dumadi, Ardayengrat dene karoban rubeda.

Keadaan negara saat ini, sudah semakin tak karuan. Sistem tata negara telah rusak, karena sudah tak ada yang bisa diikuti lagi. Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah leluhur. Para cerdik cendekia pun juga terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan). Suasananya kian mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.

Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Paranedene tan dadi, Paliyasing Kala Bendu, Mandar mangkin andadra, Rubeda angrebedi, Beda-beda ardaning wong saknegara.

Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik, Patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik, namun mereka semua itu tidak bisa menciptakan kebaikan di masyarakat. Oleh karena daya jaman Kala Bendu. Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi. Lain orang lain pikiran dan tujuannya.

Katetangi tangisira, Sira sang paramengkawi, Kawileting tyas duhkita, atamen ing ren wirangi, Dening upaya sandi, Sumaruna angrawung, Mangimur manuhara, Met pamrih melik pakolih, Temah suka ing karsa tanpa wiweka.

Saat itulah hati ini menangis, penuh kesedihan, mendapatkan hinaan dan malu, akibat dari perbuatan seseorang. Tampaknya orang tersebut memberi harapan yang cukup menggiurkan sehingga hati ini terlalu gembira dan tidak waspada.

Dasar karoban pawarta, Bebaratun ujar lamis, Pinudya dadya pangarsa, Wekasan malah kawuri, Yan pinikir sayekti, Mundhak apa aneng ngayun, Andhedher kaluputan, Siniraman banyu lali, Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.

Persoalannya kemudian adalah karena kabar angin yang tidak menentu. Kabarnya akan ditempatkan sebagai orang yang di depan, tetapi akhirnya sama sekali tidak benar, bahkan tidak diperhatikan sama sekali. Sebenarnya kalau direnungkan, apa sih gunanya menjadi pemimpin? Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja. Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya