Jumat, 17 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Lahirnya Dewabrata

Minggu, 15 November 2015

KISUTA.com - Di Kerajaan Astinapura, sepeninggal Raja Kuru, turun temurun putra dan cucunya memerintah kerajaan dengan adil dan penuh kebijaksanaan. Hingga sampailah pemerintahan pada masa Raja Pratipa, keturunan Kuru yang gagah, tampan dan berwatak welas asih. Raja Pratipa menikah dengan Dewi Sunanda, putri dari Kerajaan Sibi, mereka hidup berbahagia dan saling mencintai. Namun setelah sekian tahun Sunanda belum juga menunjukkan kehamilan, Pratipa memutuskan untuk meninggalkan istana sejenak, guna bertapa memohon kepada dewata agung untuk segera diberi keturunan.

Sunanda melepas kepergian suami tercintanya dengan berlinang airmata, hati kecilnya was-was...kegagahan dan ketampanan suaminya, serta kelemahannya yang belum berputra, bisa membuat suaminya mendua hati dan melupakan ikrar kesetiaan mereka. Raja Pratipa yang merasakan kegalauan Sunanda mencium lembut kening istrinya: "Tenangkan hatimu Sunanda, aku akan menjaga kepercayaanmu. Tidak akan kukhianati engkau, karena tujuanku hanya ingin memiliki keturunan. Dan itu kupastikan akan lahir dari rahimmu. Jika dewata agung, tidak memberikan karunia itu padaku. Aku rela melepas tahtaku kepada keturunan yang lain, dan biarlah aku habiskan sisa hidupku bersamamu istriku sayang."

Raja Pratipa, bertapa di hulu Sungai Gangga dengan khusuk. Karena ketekunan dan keteguhan hatinya, badannya memancarkan aura terang kebiruan, yang makin menambah keagungan dan ketampanan wajahnya. Pada saat itu Dewi Gangga turun ke bumi demi menebus dosanya, ia melihat Raja Pratipa yang sedang bertapa di Sungai Gangga. Dewi Gangga menjadi jatuh cinta, melihat perbawa sang raja.

Dewi Gangga lalu duduk di paha kanan sang raja. Ia meminta sang raja agar bersedia mengambilnya sebagai istri.

Pratipa: Sang Bathari...berdirilah dari pangkuanku, benahi dirimu, jaga kesopananmu, mari kita bicara baik-baik...

Dewi Gangga: Duuuh...Raja yang tampan, aku sudah menyerahkan diriku padamu...perbuatlah sesukamu pada jiwa dan ragaku, aku berserah diri dan akan melayanimu sebagai istri terkasih.

Pratipa: Maaf Bathari, aku bertapa tidak mencari istri...aku sudah memiliki istri yang setia menungguku di istana, niatku bertapa justru melengkapi kebahagiaannya, agar dia segera bisa mengandung keturunan kami...

Dewi Gangga: Duhai sang Raja, engkau punya kewenangan punya istri lebih dari satu..kurang cantikkah aku dibandingkan istrimu? Aku sanggup memberikan keturunan bagimu Rajaku yang perkasa..(Dewi Gangga merajuk dengan manja, dan mengelus dada sang raja untuk menggugah hasratnya. Pratipa menepiskan elusan tangan Gangga, dan bangkit dari semedinya).

Pratipa: Cukup Bathari. Jangan kau goda aku lagi, percuma saja, aku raja yang mampu mengendalikan nafsuku, dan tak akan tergiur dengan kecantikan atau ajakan maksiat yang akan mendatangkan azab bagiku. Walau aku berkuasa dan mampu memiliki wanita lebih dari satu...aku tidak akan menyakiti wanita yang mencintai aku dan aku cintai...karena tangis sakit hatinya, adalah doa yang manjur untuk mendatangkan azab bagiku. Bathari, engkau duduk di pangkuanku sebelah kanan, itu adalah tempat seorang ayah memangku dan menyayangi putrinya.. karena itu, dengarlah janjiku, jika Dewa berkenan memberiku keturunan anak laki-laki..maka biarlah aku doakan engkau menjadi jodohnya, engkau menjadi menantukan yang akan menurunkan cucu-cucu yang hebat untukku.

Petir menggelegar menyambut sabda Sang Prabu, Bathari Gangga menghormat Sabda sang prabu dengan takzim, diciumnya tangan raja bijaksana ini, sambil tersenyum Bathari Gangga berkata, "Prabu Pratipa, engkau raja besar dengan hati besar. Berbahagialah wanita yang bersanding sebagai istrimu. Aku berkati perkawinan kalian, pulanglah sambut istrimu, ajaklah dia bersemedi bersama. Dengan restuku, kalian akan segera memiliki keturunan setelah menyelesaikan semedi kalian."

Sekembalinya Raja Pratipa ke Istana, dia menceritakan pertemuannya dengan Bathari Gangga pada istrinya Dewi Sunanda. Betapa bersyukurnya Sunanda memiliki suami yang setia dan tidak tergiur dengan kecantikan Bathari Gangga.

Sunanda: Duh suamiku, puji syukur untuk keteguhan hatimu, sungguh karunia luarbiasa bagimu, memiliki suami sepertimu.

Pratipa: Sunanda, laki-laki yang bisa memelihara kesetiaan dan cinta sejatinya adalah laki-laki yang berbahagia. Dengan menjaga cintaku padamu, tidak ada was-was di hatiku bahwa engkau akan kehilangan perasaanmu padaku, aku tidak perlu menuntutmu untuk bersikap hormat padaku, karena aku layak mendapat keutuhan pengabdianmu.

Raja Pratipa mengajak istrinya meninggalkan kerajaan sementara, ia bertapa bersama Sunanda di Gunung Himalaya. Pada saat itu, Roh Raja Mahabima yang turun dari surga, melihat kedua suami istri tersebut sedang bertapa untuk memperoleh anak. Raja Mahabima berubah menjadi uap tipis masuk ke dalam rahim Sunanda. Saat kedua suami istri itu kembali ke kerajaan, beberapa lama kemudian, permaisuri raja tersebut dinyatakan hamil. Pada saat usia kehamilan sudah cukup tua, Sunanda melahirkan seorang putera yang tampan. Putra tersebut diberi nama "Santanu", karena putra tersebut dilahirkan saat Raja Pratipa dalam keadaan tenang dan damai (santa berarti tenang atau damai).

Ketika Pangeran Santanu sudah dewasa dan tumbuh sebagai jejaka tampan, pada masa berburu, pangeran tampan ini bertemu dengan Bathari Gangga di hulu Sungai Gangga, tergetarlah hati sang Pangeran muda, diutarakannya maksudnya melamar sang Bathari.

"Pangeran, aku bersedia engkau peristri, tetapi berjanjilah padaku.. apapun yang aku lakukan dalam perkawinan kita nanti.. bahkan sampai saat aku berputra dan ada yang aku lakukan dengan putra-putraku...engkau tidak boleh bertanya, apalagi mencegah setiap tindakan dan perbuatanku...jika engkau langgar janjimu...maka itulah saatnya aku meninggalkanmu...aku akan kembali sebagai bidadari Maniloka dan tak peduli lagi dengan setiap keputusan yang engkau buat."

Pangeran Santanu menyetujui semua permintaan Bathari Gangga. Mata dan perasaannya sudah tersita oleh pesona Sang Bathari yang molek.

Pasangan Santanu dan Bathari Gangga hidup bahagia penuh kemuliaan. Pada saatnya Prabu Pratipa menyerahkan tahta pemerintahan kepada Santanu dan beliau hidup sebagai brahmana dengan istrinya Dewi Sunanda.

Kebahagiaan Santanu mulai terusik, karena setiap kali permaisurinya melahirkan, belum genap selapan, selalu Bathari Gangga membuang bayinya hidup-hidup ke Sungai Gangga. Walaupun sedih dan penasaran, Prabu Santanu tidak pernah bertanya tentang keanehan ini pada istrinya, tetapi setelah tujuh kali kelahiran putra-putranya berakhir dengan dibuangnya para bayi itu ke Sungai Gangga..perasaannya mulai galau...perang bathin antara cintanya pada Bathari Gangga, dan nuraninya melihat kekejaman itu mengusiknya.

Saat Bathari Gangga melahirkan putranya yang ke 8, dan malam harinya membawa bayi tampan itu ke sungai, Prabu Santanu tak tahan lagi, dicegatnya istrinya...dan bertanyalah Santanu.

Santanu: Duhai Gangga belahan jiwaku...mengapa engkau begitu kejam pada anak-anak kita...sudah tujuh kali engkau buang anak-anakku ke sungai...bayi yang ke 8 ini, aku minta janganlah kau buang lagi kekasih hatiku...apakah tidak tersentuh rasa keibuanmu pada bayi yang masih suci ini.... (Santanu meraih anaknya dari gendongan Bathari Gangga...bayi lucu itu tertawa dan menunjukkan mimik yang lucu dalam gendongan Ayahnya, raja Santanu mencium pipi anaknya yang terkekeh-kekeh manja, membuat rasa kebapakan Santanu makin menguat)

Bathari Gangga menjauh dari jangkauan Prabu Santanu, matanya yang bening menatap tajam suami dan putranya...

"Santanu suamiku...tentu engkau ingat akan janjimu sebelum melamarku sebagai istrimu. Suamiku, sekaranglah saatnya aku meninggalkanmu. Masa pelajaranku di dunia pupus sudah, telah aku tunaikan darma baktiku sebagai istrimu. Kini aku akan kembali ke Maniloka. (Bathari Gangga, menceritakan hukumannya untuk turun kedunia, dan kutukan resi Wasista pada 8 wasu)...anak yang sekarang ada dalam pondonganmu itulah titisan wasu Prabhasa, didiklah dia sebagai ksatria sejati...aku namai dia DEWABRATA...sebagai tanda bahwa dia anak penghuni Maniloka.. selamat tinggal suamiku..."*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya