Rabu, 15 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Parasara Ngruwat, Durgandini Jadi Satyawati

Selasa, 24 November 2015

KISUTA.com - Di Tepi Sungai Gangga, lereng Gunung Sapta Arga, Resi Parasara bertapa dengan khusuk, masa berganti tahun, waktu berlalu demikian pesat, Parasara muda sudah beranjak matang, usianya sudah mendekati 40th. Hidupnya hanya diisi dengan pengabdian pada masyarakat dan beribadah pada Hyang Esa. Parasara menyimpan cintanya yang dalam pada Bathari Begawan Rukmawati, hingga tak satupun wanita mampu meletupkan rasa cintanya.

Sanghyang Girinata, dan Bathara Naraga prihatin dengan keadaan Parasara.

Sanghyang Girinata: Kakang Kanekaputra, sayang sekali kaki Parasara sampai sekarang belum juga beristri. Padahal dengan kawaskitan dan pribudi luhur seperti yang dipunyainya, dia akan menurunkan manusia pilihan, yang bisa kita harapkan memayuhayuning bawana.

Narada: Oeyyy, Adi Guru......orang luhur jauh dari nafsu dunia, Parasara tahu tujuan hidupnya...dia tidak memanjakan jagad kecilnya...karena jagad besar lebih penting baginya...

Girinata: Ya kakang...tetapi sayang kalau bibit seperti dia, kita sia-siakan dimakan waktu, mari kita bantu dia menemukan jodohnya.

Sanghyang Girinata merubah dirinya menjadi sepasang burung pipit bersama Bathara Narada, mereka mengajak serta Bathari Warsiki, Gagar Mayang dan Tunjung Biru yang disimpan sebagai winih dadi.

Di pertapaan Sapta Arga, Resi Parasara, merasakan di kepalanya hinggap sepasang burung Pipit yang bersarang, kemudian bertelur di sarang atas kepala sang Resi.

"Hmmm...Pipit sejodo, apakah pohon-pohon sudah demikian meranggas, dan semakpun terasa panas...hingga kau pilih kepalaku sebagai tumpuan sarangmu....Ya..ya...wahai sesama hidup, aku ijinkan kalian bertumbuh bersamaku...asal jangan kau kacaukan keseimbangan hidup ini."

Parasara membiarkan sepasang Pipit itu mengerami telurnya, di kepalanya.

Suatu hari Parasara merasakan sepasang induk Pipit itu, bercericit dan meninggalkan telur-telurnya...Parasasa memanggil sepasang pipit itu agar kembali...tetapi Sepasang induk burung pipit itu hinggap dari pohon satu ke pohon lainnya, seolah mereka ingin bermain kejar-kejaran dengan Resi Parasara. Tak terasa, pengejaran Resi Parasara terhalang oleh Sungai Gangga.

Pada saat itulah Resi Parasara melihat seorang tukang perahu berwajah cantik namun berbau amis mendekati dirinya. Tukang perahu itu mengaku bernama Rara Amis yang menawarkan diri untuk menyeberangkan Sang Resi. Resi Parasara terkesima karena wajah tukang perahu ini sama persis dengan Begawan Rukmawati yang dicintainya. Tanpa banyak bertanya lagi, ia pun naik ke atas perahu dan meminta diseberangkan untuk mengejar sepasang induk burung tadi.

Tiba-tiba sepasang induk burung yang hinggap di pohon seberang sungai musnah entah ke mana, begitu pula ketiga anak burung yang ada di tangan Resi Parasara juga ikut lenyap. (Mereka telah kembali dalam wujud ghaib Hyang Girinata, Bathara Narada, Bathari Warsiki, Gagar Mayang dn Tunjung Biru).

Sesampainya di seberang, Resi Parasara mengurungkan niatnya untuk turun dan meminta supaya diantarkan menyusuri Sungai Gangga saja, diam-diam perasaan Parasara telah tersedot pesona si Tukang Perahu. Rara Amis menurut dan menjalankan perahu sesuai permintaan Sang Resi. Resi Parasara sama sekali tidak jijik terhadap bau badan Rara Amis, tetapi justru merasa iba. Ia pun menawarkan diri untuk mengobati penyakit gadis itu. Rara Amis mengiakan dengan penuh pengharapan. Resi Parasara lalu mengusapkan rimpang kunyit ke sekujur tubuh Rara Amis sambil membaca mantra Muskala. Berangsur-angsur penyakit Rara Amis rontok dan berubah menjadi semacam lumpur yang kemudian dilemparkan ke dalam sungai oleh Resi Parasara.

Rara Amis sembuh dari penyakitnya ia sangat berterima kasih kepada Resi Parasara. Di sisi lain, Resi Parasara tergetar hatinya saat mengusapkan kunyit ke sekujur tubuh Rara Amis. Ia pun berterus terang telah jatuh cinta kepada gadis itu. Rara Amis juga merasa jatuh hati kepada penolongnya tersebut. Meskipun Resi Parasara sudah berusia empat puluh tahun lebih, tetapi wajahnya sangat tampan dan juga awet muda karena tekun bertapa setiap waktu.

Pada saat itu perahu yang mereka tumpangi berlabuh di sebuah pulau kecil yang terletak di tengah Sungai Gangga. Resi Parasara dan Rara Amis pun mendarat di pulau tersebut. Mereka sama-sama tak kuasa menahan nafsu birahi. Resi Parasara menciptakan semacam kabut tebal untuk menutupi apa yang mereka lakukan berdua.

Tiba-tiba ada petir menggelegar menyambar perahu milik Rara Amis yang ditambatkan di tepi pulau tadi hingga pecah menjadi dua. Resi Parasara dan Rara Amis terkejut dan merasa bersalah karena petir ini pasti teguran dari dewata atas perzinahan yang telah mereka lakukan.

Narada: Ooooeeyyy...Jagad Dewa Bathara....wahai Parasara kekasih dewa...mengapa serendah itu kelakuanmu...tidakkah engkau bisa menahan diri, sesuai laku brahmana agung?

Parasara: Duuh...pukulun...ampuni kekhilafan hamba, nafsu dan getar-getar rasa kasih telah mendorong hamba melakukan zina pada nini tukang perahu ini...

Narada: Hhmm...Parasara, sesungguhnya Rara Amis, ini kami yang menjodohkan denganmu...dalam wujud kami sebagai burung pipit...sayang engkau tidak mampu mengurai dan mensyukuri nikmat karunia yang sudah kami buka. Kepekaan bathinmu tumpul oleh nafsu..Ooo sayang sekali ngger...perbuatanmu ini akan mendapat akibat...karena setiap pilihan perbuatan manusia, tidak ada yang bebas dari sebab dan akibat...

Parasara: Duuuh pukulun..ampuni hamba, semua ini hamba yang memulai, tolong bebaskan nini tukang perahu dari supata paduka.

Narada: Itulah budi luhurmu Parasara, di saat dirimu terancam azab teguran dewa, engkau masih memikirkan orang lain. ketahuilah nini ini sesungguhnya Dewi Durgandini, putri Prabu Basuparicara di Kerajaan Wirata. Nikahilah dia secara baik-baik, dan jangan ulangi prilaku kotormu ini, apa yang telah kalian lakukan membuat kalian tidak langgeng berjodoh lama sebagai suami istri.

Parasa dan Durgandini sangat menyesali berbuatan mereka, Kini, Dewi Durgandini telah mengandung anak Resi Parasara. Sembilan bulan setelah peristiwa itu, ia melahirkan seorang bayi berkulit hitam legam, namun memiliki ari-ari berwarna putih bersih. Resi Parasara teringat kepada Brahmana Wyasa yang dulu menyatu ke dalam dirinya dan berniat akan terlahir kembali sebagai anaknya. Maka, Resi Parasara pun memberi nama mirip Brahmana Wyasa untuk putranya yang baru lahir tersebut, yaitu Raden Abyasa. Karena ia berkulit hitam dan dilahirkan di tengah pulau, Dewi Durgandini juga memberikan nama lain, yaitu Raden Kresna Dwipayana.

Ketika Resi Parasara hendak menanam ari-ari Raden Abyasa, tiba-tiba benda itu berubah menjadi seorang bayi berkulit putih bersih. Resi Parasara pun mengakuinya sebagai anak nomor dua dan memberinya nama Raden Setatama. Bersamaan dengan itu, Resi Parasara juga memiliki beberapa putra-putri pujan, mereka adalah:

Dewi Sudaksina yang berasal dari rimpang kulit yang dipakai untuk mengobati Durgandini.

Raden Rajamala yang berasal dari lumpur bekas penyakit Durgandini.

Raden Rupakinca dan Kincakarupa berasal dari perahu yang terbelah jadi dua saat tersambar petir.

Raden Bimakinca dari Dayung Durgandini.

Parasara: Yayi Durgandini, setelah engkau menjadi ibu dari anak-anak kita ini, namamu aku ubah menjadi Dewi Satyawati, semoga engkau menjadi istri yang setia dan bisa membatalkan kutukan atas perbuatan kita dulu yayi...

Satyawati: Kakang Parasara...ya kakang, aku akan mengikuti apapun kehendakmu, karena sungguh aku merasa gelisah dan tidak tenang mengingat kutukan itu.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com

 


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya