Rabu, 15 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Dewi Setyawati

Senin, 30 November 2015

KISUTA.com - Di Kerajaan Wirata, pasangan muda Resi Parasara dan Dewi Durgandini atau yang sekarang juga disebut sebagai Dewi Setyawati, mulai menampakkan ketidakharmonisan dalam hubungannya sebagai suami istri. Setelah sekian lama menjadi gadis perahu anak angkat ki Dasabala, Setyawati mulai dihinggapi perasaan kemaruk haus akan kemewahan dan kekuasaan. Kehidupan istana yang serba ada, curahan kasih sayang ayahnya Prabu Basuparicara yang juga bergelar Prabu Basuketi, saudara kembarnya raden Durgandana atau Pangeran Matswapati, sungguh membuatnya tak ingin kehilangan semua kemewahan itu. Sementara itu sebagai seorang Brahmana, Parasara mendambakan hidup yang damai, selalu haus menularkan ilmu dan ingin mengolah bathin ditempat yang sepi.

Parasara: Yayi Setyawati, aku ingin membawa Abyasa anak kita dan anak-anak angkat kita mengolah rasa dan bathin kembali ke Sapta Arga atau Wukir Retawu..bagaimana yayi, ikutlah bersama kami juwitaku...

Setyawati (merajuk): Kanda resi,..aah..bagaimana ini...sekian lama dinda menderita membawa beban penyakit, dan menjalani hidup sebagai gadis perahu yang hina...jika sekarang aku baru menikmati kehidupanku yang layak sebagai putri raja Wirata...apakah adil kalau ini harus dicabut dari hakku kakang?

(Di saat suami istri ini tengah bersitegang rasa, datanglah Matswapati yang menyeruak, dan menyindir Parasara dengan tajam)

Matswapati: Huh Parasara pertapa maksiat...enak saja engkau ngomong, semua engkau lakukan sejalan dengan maumu sendiri, kebutuhanmu sendiri. Aku akui engkau sudah berhasil menyembuhkan mbakyuku Durgandini dari lara amisnya, hingga menjadi Setyawati yang berbau harum dan menawan...tapi jangan lupa, sudah kau hisap madu keperawanannya karena nafsu najismu...

Parasara: Jagad Dewa Bathara...Dimas Matswapati, apa maksudmu? Tajam sekali lidahmu menghujamku...bukankah dosa itu sudah aku tebus dengan menikahi ayundamu...masihkah itu menyisakan dendammu?

Matswapati: Hmm..itulah kamu Parasara, yang sesudah berbuat dosa, menganggap semua kembali putih, dan orang lupa dengan kelakuan najismu. Enak saja...mbakyuku anak raja, tempatnya di istana...kalau sekarang mengikutimu ke gubug reyot lereng gunung, dia sudah menyianyiakan masa muda dan kecantikannya, hanya untuk melayanimu jadi istri pertapa miskin dan memelihara anak-anak yang begitu banyak...sementara engkau sendiri bermalas-malasan bertapa mencari pahala surgawi...huh...tak tahu diri...

Parasara: Pangeran muda Matswapati...apakah ini berarti engkau mengusulkan agar aku meninggalkan ayundamu di istana ini ?...yayi Setyawati, bagaimana keputusanmu yayi, sungguh tidak mungkin aku melanjutkan kehidupan disini...tugasku sebagai brahmana adalah memayu hayuning bawana...engkau tahu itu nimas...

Dewi Setyawati diam membisu atas pertanyaan Parasara...matanya tertunduk jari-jemarinya memainkan ujung kainnya. Parasara memaklumi situasi yang terjadi, tepatlah kata-kata Bathara Narada bahwa perjodohannya dengan Setyawati tidak bisa langgeng. Parasara menatap sorot mata penuh hinaan dari Matswapati, katanya sebelum berangkat mengajak anak-anaknya meninggalkan istana : "Pangeran Matswapati dan yayi Setyawati..baiklah, aku akan menjalani titah hidupku bersama anak-anakku...sebagai tanggung jawabku mengembalikan kemuliaan dan kehormatan yayi Setyawati yang sudah aku nodai...lihatlah aku kembalikan yayi Setyawati pulih layaknya perawan sunti, gua garbanya akan kembali menyempit seakan belum pernah hamil dan berputra.....Selanjutnya aku pamit, aku bawa Abyasa dan anak-2 puponku untuk aku didik di Wukir Retawu"....Dewi Setyawati merasakan sekujur tubuhnya bergetar, dengan kesaktiannya Resi Parasara seakan telah mengembalikan "keperawanan" mantan istrinya.

Sepeninggal suami dan anak-anaknya, Dewi Setyawati tinggal di istana Wirata menikmati kehidupan yang nyaman dan mewah sebagai putri raja dan saudara pangeran mahkota. Dalam suatu wangsit yang diterimanya, Setyawati bermimpi bahwa untuk menemukan jodohnya selanjutnya, dia harus menjalani 'tapa ngrame' turun sebagai rakyat jelata. Setyawati memilih menjalani hidup sebagai tukang perahu kembali, karena kerinduannya pada suami-istri Dasabala yang menyayanginya serupa anak sendiri. Prabu Basuketi dan Matswapati melepas kepergian Setyawati, dengan membekalinya harta dan kain-kain indah sesuai hak Setyawati sebagai putri raja.

Suatu hari, Prabu Santanu yang berjalan-jalan menyusuri sungai Gangga sesuai saran mantan istrinya, mendengar sayup-sayup suara merdu yang menyenandungkan palaran asmaradana. Prabu Santanu terpesona, pada sosok tukang perahu yang jelita dan gemulai, suaranya yang merdu membetot-betot sukma sang Prabu.

Tanpa sadar Prabu Santanu, duduk di buritan perahu dan memberi isyarat agar si tukang perahu menjalankan perahunya menyusuri sungai gangga. Saat tembang palaran sang tukang perahu usai, tangan prabu Santanu diam-diam mencoba meraih pinggang si tukang perahu. Setyawati si tukang perahu itu mengernyitkan alisnya...perlahan ditepisnya tangan Sang Prabu sambil menegur lembut.

Setyawati: Kisanak...apa maksudmu...jangan lecehkan aku, sadarkah engkau dengan menyentuhku tanpa engkau mengenal siapa aku, sesungguhnya engkau sudah menganggap aku orang yang remeh...

Santanu: Oooh..maaf yayi...aku tidak sadar terpesona kecantikanmu dan suaramu yang merdu...sungguh aku tidak berniat meremehkanmu. Karena walaupun engkau tukang perahu, bajumu berkain sutra mahal, berhiasanmu emas berlian, tentu engkau bukan gadis sembarangan..aku Prabu Santanu dari Hastinapura..siapakah engkau nimas...

Setyawati: Aku Setyawati putri raja Basuketi dari Wirata, aku sedang menjalani tapa ngrame, untuk melihat jalan hidupku dan menemukan jodohku...

Santanu: Aaaah...pucuk dicinta ulam tiba, aku ini seorang duda Setyawati...anakku baru satu, dan aku memang sedang mencari istri menemani hari-hariku yang sepi setelah ditinggal istriku. Kalau begitu, bersediakah engkau menjadi permaisuriku?

Setyawati (ditatapnya wajah Santanu yang tampan dengan tubuh yang atletis...sungguh lebih gagah bila dibandingkan Parasara, Santanupun seorang Raja kerajaan besar....tapi...) : Prabu Santanu...tadi kau katakan engkau memiliki seorang putra dari istrimu terdahulu...apakah putramu itu..sudah engkau jadikan putra mahkota?

Santanu: (Dengan mata berbinar-binar penuh kebanggaan Santanu menjawab pertanyaan Setyawati, tanpa sadar makna dibelakang pertanyaan itu)..Oooh ya...Dewabrata, anak yang tampan, cerdas dan sangat berbhakti...engkau akan mudah mencintai anakku itu...anak itu luar biasa, begitu sopan, berbhakti dan cakap segala ilmu...tentu saja, dia adalah putra mahkota Hastinapura...

Setyawati: Hhm..Prabu Santanu, maaf...kalau demikian aku tidak bisa menerima lamaranmu... sebagai putri raja Wirata yang menjadi saudara kembar putra Mahkota, tentu aku ingin menurunkan raja-raja besar juga...dan itu sudah pasti bisa terjadi kalau suamiku juga seorang raja... karena itulah aku menjalani tapa ngrame ini...kalau engkau sudah punya putra mahkota... tentu bukan engkau calon suami yang aku harapkan...

Mata Santanu terbelalak mendengar kata-kata Setyawati, seketika segala geletar asmara luruh dari sanubarinya. Tangannya menjauh dari pinggang Setyawati.

Santanu menerawang membayangkan saran Bathari Gangga..aaah Gangga, sungguh benar saranmu menyusuri Sungai Gangga menemukan penggantimu, tapi mengapa jalan hidupku selalu dihadapkan pada pilihan yang sulit....Hak anakku semata wayang, dan hasrat hatiku yang terbelenggu gairah manusiawiku....tiba-tiba Prabu Santanu merasakan matanya nanar, kepalanya pening. Dia meminta Setyawati menepi, tanpa berkata-kata sang prabu melangkah gontai meninggalkan Setyawati dan perahunya.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya