Rabu, 15 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Citragada dan Wicitrawirya

Rabu, 9 Desember 2015

KISUTA.com - Berbagai persoalan kenegaraan di Hastina dapat ditangani Dewabrata dengan baik berkat kejujuran, keadilan dan kepandaiannya. Ia menjalankan pemerintahan tanpa kedudukan resmi sebagai raja karena sumpah yang telah diucapkannya, selama kedua saudara seayahnya belum dewasa. Dewabrata mendidik keduanya dalam segi budi pekerti, berbagai ilmu dan kesaktian serta ketatanegaraan.

Citragada si sulung ternyata dapat mewarisi berbagai kecakapan dan kesaktian Dewabrata dengan cepat, sedang Wicitrawirya si adik rupanya kurang tertarik dengan ilmu-ilmu peperangan, ia lebih suka dengan ilmu-ilmu budi pekerti dan ketatanegaraan. Sesuai dengan hukum kenegaraan, Citragada sebagai anak pertama berhak menduduki tahta kerajaan Hastinapura.

Sayang, dengan bertambah usia Citragada bukanlah raja yang baik dan adil. Dia cenderung angkuh dan rakus kekuasaan. Tak merasa puas dengan kekuasaannya sebagai raja Hastina, ia pun mulai melebarkan kekuasaannya ke negara-negara sekitar dengan mengobarkan berbagai peperangan. Hastinapura yang awalnya merupakan negara pengayom dan penjaga kedamaian berubah menjadi negara pengacau dan agresor. Tak terkira banyaknya korban rakyat tak berdosa baik dari Hastina maupun negara-negara sekitar akibat perbuatan Citragada.

Dewabrata pun tak mampu berbuat banyak untuk menghentikan Citragada karena kekuasaan Citragada sebagai raja makin besar dan kedudukan resmi Dewabrata hanyalah sebagai penasihat kerajaan.

Kekacauan yang ditimbulkan Citragada mulai meluas, menimbulkan kegoncangan di kahyangan. Para dewata cemas, setelah berunding mereka memutuskan untuk mengakhiri kekacauan ini dengan menghabisi sang prabu yang lalim. Maka kemudian diutuslah Gandarwaraja Swala yang sakti (Ayah kandung petruk yang aslinya memang dari bangsa gandarwa). Ia dapat berganti rupa menyerupai Citragada. Tiba-tiba ia hadir di istana dan menantang Citragada untuk beradu kesaktian. Para ponggawa kebingungan dengan dua sosok Citragada, mereka tak dapat membedakan mana Citragada yang asli dan yang gadungan.

Prabu Citragada pun dengan kebingungan berhadapan dengan sosok ‘kembarnya’, menjawab tantangan itu. Perkelahian hebat berlangsung lama, namun pada akhirnya salah satu Citragada kalah dan mati. Rakyat, yakin bahwa yang menang adalah rajanya, bersorak sorai kegirangan. Betapa terkejut mereka ketika Citragada yang menang berubah wujud menjadi seorang gandarwa. Sang gandarwa sakti pun berkata pada rakyat Hastina bahwa ia diutus untuk mengakhiri hidup sang raja yang lalim.

"Wahai rakyat Hastinapura, aku telah menumpas rajamu yang lalim, karena dia lupa bahwa kehidupan ini bukan miliknya semata... dia telah dibutakan oleh kesombongan dan keangkuhannya, hingga semua yang tampak benar, adalah yang berasal dari pendapatnya semata... dia tidak peduli dengan orang lain.. keadilah maupun penyesalan....seorang raja imam negara seharusnya bisa menjalankan syariat, tarikat, hakikat dan marifat.
Puncak ilmu syariat itu adalah niat untuk melakukan ibadah, puncak ilmu tarekat adalah tercapainya iman yang mutlak; adapun puncak ilmu hakekat adalah i’tiqad untuk mengetahui kenyataan Tuhan, dan puncak ilmu ma’rifat adalah “maklum”, yaitu bersatu dengan Tuhan tanpa melupakan diri...rajamu sudah lupa diri bahwa sesungguhnya dialah nakhoda bagi bahtera negaranya, ibarat sebuah kapal, syariat adalah dindingnya, tarekat adalah geladaknya, hakikat adalah muatannya dan ma’rifat adalah keuntungannya." usai memberikan wejangan ini, Ia pun melesat terbang kembali ke asalnya.

Dewabrata merasa gundah dengan kematian sang raja, namun ia sadar pasti ada hikmah yang besar di balik kejadian ini untuk kebaikan Hastina. Tak lama kemudian Wicitrawirya si adik pun diangkat menjadi raja menggantikan kakaknya. Walau tak sakti seperti kakaknya, Wicitrawirya raja yang jujur, adil, pandai mengelola negara dan sayang pada rakyatnya. Ia pun mengembalikan hak-hak negara tetangganya, dan berkat keadilan dan kejujurannya serta bimbingan Bhisma (Dewabrata) sebagai penasihat, Hastina kembali disegani sebagai negara penjaga kedamaian.

Kini, tibalah saatnya bagi sang prabu untuk mencari seorang permaisuri sebagai pendampingnya dalam mengayomi rakyat Hastina. Pada saat yang bersamaan terdengar pula kabar dari negara Kashi yang mengadakan sayembara memperebutkan ketiga putri raja Kasya, yaitu Amba, Ambika dan Ambalika, bagi siapa saja kesatria yang menunjukkan kesaktian paling tinggi.

Mendengar kabar sayembara ini, Satyawati, ibu prabu Wicitrawirya, memanggil Dewabrata anak tiri yang disayanginya yang merupakan penasihat kerajaan. Sang ibu sadar bahwa prabu Wicitrawirya bukanlah raja yang sakti yang dapat memenangkan sayembara. Menyimak pengaduan ibu tirinya, keluhuran budi, keberanian, rasa sayang pada adik dan tanggung jawab pada negara ditunjukkan oleh Dewabrata. Ia katakan pada ibunda tirinya bahwa ia sendiri yang akan berangkat ke kerajaan Kashi untuk bertarung dan akan membawa ketiga putri itu untuk menjadi para permaisuri sang prabu. Sungguh haru sang ibu mendengar tekad anak tiri yang ia sayangi ini. Ia pun bersama prabu Wicitrawirya merestui keberangkatan Dewabrata ke negara Kashi.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya