Kamis, 16 Mei 2024
Wisata & Sejarah
Wayang

Setatama Pralaya

Selasa, 15 Desember 2015

KISUTA.com - Beberapa bulan di Wirata, akhirnya Raden Setatama pamit kembali ke Gunung Saptaarga untuk menemui istrinya. Raden Bimakinca ikut menemani, sedangkan Raden Kincakarupa, Raden Rupakincaka, dan Raden Rajamala tetap tinggal di istana Wirata bersama Dewi Sudaksina yang saat itu telah mengandung putra Raden Matswapati.

Di perjalanan, Raden Setatama dan Raden Bimakinca bertemu Prabu Gajahsura dan Patih Wistakasura yang sedang mencari keberadaan Endang Kandini. Terjadilah dialog diantara mereka, saat Prabu Gajahsura mengatakan bahwa dia mencari Endang Kandini yang akan dijadikannya sebagai permaisuri, Raden Setatama menyatakan bahwa niat itu terlambat, karena Endang Kandini sudah menjadi istrinya, dan saat ini sedang mengandung putranya.

Gajahsura: Ooeeyyy...huahahaha, kalau begitu kebeneran, aku dengar kamu itu satria yang nrima, dan welas asih terus terang aku minta Endang Kandini kamu serahkan saja padaku. Aku siap menukarnya dengan emas permata yang melimpah.
Setatama: Gajahsura...Tidak semua narima itu baik...“narima yang tidak baik” yaitu orang bodoh yang menerima begitu saja kondisi kebodohannya, tidak mau tanya atau meniru yang pandai. Oleh sebab itu orang tidak boleh malu bertanya, tidak boleh pula malu mengakui kebodohannya....Sedangkan Narima yang baik, misalnya orang yang mengabdi lama-kelamaan juga akan tercapai harapannya, jadi mantri atau bupati, tetap setia mengabdi, tanpa merasakan kenikmatannya karena sudah sewajarnya, kasih Allah akan selalu menyertainya...itulah Narima yang baik ikhlas...Aku bukan orang bodoh, istriku adalah belahan jiwaku, tentu akan kupertahankan sampai pecat nyawaku.

Terjadilah pertarungan antara Prabu Gajahsura melawan Raden Setatama, serta Patih Wistakasura melawan Raden Bimakinca. Kedua raksasa itu lebih berpengalaman daripada lawan mereka yang masih muda belia. Akhirnya, Raden Setatama dan Raden Bimakinca pun roboh di tangan mereka.

Setelah menjatuhkan kedua bersaudara tersebut, Prabu Gajahsura mengubah wujudnya menjadi Raden Setatama, sedangkan Patih Wistakasura mengubah wujudnya menjadi Raden Bimakinca. Keduanya lalu berangkat menuju Gunung Saptaarga untuk menculik Endang Kandini.

Sementara itu saat berjalan di belantara mengumpulkan rimpang obat, Raden Abyasa menjumpai Raden Setatama serta Raden Bimakinca yang tergeletak bersimbah darah. Raden Abyasa sangat terkejut dan sedih melihat keadaan kedua adiknya tersebut. Raden Bimakinca telah tewas, sedangkan Raden Setatama masih dalam keadaan sekarat.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Raden Setatama menceritakan apa yang ia alami dari awal sampai akhir. Mendengar bahwa kandungan istrinya sudah makin membesar, Raden Setatama berwasiat jika anaknya lahir laki-laki, mohon untuk diberi nama Raden Nirbita.

Setelah berpesan demikian, Raden Setatama akhirnya meninggal dunia menyusul Raden Bimakinca. Raden Abyasa segera bersiul memanggil sahabat ayahnya, yaitu Gandarwaraja Swala (yang juga ayah kandung panakawan Petruk). Seketika Gandarwaraja Swala pun hadir di hadapannya. Raden Abyasa menceritakan dari awal sampai akhir tentang apa yang dialami kedua adiknya, dan ia meminta tolong Gandarwaraja Swala supaya pergi melapor kepada Resi Parasara, sebelum Raden Setatama palsu datang ke Gunung Saptaarga.

Gandarwaraja Swala segera melesat secepat kilat dan dalam sekejap sudah berada di Gunung Saptaarga. Ia melapor kepada Resi Parasara dan Resi Kandihawa tentang kematian Raden Setatama dan Raden Bimakinca. Mendengar suaminya tewas, Endang Kandini langsung jatuh pingsan. Resi Kandihawa sangat marah dan ia pun turun gunung untuk membereskan Prabu Gajahsura dan Patih Wistakasura.

Di kaki Gunung Saptaarga, Resi Kandihawa berjumpa Raden Setatama dan Raden Bimakinca palsu yang hendak naik ke puncak. Ia pura-pura memanggil mereka lalu berdiri di tengah-tengah keduanya. Secepat kilat, Resi Kandihawa mencekik leher Raden Setatama palsu di tangan kanan dan Raden Bimakinca palsu di tangan kiri, lalu membenturkan kepala mereka hingga remuk. Keduanya pun tewas dan kembali ke wujud semula, yaitu Prabu Gajahsura dan Patih Wistakasura.

Saat itu, Dewi Hastipraba yang sedang terbang di angkasa kebetulan lewat dan ia sangat terkejut melihat kakak dan suaminya telah tewas dibunuh seorang pendeta raksasa. Ia pun menerjang Resi Kandihawa dengan sekuat tenaga. Resi Kandihawa yang tidak menyadari datangnya serangan mendadak tersebut akhirnya tewas pula di tangan sang raksasi.

Saat itulah Resi Parasara dan Gandarwaraja Swala datang di tempat kejadian. Gandarwaraja Swala segera menyerang Dewi Hastiraba. Dengan mengerahkan mantra Sangkali, lumpuhlah raksasi bertelinga lebar itu. Tidak lama kemudian datang pula Raden Abyasa yang membawa jasad Raden Setatama dan Raden Bimakinca.

Resi Parasara menanyai asal-usul Dewi Hastipraba mengapa memiliki telinga lebar, sedangkan Prabu Gajahsura mengapa memiliki kepala gajah. Dewi Hastipraba pun bercerita bahwa ayahnya bernama Resi Anggasti, sedangkan ibunya seorang bidadari bernama Batari Tayati, cucu Batara Wrehaspati. Ketika Batari Tayati sedang mengandung, Resi Anggasti membunuh seekor gajah liar yang merusak ladang padepokan. Akibatnya, janin yang dikandung istrinya pun terkena balak, yaitu ketika lahir berwujud raksasa laki-laki dan perempuan, yang satu berkepala gajah, yang satunya bertelinga lebar.

Resi Parasara terkesan dengan cerita itu, dimintanya para putranya mengumumkan kepada warga desa, jika memiliki istri yang sedang mengandung hendaknya tidak membunuh binatang. Jika terpaksa harus membunuh, sebaiknya menyebut jabang bayi yang sedang dikandung istrinya.

Dewi Hastipraba memohon ampun kepada Resi Parasara dan menyerahkan hidup matinya. Resi Parasara pun mengampuninya dan membebaskan raksasi itu dari pengaruh mantra Sangkali. Dewi Hastipraba berterima kasih, lalu membawa jasad Prabu Gajahsura dan Patih Wistakasura kembali ke Kerajaan Anggastina.

Berita kematian Raden Setatama dan Raden Bimakinca telah terdengar sampai ke Kerajaan Wirata. Raden Matswapati dan Dewi Sudaksina pun pergi ke Gunung Saptaarga untuk menghadiri pemakaman Raden Setatama dan Raden Bimakinca. Saat itu Dewi Sudaksina sedang mengandung pula. Hatinya sangat sedih karena kehilangan dua saudara sekaligus. Ia pun meminta izin kepada suaminya untuk tetap tinggal di padepokan dan baru kembali ke istana Wirata setelah melahirkan kelak. Raden Matswapati mengabulkan permintaan istrinya tersebut.

Beberapa bulan kemudian, janda Raden Setatama yaitu Endang Kandini melahirkan seorang bayi laki-laki. Sesuai wasiat sang suami, bayi tersebut pun diberi nama Raden Nirbita. Sementara itu, Dewi Sudaksina juga melahirkan bayi laki-laki. Jika Endang Kandini mengandung selama sembilan bulan, maka Dewi Sudaksina hanya mengandung selama tujuh bulan. Untuk mengenang Raden Setatama, maka Dewi Sudaksina dan Raden Matswapati pun memberi nama putra mereka, Raden Seta.*

Ira Sumarah Hartati Kusumastuti - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya