Senin, 29 April 2024
Wisata & Sejarah

Mengenal Keanekaragaman Hayati Gunung Papandayan

Minggu, 16 Desember 2018

KISUTA.com -- Nama Papandayan, berasal dari bahasa Sunda “Panday” yang berarti pandai besi. Dahulu, ketika masyarakat melintasi gunung ini, sering terdengar suara-suara yang mirip keadaan di tempat kerja pandai besi, suara itu berasal dari kawah yang sangat aktif. Demikianlah gunung ini kemudian dinamakan Papandayan oleh masyarakat di sekitar gunung ini.

Gunung Papandayan terletak di sekitar 25 km sebelah Barat Daya Kabupaten Garut, dengan posisi geografis 7o19’ Lintang Selatan dan 107o 44’ Bujur Timur dengan ketinggian 2.665 mdpl atau sekitar 1.950 m di atas dataran Garut. Di sebelah Selatan gunung ini terdapat Gunung Guntur dan di sebelah Timurnya terdapat Gunung Cikuray.

Gunung Papandayan merupakan kerucut paling Selatan dari deretan gunung api di Priangan Selatan yang telah diklasifikasikan (sejak zaman penjajahan Belanda) sebagai gunung aktif yang cukup berbahaya di Jawa Barat. Letusan-letusan yang terjadi sejak dahulu kala, membuat wujud gunung ini seperti potongan tapal kuda. Kawah tertuanya terletak di Tegal Alun-alun yang telah lama mati dan berubah menjadi padang terbuka. Dinding kawah tua ini membentuk kompleks pegunungan dengan puncak-puncaknya, yaitu Gunung Malang (2.675 mdpl), Gunung Masigit (2.619 mdpl), Gunung Saroni (2.611 mdpl), dan Gunung Papandayan (2.665 mdpl) yang mengelilingi Tegal Alun-alun. Di padang inilah muncul mata air yang menjelma menjadi Sungai Ciparugpug.

Di sekitar areal tapal kuda ini, kita juga dapat melihat gunung-gunung kecil yang mengelilingi Gunung Papandayan, antara lain Gunung Puntang (2.555 mdpl), Gunung Walirang (2.238 mdpl), Gunung Tegal Paku (2.225 mdpl), dan Gunung Jaya (2.422 mdpl). Di lembah antara Gunung Puntang dan Gunung Walirang terdapat sungai Cibeureum Gede yang mengalir ke Sungai Cimanuk.

Gunung Papandayan telah menjadi cagar alam sejak tahun 1924. Ketika itu pemerintah kolonial Belanda menetapkan kawasan hutan dan kawah Papandayan seluas 884 ha menjadi cagar alam. Saat ini total luas cagar alam telah bertambah menjadi 6.807 Ha ditambah taman wisata alam seluas 225 ha. Penambahan luas cagar alam dan taman wisata alam ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 226/kpts/1990 tanggal 8-5-1990. Wilayahnya meliputi Gunung Papandayan, Gunung Puntang, Gunung Jaya, Gunung Kendang, Tegal Panjang, dan kawah Darajat. Dengan statusnya sebagai cagar alam, berarti Gunung Papandayan beserta keanekaragaman hayati di dalamnya dilindungi oleh negara Republik Indonesia.

Keanekaragaman Hayati Papandayan

Gunung Papandayan memiliki hutan alami yang hening. Hutan alami ini dapat kita jumpai pada ketinggian 1.900–2.675 mdpl. Para ahli tumbuhan menggolongkan hutan pada ketinggian ini sebagai hutan pegunungan atas dan sub-alpin. Penelitian tumbuhan pada tahun 2004 di daerah antara Pondok Saladah sampai Tegal Panjang mengungkapkan kondisi hutan sebagai berikut:

Pada daerah kawah, kita dapat menjumpai tumbuhan semak yang tahan terhadap gas beracun, seperti suwagi, rumput kawah, dan paku kawah. Semakin menjauh dari kawah, tumbuhan semak menjadi lebih beraneka ragam lagi. Selain suwagi, pohon segel, ramo gencel, huru koneng, semak harendong, edelweiss, rumput kawah, paku andam, tumbuhan rambat gandapura dan bungburn dapat kita jumpai di daerah ini.

Semakin ke tepian jalan, kita akan menemui pohon ki haruman yang dahannya dipenuhi benjolan mendominasi pemandangan. Ke Utara di belakang daerah bekas pesanggrahan Hoogbert hut, kondisi hutan mulai berubah karena pengaruh kawah yang mulai berkurang. Hutan di sini dipenuhi oleh pohon-pohon berdiameter sedang yang rapat dengan lantai hutan namun jarang ditumbuhi semak. Di sini kita dapat menjumpai pohon kendung, anggrit, huru batu, dan huru sintok. Selain itu, tumbuhan paku bagedor dapat kita jumpai bersama rumput carex dan semak teklan.

Mulai dari Cisupabeureum (2.126 mdpl), di kaki Gunung Puntang sampai Tegal Panjang, pohon-pohon berdiameter besar yang diselimuti oleh lumut dengan lantai hutan rapat yang ditumbuhi oleh tumbuhan bubukuan dapat kita jumpai di sini. Pohon anggrit dan ki hujan sangat mendominasi pada hutan ini, selain pohon salam anjing dan salam beurit. Dua jenis herba penutup tanah, yaitu Elatostema eurhynchum dan Elatostema rostratum mudah terlihat di sini bersama tumbuhan rambat arbei hutan.

Di Tegal Panjang, kita dapat menemukan 25 jenis tumbuhan herba yang hidup bersama alang-alang. Beberapa di antaranya yang menonjol adalah ki urat, antanan, dan Scleria terestis. Tumbuhan endemik Alchemilla villosa dan tumbuhan langka Primula imperalis dapat ditemukan pula di padang ini.

Selain tumbuhan-tumbuhan tersebut, kita dapat menjumpai dan mengamati beberapa satwa liar yang hidup di hutan Papandayan ini, seperti monyet surili, lutung, babi hutan, mencek, dan macan tutul. Di daerah pinggiran hutan dekat perkebunan kita akan menjumpai dengan mudah binatang tando, sigung, dan careuh.

Menurut catatan dokumen kolonial Belanda, dahulu kala masih dapat dijumpai banteng, rusa, dan pelanduk yang terlihat merumput di Tegal Panjang. Pemangsa berupa harimau jawa juga masih sering muncul. Tetapi sekarang semuanya hanya tinggal kenangan, satwa-satwa tersebut telah punah.

Peneliti burung berkebangsaan Belanda bernama Hoogerwerf pada tahun 1948 melaporkan terdapat 115 jenis burung yang hidup di Gunung Papandayan. Penelitian pada tahun 2004 pada sisi Barat Gunung Papandayan, dari Pondok Saladah sampai Tegal Panjang serta daerah perbatasan hutan dengan kebun di Pengalengan telah ditemukan 73 jenis burung. Delapan jenis di antaranya endemik Pulau Jawa dan 15 jenis lainnya dilindungi oleh perundang-undangan. Terdapat 2 jenis burung yang terancam kepunahan, yaitu elang jawa dan luntur gunung serta 2 jenis burung lainnya yang mendekati dan terancam punah, yaitu walet gunung dan cica matahari.

Di sekitar dinding kawah, ditemukan burung pemangsa dadali dan alap-alap capung. Di daerah hutan yang didominasi oleh tumbuhan suwagi di sekitar kawah, mudah dijumpai burung kacamata, balecot, tengtelok, dan tikukur.

Di hutan selepas kawah hingga Tegal Panjang, kita dapat menjumpai sepah gunung, burung sapu, mungguk loreng, wergan, dan kacamata bersama dengan puyuh laga dan cincoang biru yang menghuni semak-semak. Burung saeran, saeran kelabu, dan walik kepala ungu, juga sering terlihat di hutan ini. Sedangkan luntur gunung dan luntur harimau butuh kecermatan untuk menjumpainya.

Di daerah perbatasan hutan dengan kebun sayur atau kebun teh dapat ditemukan burung pemangsa yang terancam kepunahan, yaitu elang jawa bersama dengan 2 pemangsa lainnya, yaitu elang ruyuk dan elang hitam. Burung saeran, wergan koneng, pijantung kecil, dan kepudang sungu jawa juga mudah ditemui di daerah ini. Sedangkan untuk melihat burung kandancra dan cica matahari, perlu kesabaran. Di kebun teh itu sendiri merupakan arena bermain dan habitat bagi dua jenis burung; toed dan tektek reod.

Hambatan Perlindungan Cagar Alam

Cagar Alam Gunung Papandayan (CAGP) memiliki potensi keanekaragaman hayati dan kepentingan pelestarian yang tinggi, namun upaya perlindungan bagi kawasan tersebut banyak mengalami hambatan yang berasal dari keterbatasan pengelolaan kawasan dan pemanfaatan sumber daya hayati oleh masyarakat yang bermukim di sekitar CAGP.

Cagar alam sebagai salah satu kawasan konservasi memiliki fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman hayati dan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Cagar Alam Gunung Papandayan (CAGP) sejak tahun 1924 sudah ditetapkan sebagai cagar alam.

Kawasan CAGP secara hidrologis merupakan daerah hulu tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) besar di Jawa Barat, yaitu Sungai Citarum, Sungai Cimanuk, dan sebagian kecil DAS Ciwulan (BKSDA Jabar II, 2005).

Dua rute jalan yang membelah CAGP dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menuju Bandung atau Garut. Kondisi ini menyebabkan fragmentasi habitat dan memudahkan akses masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya di dalam CAGP.

Kegiatan untuk tujuan rekreasi tidak dilakukan terpisah melainkan bersama-sama dengan kegiatan berburu satwa, mengumpulkan madu, atau mencari jamur. Pengambilan madu dilakukan pada musim kemarau dengan cara membakar sarang lebah dan kemudian diambil madunya. Berbeda dengan mengumpulkan madu, kegiatan mengumpulkan jamur dilakukan pada saat musim penghujan, di saat banyak terdapat jamur yang dapat dikonsumsi. Mengumpulkan rumput sebagai pakan ternak dilakukan oleh penduduk Desa Cihawuk yang sebagian masyarakatnya memiliki hewan ternak berupa kambing dan sapi perah.* harie – kisuta.com

 


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya