Rabu, 15 Mei 2024
Artikel Opini
Kolom

Menggelorakan Ruh Ibadah

HD Sutarjan Petualang Jiwa
Jumat, 24 Juli 2020

KISUTA.com - Kata yang singkat, hanya empat huruf. Posisinya pun "hanya" di urutan kelima, yang terakhir. Namun, ibadah haji sungguh istimewa, selain waktu dan tempat pelaksanaannya ditetapkan secara khusus, juga ibadah ini hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Kewajiban yang sekali ini pun hanya bagi orang-orang yang memiliki "kemampuan".

Banyak makna yang bisa dicerna. Juga begitu melimpah hikmah yang bisa digali, direnungi, dijadikan bekal diri untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Di antara sekian banyak hikmah ibadah haji, pengalaman yang senantiasa jadi bekal pengamalan, adalah taqwiyatun lil arwah — menggelorakan ruh ibadah.

Ruh ibadah haji yang selalu giat dan khusuk harus juga mampu menjadi ruh kegiatan ibadah sehari-hari. Ketika melaksanakan ibadah haji, setiap orang merasa bahwa ibadahnya itu sebagai ibadah terakhir, sehingga mereka melakukan ibadah dengan sangat giat dan khusuk.

Di masjid, baik di Masjidilharam maupun Masjid Nabawi, misalnya, orang berjubel, berdesakan untuk melakukan ritual-ritual ibadah. Bukan hanya memburu yang fardlu, yang sunah pun dilakukan begitu semangat. Tak sedikit mereka yang berupaya khatam al-Quran, memperbanyak dzikir, atau mendawamkan wirid-wirid mu’tabarah.

Berlari mengejar shalat arbain, takut ketinggalan berjamaah. Rela berdesak-desakan, menisbikan rasa sakit terhimpit, agar bisa mencium Hajar Aswad. Tak lelah bertawaf setiap kali memasuki pelataran Ka’bah. Khusuk ruku sujud puluhan rakaat shalat sunat. Jika ibadah sunah sudah demikian giatnya, terlebih ibadah fardlu.

Ruh ibadah seperti inilah yang semestinya jadi oleh-oleh haji yang sejati. Sehingga, sepulang berhaji tidak sekadar bangga dengan tambahan gelar “H”. Ada hikmah yang mengejawantah dalam lampah keseharian. Ruh ibadah haji mampu mengubah laku hidup ke arah yang lebih baik.***


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya