Selasa, 14 Mei 2024
Artikel Opini
Kolom

Mabrur

HD Sutarjan Petualang Jiwa
Minggu, 2 Agustus 2020

KISUTA.com - Haji mabrur merupakan dambaan, tekad kuat, dan cita-cita setiap jamaah. Ini wajar dan sudah seharusnya begitu, karena mabrur merupakan target puncak ibadah haji. Siapa yang mampu meraihnya akan mendapat hadiah utama. “Hadiah” di atas segala hadiah: Surga!

Ini bukan sekadar main-main, bukan basa basi belaka. Ini janji Yang Maha Pasti, pahala tertinggi yang dijanjikan Allah SWT. Bahwa haji mabrur –seperti sabda Rasulullah SAW, hadits riwayat Bukhari dan Muslim– tidak ada balasannya kecuali surga.

Apakah sesuatu yang sangat “menjanjikan” ini bisa diraih oleh setiap jamaah haji? Jawabannya: bisa! Namun, “bisa” di sini berimplikasi pada kesiapan diri, tergantung kesiapan individu, terpulang pada pribadi masing-masing jamaah, apakah memang bertekad kuat dan “mau” meraih kemabruran itu.

Mabrur bukan sesuatu yang kabur untuk dimaknai, dipahami, bahkan diraihnya. Begitu gamblang dan jelas Rasulullah SAW memberi tuntunan, begitu jelas pula Allah SWT memberi petunjuk. Apa makna mabrur itu, bagaimana “trik” meraihnya, apa dan bagaimana tanda-tanda “kehadirannya”.

Kita, utamanya jamaah terlebih yang sudah bergelar haji, harus memahami dengan baik apa yang dimaksud Rasulullah SAW dengan haji mabrur. Rasulullah pernah ditanya seorang sahabat mengenai makna haji mabrur. Beliau menjawab: “Haji mabrur itu suka memberi makan dan bagus dalam perkataan”. (H.R. Ahmad). Suka memberi makan adalah simbol kedermawanan dan kepemurahan. Adapun bagus atau baik perkataan adalah simbol ketinggian sopan santun dan persahabatan.

Dari sabda Rasulullah SAW dapat disimpulkan (sementara) bahwa yang mendapatkan haji mabrur adalah orang yang memiliki kesalehan sosial yang tinggi, bukan orang yang sekadar saleh secara ritualnya saja.

Bahkan, dalam Al-Quran surat Al-Baqarah, Ayat 197, “syarat” mendasar melaksanakan ibadah haji yang baik terletak pada hablun minannas, pada konteks sosial. Pada ayat tersebut disebutkan, tiga larangan penting yang harus dihindari oleh jamaah haji, yaitu berkata yang tidak senonoh (rafats), berbuat maksiat (fusuq), dan berbantah-bantahan (jidal).

Dengan demikian dapat dikatakan haji mabrur adalah jika seseorang dapat menerapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan sehari-harinya. Ciri-cirinya adalah suka menolong fakir miskin, memberi makan anak yatim, segera mengulurkan bantuan bila ada yang meminta, berbicara sopan tidak kasar atau kotor, sabar tidak pemarah, tidak hasad, tidak suka menggosip (ghibah), amanah, menepati janji, dan lain-lain.

Maka, meraih mabrur bukan sekadar menunggu hidayah, hanya tergantung Yang Maha Kuasa. Yang “menentukan” kemabruran haji seseorang itu adalah sikap diri, lampah hidup seseorang itu sendiri, terutama adanya perubahan ke arah yang lebih baik setelah berhaji. Jika telah berhaji tetapi tidak menerapkan nilai-nilai sosial dalam pergaulan sehari-harinya, bukan mabrur yang diraih hanya “mabur” yang didapat.***


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya