Rabu, 8 Mei 2024
Artikel Opini
Esai

Mengarifi Burung Bersayap Sebelah

Hariyawan Esthu Kolumnis yang jurnalis
Senin, 17 Agustus 2020

Kita semua sebenarnya lebih mirip dengan burung yang bersayap sebelah.
Hanya bisa terbang kalau mau berpelukan erat-erat bersama orang lain.
—Luciano de Crescenzo

KISUTA.com - Dalam berekspresi, berkarya, berinteraksi dengan orang-orang --di dalam maupun di luar rumah--, sayangnya tidak sedikit dari kita yang menganggap diri seperti burung yang bersayap lengkap. Bisa terbang (baca; hidup dan bekerja ) sendiri, tanpa kebergantungan pada orang lain.

Padahal, meminjam apa yang pernah ditulis Luciano de Crescenzo, dan kerap juga menjadi rujukan ilustrasi motivator Gede Prama; Kita semua sebenarnya lebih mirip dengan burung yang bersayap sebelah. Hanya bisa terbang kalau mau berpelukan erat-erat bersama orang lain.

Kita boleh berpendapat lain, namun pengalaman, pergaulan, dan beberapa testimoni menunjukkan dukungan yang amat kuat terhadap pengandaian burung bersayap sebelah tersebut. Hampir tidak pernah kita bertemu pemimpin yang berhasil tanpa kemampuan “bekerja sama” dengan orang lain. Di perusahaan, tidak ada manager yang kariernya cemerlang tanpa jalinan hubungan yang baik dengan anak buah. Tidak pernah ditemukan keluarga bahagia tanpa kesediaan sengaja untuk “berpelukan” antara satu sama lainnya.

Hakikat “berpelukan” yang meresonansi dalam ikatan kerja sama, tidak saja mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, mentransformasikan kegagalan menjadi keberhasilan, namun juga membuat semuanya tampak indah dan menyenangkan. Lebih-lebih kalau kegiatan “berpelukan” ini dilakukan dengan penuh cinta kasih. Tercipta dalam simbiosis mutualisistis; saling menguntungkan dan memberi makna.

Kembali ke pengandaian tentang burung dengan sebelah sayap, Tuhan memang tidak pernah melahirkan manusia yang sempurna. Kita selalu lebih di sini dan kurang di situ. Atau sebaliknya. Kesombongan atau keyakinan berlebihan yang menganggap kita bisa sukses sendiri tanpa bantuan orang lain, hanya akan membuat kita bernasib sama dengan burung yang bersayap sebelah, namun memaksakan diri untuk terbang.

Apakah kita bernasib sama dengan burung bersayap sebelah, namun memaksakan diri untuk terbang? Terlalu ekstrem barangkali bila untuk menyanggah pertanyaan seperti itu, kita dengan serta-merta memeluk erat seteru kita, supaya sayap kita lengkap. Tidak perlu sejauh itu. Sebagai langkah awal, cukup memeluk hangat istri kita atau mendaratkan kecupan kecil di keningnya yang sedang lelap karena telah seharian mengabdi pada kita; suami dan anak-anaknya. Itu laku sederhana, yang kerap alfa kita lakukan, sehingga sayap kita tetap sebelah –dan ironisnya, kita selalu memaksakan diri untuk terbang.***


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya