Minggu, 5 Mei 2024
Sosok Inspirasi

Prof. Dr. Drs. Waston, M.Hum Dikukuhkan Sebagai Guru Besar UMS

Sabtu, 3 April 2021
gudel.jpg
Humas UMS

KISUTA.com - Prof Dr. Waston, M.Hum, Sabtu (3/4/2021) akan dikukuhkan sebagai Guru Besar ke 32 Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) di Kampus UMS, Pabelan Sukoharjo.

Prof Waston akan menyampaikan pidato pengukuhan berjudul "Masa Depan Kemanusiaan dan Keberagamaan: Era Pasca Pandemi di Indonesia dalam Teropong Filsafat".

Prof Waston sekilas menguraikan dalam pidato pengungkuhannya, antara lain, menyebutkan peradaban seolah terhenti, atau justru mundur selangkah, sejak Covid-19 menjadi global pandemic. Perekonomian dunia menyusut 4,3%, warga dunia yang terjatuh ke dalam kemiskinan ekstrim bertambah 130 juta (UNCTAD, 2020). Saat ini lebih dari 2,6 juta jiwa telah meninggal dunia akibat coronavirus. Indonesia pun bertengger di posisi 17 dunia jika dilhat dari jumlah warganya yang meninggal (worldometer, 7 Maret 2021).

Namun peradaban sebetulnya tidak sedang berhenti, justru jika kita cermati, pandemi ini mempercepat laju peradaban, seolah kita sedang melakukan sebuah loncatan, sebuah peralihan yang cepat. Seluruh dunia, dari pembelajar termuda di level paling dini hingga pengajar tertua, para professor sepuh di perguruan tinggi, semua dipaksa menggunakan internet dalam pembelajaran. Sebuah pemaksaan yang tampaknya tidak akan berlangsung jika pandemi tidak terjadi. Sedangkan internet of things dan penguasaan big data adalah bahan bakar peradaban di masa depan. Artinya kita dipaksa meloncat ke anak tangga berikutnya.

Sejak pesatnya perkembangan teknologi informasi atau Revolusi Industri 4.0, manusia memang berpacu dengan waktu. Perubahan demi perubahan begitu cepat, hingga sebagian dari kita tidak mampu lagi mengimbanginya. Revolusi terkini adalah ujung aliran Revolusi Saintifik yang terjadi 500 tahun lalu. Sedangkan Revolusi Saintifik adalah perambatan yang cukup santai dari Revolusi Kognitif 70.000 tahun lalu. Revolusi Kognitif sendiri adalah hasil perjalanan evolutif yang terlalu lambat jika ras manusia memang baru hadir di muka bumi 2,5 juta tahun.

Lebih lanjut Prof Waston mengatakan, manusia hari ini harus menjadi makhluk yang mandiri tanpa bimbingan langsung dari sang nabi. Maka, benar-salah, baik-buruk, pantas dan tidaknya segala sesuatu, harus kita putuskan sendiri. Keputusan tersebut membuat semua jawaban atas problematika kita hari ini sebagai tafsir belaka; tafsir terhadap diktum dan tradisi yang diwariskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Padahal di dalam setiap tafsir selalu ada relativitas kebenaran. Bahkan upaya mengklaim tafsir sebagai kebenaran (truth-claim) juga semakin ditabukan.

Maka inilah pentingnya berfilsafat. Berfilsafat, sesuai namanya, adalah mencari kebijaksanaan (sophia). Bukan sekedar mencari kebenaran (logika). Kebenaran hanyalah bagian dari jalan mencapai kebijaksanaan, namun kebenaran bukan kebijaksanaan itu sendiri. Maka cukup sempit jika hidup manusia hanya digunakan untuk membela kebenaran. Apalah artinya menjadi benar jika kebenaran itu tidak mendorong kepada kebijaksanaan. Hanya akan muncul arogansi kebenaran, penghakiman, takfiri, kriminalisasi, yang mengabaikan unsur lain dari kebijaksanaan, yaitu kebaikan (etika) dan keindahan (estetika).

Semakin sering kita temui di zaman ini, orang-orang yang “bener nanging ora pener”, benar tapi tidak bijak. Oleh karena itu, setiap kita, apalagi kalangan akademik dan para pemangku kebijakan, harus mau untuk menjadi bijak, bukan hanya menjadi benar. Kebenaran adalah pintu masuk, bukan tujuan akhir. Kebenaran yang diperoleh harus mendorong dilakukannya kebijaksanaan. Tindakan harus berangkat dari kebijaksanaan, bukan dari klaim kebenaran.

"Oleh karena itu, penting untuk kita catat, bahwa dari setiap peristiwa yang kita alami dalam hidup ini harus kita ekstrak menjadi kebijaksanaan (sophia)," ungkap Prof Waston.* Eko Prasetyo - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya