Kamis, 2 Mei 2024
Artikel Opini
Kolom

Paling Tepat Arsitektur Istana Negara Baru adalah Ikon Dayak

Andrik Purwasito Guru Besar dan Kaprodi S3 Kajian Budaya UNS
Selasa, 6 April 2021

KISUTA.com - Presiden Widodo mengatakan bahwa Garuda sebagai arsitektur Istana Negara pada bangunan ibukota baru adalah masih pada tahap pradesain. Arsitektur tersebut merupakan hasil kajian PUPR dan masukan dari para ahli, arsitek dan seniman. Menurut Presiden, Istana negara harus mencerminkan simbol kebanggaan bangsa, dan juga kemajuan bangsa. Itu artinya bahwa pradesain yang dibuat oleh seniman Bali I Nyoman Nuarta masih bisa berubah.

Di akun tweeter sebagian mendukung dan sangat bagus, sedangkan sebagian yang lainnya menyebut sebagai lambang kemunduran bangsa. Mengapa hal itu terjadi? Mungkin saja yang menolak atas desain garuda mencerminkan hasil penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2016 menunjukkan, terdapat 25% siswa dan mahasiswa yang menganggap Pancasila tidak lagi relevan. Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 2017 menemukan, ada 9% (sekitar 15 juta jiwa) rakyat Indonesia memilih khilafah. Data lain dari BPS Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, menunjukkan bahwa empat pilar NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika hanya diketahui 67-78%. Survei BPS, dilakukan terhadap 12.056 responden di 181 kabupaten/kota, di 33 provinsi. Kesimpulan survei tersebut menunjukkan bahwa badan melibatkan 12.056 responden. Bahkan 10% masyarakat kita tidak mampu menyebut 5 butir sila Pancasila.

Jadi Istana Negara dengan arsitek garuda cukup ideal, bila memang ditujukan sebagai pengingat akan pentingnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Pancasila sebagai pandangan hidup mulai memudar, pada hal Pancasila merupakan perjanjian bangsa yang lahir untuk menegakkan NKRI kini dan masa depan.

Burung Enggang
Bagi saya, arsitektur istana negara paling adaptif adalah mencerminkan budaya dayak. Oleh sebab itu, pilihan ikon Kalimantan adalah burung Enggang dan rumah Lamin. Keduanya merepresentasikan keberagaman Indonesia dan menyesuaikan dengan kondisi adat, lingkungan alam, sosial-budaya setempat. Burung Garuda lebih cocok untuk gedung legislatif dan gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selain burung Enggang, burung Garuda dan rumah lamin, Ibukota baru, perlu menampilkan semangat bahari bangsa Indonesia, sebagai salah satu karakter dominan dan pandangan hidup bangsa. Maka ikon perahu juga sangat bijak dijadikan sebagai arsitektur bangunan dan perkantoran,

Revolusi Ekosistem Hutan ke Metropolis
Pemindahan Ibukota dari Jakarta ke Kalimantan bukanlah persoalan yang sederhana. Ini sebuah revolusi ekosistem yang membawa dampak secara besar-besaran, baik perubahan politik-ekonomis maupun sosial-budaya setempat, juga dampak perubahan lingkungan tata ruang, alam, kehidupan sosial dan adat budaya serta dampak pertahanan-keamanan negara.

Berbagai spekulasi mengenai dampak tersebut, terutama dampak ekologis dan adat budaya, menunjukkan bahwa pemindahan ibukota baru ke Kalimantan Timur menunjukkan pesimisme lebih besar dibandingkan optimisme. Bappenas, dalam hal ini, sebagai lembaga yang merancang visibilitas pemindahan tersebut sudah mengantisipasi dari berbagai dampak negatif dan menyatakan bahwa perpindahan ibukota dari Jakarta ke Paser di Kalimantan Timur adalah rencana ideal bagi pemerataan pembangunan di Indonesia.

Rumah Lamin
Dalam perhitungan untung-rugi, pertanyaan yang sering diajukan adalah siapakah yang paling diuntungkan dan dirugikan? Apabila kita berbicara untung-rugi, maka yang beruntung secara ekonomis adalah para pemodal, secara politik adalah mereka yang mempunyai mobilitas tinggi oleh sebab pemilikan power dan ekonomi, terutama posisi Gubernur, dan Walikota.

Pergeseran dan perubahan terbesar adalah revolusi ekosistem lingkungan alam, sosial dan budaya masyarakat setempat, dari kehidupan hutan dan setengah momaden masyarakat setempat yang eksotis, menjadi peradaban baru, yaitu peradaban kota. Tanah sebagai warisan alam akan diambil alih negara sebagai aset kekuasaan. Pemilikan tanah akan menjadi pemilikan ekonomis dan bukan lagi berkah Illahi yang bebas untuk diekploitasi secara tradisional (Selama ini masyarkat berhadapan dengan swasta pengelola hutan), kini masyarakat akan berhadapan dengan dua kekuatan besar, yaitu Negara sebagai pemangku kepentingan wilayah dan Swasta yang memperoleh konsesi pengelolaan.

Di Ibukota baru, kita mungkin masih melihat pohon-pohon dan sungai atau pepohonan tetapi pastilah mereka tumbuh bukan secaa alamiah, melainkan rekayasa baru. Ibukota baru dengan peradaban kota akan mengubah ekosistem tradisional menjadi ekosistem metropolitan. Maka di situ akan bertemu dua hal yang berbeda, yakni kelompok bangunan (perkantoran dan hotel serta rumah-rumah mewah) dengan ekosistem hutan yang perawan. Mungkin saja pertemuan itu akan terjadi perkawinan yang ideal antara tradisional dan modernitas. Sehingga, kawasan ibukota baru tersebut merupakan tempat yang nyaman dan menyenangkan.

Namun perlu diingat, dalam sejarah perkotaan, alam akan dikalahkan oleh agresi manusia modern yang pada umumnya, tidak ramah lingkungan. Budaya baru yang bersifat materialistik mengubah kesunyian menjadi hingar bingar. Hutan tidak lagi sakral yang menjadi partner kehidupan tetapi hutan berubah fungsi menjadi asesoris untuk kelengkapan kehidupan metropolis.

Budaya demokrasi dan mutasi Konflik
Hutan, bagaimanapun juga, akan secara sistematis tererosi oleh peradaban demokratis. Yakni budaya yang memberikan kebebasan dan keleluasaan terhadap berbagai jenis ras, etnis dan golongan untuk mengeksploitasi kawasan hutan. Prinsipnya, tanah, hutan lingkungan akan menjadi barang komoditas. Maka ekosistem hutan semakin hari akan semakin menipis, karena adanya mutasi penduduk dari berbagai penjuru dunia untuk mencari mata pencaharian hidup. Baik dalam skala kecil sampai dalam skala besar. Logika sederhana, ibukota ibaratnya gula dan masyarakat ibarat semut. Secara alamiah, semut selalu mencari tempat yang ada gulanya.

Ibukota baru adalah peradaban multikultur. Peradaban yang menampung segala jenis manusia dan segala macam bidang kegiatan dalam satu ekosistem metropolis. Apa yang terjadi? Pasti adanya dinamika yang sangat kompleks. Salah satunya adalah efek hubungan antar budaya, adalah prejudice (syak wasangka), kesalahpahaman dan konflik primordial (SARA).

“Ini adalah persoalan yang pelik dan latent, oleh sebab itu membutuhkan desain kehidupan multikultur yang lebih adaptabel. Dalam pengalaman kota-kota metropolis yang bertahan adalah mereka yang bermodal kuat dan menyingkarkan mereka yang bermodal lemah. Baik modal sosial, ekonomi, modal intelektual dan modal budaya. Setiap kota akan membentuk dua kelompok masyarakat, yakni rural dan urban. Di tengah-tengah dua jenis masyarakat itu adalah masyarakat marginal. Mereka adalah yang tidak cukup memiliki modalitas untuk berkompetisi dalam sistem demokrasi dan metropolis. Akhirnya, Ibukota baru juga menciptakan masyarakat yang tidak berdaya. Artinya, bahwa pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur juga akan memindahkan masyarakat marginal denagn segala problematikanya, serta pemindahan konflik? Persoalan kota meetropolis akan menjelaskan tentang relasi borjuasi, buruh dan kaum marginal, relasi kekuasaan dan yang dikuasai.

Logika sehatnya kekuasaan selalu membawa konflik kepentingan dan perebutan kekuasaan. Hal ini berangkat dari definisi politik sebagai ladang untuk mencari dan merebut kekuasaan. Artinya, setiap kekuasaan selalu mengundang pihak lawan politik, seperti opisisi, resistensi dan segala protes ketidakpuasan masyarakat, seperti apa yang terjadi di Jakarta hari ini.

Di masa depan, dapat dipastikan tuntutan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial-politik akan semakin tinggi. Demikian pula tatacara relasi Negara dan Rakyat akan semakin meningkat baik dari segi kualitas dan kuantitas serta aktivitasnya. Konflik politik di masa depan semakin canggih, tidak saja demonstrasi orang turun ke jalan, mungkin juga mereka menggunakan robot, drone dan pesawat tanpa awak lainnya. Oleh sebab itu, ruang dan bangunan Ibukota bisa jadi menjadi ancaman dan sasaran.

Kondisi ini menunjukkan bahwa tata ruang ibukota harus mempertimbangkan aspek keamanan yang tinggi. Artinya, desain ibukota tidak saja pada aspek artistik dan ramah lingkungan. Equilibrium sosial dan ekosistem lingkungan alam juga hal mutlak dipertimbakan agar kelestarian dan keberlanjutan Kalimantan sebagai paru-paru dunia akan tetap dipertahankan.***


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya