Kamis, 16 Mei 2024
Sosok Inspirasi
Rektor UNS, Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH.Mhum

Moderasi Islam untuk Mengukuhkan UNS sebagai Kampus Pelopor dan Benteng Pancasila

Selasa, 13 Juli 2021
jawi.jpg
Humas UNS
Rektor UNS, Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH.Mhum.*

KISUTA.com - Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prof Dr. Jamal Wiwoho, SH.Mhum menyatakan, salah satu anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia adalah adanya dasar negara Pancasila, yaitu lima prinsip dasar berupa Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyataan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Lima pinsip dasar ini telah terbukti keampuhanya dalam menjaga serta merawat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam balutan harmoni kehidupan yang selaras dengan cita-cita para pendiri bangsa sejak Pancasila lahir pada 1 Juni 1945," ungkap Rektor UNS pada Seminar Nasional dengan tema ‘Moderasi Islam Untuk Mengukuhkan UNS Sebagai Kampus Benteng Pancasila”, yang diprakarsai oleh Pusat Pengembangan dan Pengelolaan Mata Kuliah Umum, LPPMP UNS melalui ruang virtual Zoom Cloud Meeting Universitas Sebelas Maret, Selasa (13/7/2021).

Seminar diikuti Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA, Ph.D. (Imam Besar Masjid Istiqlal), Prof. Dr. Sarwiji Soewandi,M.Pd. Ketua Lembaga Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan UNS; Prof. Dr. Asri Laksmi Riani, M.S., Kepala Pusat Pengembangan dan Pengelolaan Mata Kuliah Umum, LPPMP UNS; Dr. Hassan Suryono, S.H.,M.H.,M.Pd., dosen Pancasila dan Narasumber.

Prof. Jamal mengakui, bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan keberagaman. Di samping memiliki 17 ribu pulau, juga memiliki 714 suku, 654 bahasa, dan tidak kurang dari 6 agama yang diakui keberadaannya.

Para pendiri bangsa ini mengakui, bahwa keragaman suku, budaya, ras, bahasa dan agama ini disamping menjadi kekuatan bangsa, akan tetapi sangat rentan terjadinya berbagai macam konflik yang bisa memicu perpecahan. Sehingga untuk menjaga keutuhan dan persatuan negara Indonesia dibuatlah satu konsensus rumusan Dasar Negara, yang ditemukan dan digali dari nilai-nilai luhur kehidupan rohani, moral dan budaya masyarakat Indonesia sendiri, yang kemudian bernama Pancasila.

Dikatakan Jamal, terbentuknya Pancasila diyakini juga merupakan sebuah keputusan dari konsensus politik yang sangat menakjubkan ketika itu. Para pendiri negara ternyata memiliki kesanggupan untuk menampung semua aspirasi yang ada dan mengakomodir ke dalam rumusan ideologi Pancasila.

"Sangat luar biasa memang, pengambilan keputusan berani para tokoh dan pendiri bangsa yang telah berhasil mengambil jalan tengah antara pilihan ekstrem yakni negara sekuler dan negara agama. Tentu ini bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat panjangnya perdebatan dan sejumlah revisi rumusan yang terkait dasar negara ini," ungkapnya.

Namun demikian, dasar negara yang akhirnya ditetapkan, merupakan pilihan yang telah sesuai dengan nilai-nilai luhur dan karakter bangsa. Betapa hebatnya para pendiri bangsa ini, mereka telah memberi landasan yang kokoh bagi suatu bangsa yang besar dan serba multi.

Prof. Jamal mengatakan, Pancasila juga adalah titik pertemuan atau NuqthotulLiqo’ yang lahir dari suatu kesadaran bersama pada saat krisis. Kesadaran ini muncul dari kesediaan untuk berkorban demi kepentingan yang lebih besar membentuk bangsa yang besar. Pancasila adalah suatu konsensus dasar yang menjadi syarat utama terwujudnya bangsa yang demokratis. Pancasila adalah ideologi yang terumuskan sebagai kesatuan proses sejak Pidato Soekarno 1 Juni 1945 pada Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), serta Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menghasilkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hingga rumusan terakhir pada 18 Agustus 1945.

Dua fase proses rumusan itu, menurut Prof Jamal, sebagai kesatuan proses, dan fondasi etik kesepakatan bagi seluruh peserta sidang. Sangat pantas kiranya jika Pancasila dan keutuhan NKRI adalah harga mati, karena keduanya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. "Oleh karena itu, tidak salah kalau para pendiri UNS mencanangkan Kampus UNS merupakan Kampus Benteng Pancasila," tandasnya.

Menurut Rektor UNS, Keharmonisan kehidupan kampus yang ditandai dengan hidup rukun dan damai secara berdampingan, dengan mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan. Sebagai contoh, UNS memiliki kompleks tempat ibadah yang berdiri berdekatan dalam satu kawasan, yakni: Masjid, Pura, Gereja, Vihara dan Klenteng. Kedekatan jarak rumah-rumah ibadah tersebut, sejatinya ingin menunjukkan dan sekaligus membuktikan kepada dunia bahwa agama seharusnya menjadi sumber ajaran untuk mewujudkan kerukunan dan perdamaian ketika diamalkan secara benar dan konsisten.

Secara umum, Keberhasilan meredam munculnya konflik antar pemeluk agama, sebenarnya diawali oleh adanya kesadaran untuk melakukan komunikasi yang tulus disertai kesadaran untuk hidup bersama berdampingan secara aman dan damai. Suasana seperti inilah yang ingin terus diwujudkan dan dilestarikan oleh seluruh pemangku pimpinan UNS beserta civitas akademikanya. Iklim musyawarah dan mufakat juga akan terus dikembangkan sebagai salah satu sistem budaya dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan dalam semua level pimpinan di UNS.

"Kami meyakini bahwa menjaga nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan merupakan jati diri bangsa yang paling mendasar, dan itu merupakan implementasi dari Pancasila," jelasnya.

Lebih lanjut Prof Jamal mengatakan, menjaga dan melestarikan nilai-nilai Pancasila bukanlah perkara yang mudah. Jika melihat sejarah perjalanan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, maka sejumlah upaya merongrong Pancasila pernah dilakukan oleh sejumlah warga negara Indonesia sendiri. Sebut saja diantaranya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yaitu gerakan kelompok islam di Indonesia yang bertujuan untuk mendirikan negara islam (Darul Islam) di Indonesia. Melalui pimpinan tertingginya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo, DI/TII memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia di Jawa Barat tahun 1949. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 yang menewaskan 7 pahlawan revolusi. Upaya-upaya mengganti Pancasila sebagai dasar negara di masa lalu tersebut dapat diredam dan membuktikan adanya kesaktian Pancasila.

Di tengah era perubahan saat ini, berbagai ancaman tersebut masih dirasakan muncul di beberapa masyarakat kita, bahkan sudah mengarah kedalam bentuk gerakan radikalisme agama. Mengutip survei yang dilakukan oleh BNPT, sebanyak 85% milenial rentan terpapar radikalisme. Hal ini dikarenakan antara lain belum tumbuhnya kesadaran sosial dan kesadaran hukum kaum milenial dalam bermedia sosial. Selain itu, literasi dan narasi Islam Rahmatanlil Alamin di media sosial juga belum dirasakan dampaknya bagi masyarakat.

Maka, langkah strategis untuk mempertahankan nilai-nilai Pancasila dari ancaman gerakan radikalisme agama adalah mengarus-utamakan gerakan moderasi islam secara luas di masyarakat Indonesia. Moderasi islam atau islam moderat adalah paradigma terhadap pemahaman keislaman yang menjunjung tinggi nilai-nilai tasamuh (toleransi), keramahtamaan, plural, dan ukhuwah. Jangan lupa, bahwa sejatinya, “Perbedaan dibutuhkan untuk membuat dunia tetap berjalan. Dan bukan alasan untuk saling menghentikan." jelas Prof. Jamal Wiwoho.* Eko Prasetyo - kisuta.com


BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya