Senin, 29 April 2024
Artikel Opini
Opini

Pengembanan Hukum Prismatik sebagai Basis Mewujudkan Adagium Hukum untuk Manusia Bukan Manusia untuk Hukum

Prof. Dr. Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum., C.M.C. Guru Besar Fakultas Hukum UNS
Senin, 3 Juli 2023

KISUTA.com - Ubi societas Ibi Ius atau di mana ada masyarakat di situ ada hukum (Marcus Tulis Cicero). Hukum adalah sarana untuk mengatur kehidupan manusia, tanpa adanya hukum kehidupan bersama yang disebut masyarakat tidak akan eksis. Menurut Jeremy Bentham, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan bagi warga masyarakat, hukum harus membawa kemaslahatan bagi manusia.

Hukum dibuat dan ditegakkan harus semata-mata demi mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan sebaliknya. Memperuntukkan atau mengorbankan manusia demi kepastian hukum atau keteraturan adalah sebuah penyimpangan dari adagium Hukum untuk Manusia, bukan Manusia Untuk Hukum (Satjipto Rahardjo).

Dalam pengembanan hukum (rechtboefening), seringkali yang justru manusia untuk hukum. Hal ini dapat ditelisik dari kondisi penegakan hukum di Indonesia, yang masih menunjukkan jauh dari harapan. Survei Harian Kompas (Peb. 2023) yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat di bidang penegakan hukum masih rendah yaitu ada di angka 55,1%.

Demi menegakkan kepastian hukum, masih sering terjadi kasus-kasus “sandal jepit” dipersidangan yang menimpa kelas bawah (misal : kasus pencuri 3 butir kakao, pencuri 1 buah semangka, penahanan emak-emak dengan balitanya, pencuri sisa getah karet, dsb) yang menyakiti rasa keadilan masyarakat. Nilai-nilai yang menjadi tujuan hukum untuk melayani manusia masih jauh dari harapan dan cita-cita.

Kondisi demikian terjadi bukan karena lemahnya komitmen dan moralitas para pengemban hukum, tetapi seringkali justru disebabkan oleh belenggu positivisme, di mana pengemban hukum seperti menggunakan kacamata kuda yang hanya berpikir tekstual normatif. Adagium siapa bersalah harus dihukum (culpue poena par esto) sebagai panglima dalam penegakan hukum sekalipun tidak manusiawi. Penegakan hukum yang hanya berbasis teks hukum gilirannya justru melahirkan tirani positivisme (positivism tyrani).

Belenggu positivisme setidaknya dikarenakan dua hal. Pertama, Indonesia mewarisi hukum Kolonial Belanda yang berparadigma civil law (rechstaat). Kedua, pendidikan hukum memiliki kurikulum yang menitikberatkan pada keterampilan menerapkan undangundang, dan diperparah oleh massalisasi Pendidikan hukum, sehingga sarjana hukum dicetak seperti hasil kerja mesin, dan kurang mengajari mahasiswa sebagai legal scientist yang memilki kecerdasan spiritual dan peka terhadap kemanusian dan keadilan substansial.

Solusi mengatasi belenggu positivisme harus dikembangkan hukum prismatik (Fred Warren Riggs) yang mensinergikan civil law dan common law. Hal itu dilandasi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang tidak lagi menyebut kata rechstaat, tetapi hanya menyebut “Indonesia adalah negara hukum” yang dimaknai sebagai Negara Hukum Pancasila. Di dalam hukum prismatik yang dianut oleh Negara Hukum Pancasila harus memadukan secara harmonis unsur-unsur baik dari rechtsstaat (kepastian hukum) dan the Rule of Law (keadilan substansial). Konsep hukum prismatik sejalan dengan para foundhing fahther ketika mendirikan negara ini menganut faham integralistik. Hukum prismatik merupakan qonditio sine qua non bagi basis untuk mewujudkan adagium hukum untuk manusia. Pengembanan hukum prismatik memiliki urgensi sebagai basis dua sisi, yaitu sebagai, basis pembentukan hukum (law making), dan sebagai basis penegakan hukum (law 2 enforcement) progresif dan hukum profetik dalam rangka mewujudkan adagium hukum untuk manusia.

Hukum prismatik sebagai basis dalam pembentukan perundangan-undangan (law making) sejalan dengan mirror theory (Brian Z. Tamanaha) bahwa hukum harus sesuai dengan kondisi dan nilai-nilai sosial masyarakat. UU No. 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan salah satu ilustrasi law making berbasis hukum prismatik.

Hukum prismatik sebagai basis dalam penegakan hukum progresif (progressive law enforcement) dan hukum profetik (prophetic law enforcement). Berhukum menurut hukum progresif, harus berani keluar dari cara-cara konvensional dan status quo. Hukum progresif
memposisikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam satu garis. Penerapan hukum progresif dapat dilihat pada Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 46/PUUVIII/2010 yang membatalkan Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Hukum prismatik sebagai basis dalam penegakan hukum Hukum Profetik harus memiliki tiga pilar utama yakni menyeru kepada kebaikan (ta’muruna bil ma’ruf) atau humanisasi, mencegah dari yang kemungkaran (tanhauna anil munkar) atau liberasi, dan beriman kepada Tuhan YME/Allah SWT (tu’minuna billah) atau transendensi. Penerapan hukum profetik dalam upaya mewujudkan adagium hukum untuk manusia dapat dilihat pada kisah pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, yang membebaskan seorang pencuri dari hukuman karena terpaksa oleh kelaparan dan justru menghukum sang majikan karena tidak memberi makan sehingga pegawainya terpaksa mencuri karena kelaparan.

Sebagai simpulan dapat disampaikan intisari yang terangkum dalam empat poin. 1). Pengembanan hukum prismatik merupakan keniscayaan dalam Negara Hukum Pancasila sebagai basis dalam mewujudkan adagium hukum untuk manusia. 2). Pengembanan hukum prismatik yang memadukan nilai-nilai positip dari civil law dan common law merupakan jalan keluar dari belenggu positivisme agar dapat mewujudkankan adagium Hukum Untuk Manusia. 3). Pendidikan Hukum harus mengembangkan kurikulum yang tidak hanya memberikan ketrampilan lulusan dalam menerapkan undang-undang, tetapi juga kecerdasan spiritual agar mampu melakukan penegakan hukum progresif dan penegakan hukum profetik. 4). Hukum prismatik hanya akan mampu mewujudkan adagium Hukum untuk Manusia tergantung dari semangat atau etos para pengemban hukum yang menjalankannya. ***


KATA KUNCI

BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya