Senin, 29 April 2024
Wisata & Sejarah

Selain Keramik, Sate Maranggi Perkuat Ekonomi Warga Plered

Rabu, 27 September 2023
anggi.jpg
Wasmowiyoto/KISUTA.com
SUASANA Kampung Maranggi Plered, Kab. Purwakarta pada siang hari.*

KISUTA.com - Setelah tersambungnya jalan tol Bandung-Padalarang-Cikampek-Jakarta (Cipularang) sejak 2003-2005 lalu, banyak orang Bandung yang mengurangi frekuensi perjalanan ke Jakarta via Kota Purwakarta (rute lama). Demikian pula ketika pulang dari Jakarta menuju Bandung, menjadi sangat jarang mampir ke Kota Purwakarta.

Kalau ke Kota Purwakarta saja frekuensinya berkurang, apalagi ke Kecamatan Plered, yang selama ini terkenal dengan kerajinan keramiknya itu. Mengapa? Ya karena kota Kecamatan Plered tidak berada persis di dalam Kota Purwakarta, tapi lebih tepatnya Kecamatan Plered merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Purwakarta. Jadi masih beberapa kilometer lagi jarak Kota Purwakarta ke kota Kecamatan Plered.

Karena itu agak menjadi kejutan, setidaknya bagi penulis pribadi, ketika Sabtu 23 September 2023 lalu penulis bersama keluarga sempat berkunjung ke Kampung Maranggi Plered. Tepat berada di seberang Kantor Kecamatan Plered, Kampung Maranggi Plered merupakan pasar bersama bagi 50-an pedagang sate maranggi.

Jika kita ke Kota Solo, Jawa Tengah, di sana ada Pasar Klewer yang sudah sangat populer bagi rakyat Indonesia. Pasar Klewer merupakan pusat busana batik, baik batik yang masih lembaran maupuan pakaian jadi yang dibuat dari kain batik. Ratusan pedagang batik di Pasar Klewer selama ini –sudah puluhan tahun—bisa hidup berdampingan dan rukun sekalipun dalam suasana persaingan bisnis.

Susana seperti Pasar Klewer itu pula yang sempat kami rasakan ketika makan soto maranggi di Kampung Maranggi Plered. Tanpa mengurangi kebebasan individu warga Plered khususnya dan Purwakarta umunya untuk mendirikan warung sate maranggi sendiri-sendiri, ternyata sejumlah warga Kecamatan Plered mampu berusaha berdampingan untuk berjualan komoditi yang sama: sate maranggi.

Satu tusuk sate dua ribu rupiah, satu porsi terdiri atas 10 tusuk berharga Rp 20.000,00. Harga itu sama bagi semua pedagang. Mereka berjualan sejak pagi hingga malam hari. Pengunjung selain bisa memesan sate juga sayur sop dan tentu saja nasi. Kebersamaan dalam berdagang kuliner terutama sate maranggi itulah yang tentu saja telah meningkatkan tingkat kesejahteraan ekonomi warga Plered, selain yang selama ini telah terkenal yakni kerajinan keramik.

Kabupaten Purwakarta –selain Kabupaten Cianjur--, memang merupakan dua daerah di Jawa Barat yang selama ini terkenal dengan sate marangginya. Dengan adanya Kampung Maranggi Plered sejak tahun 2013 itu, boleh jadi Purwakarta lebih terkenal daripada Cianjur dalam bisnis sate maranggi ini. Kini pedagang atau rumah makan dengan menu utama sate maranggi ada di mana-mana, termasuk di Bandung Raya.

Sejarah sate maranggi
Sate maranggi dengan bahan baku utama potongan-potongan kecil daging sapi atau domba itu, ternyata juga mempunyai sejarah atau asal usul yang layak untuk diketahui. Maranggi dalam bahasa Sunda merupakan istilah pertukangan, yakni seorang ahli pembuat sarung keris.

Irvan Setiawan, peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jawa Barat dalam karya ilmiahnya berjudul “Sate Maranggi: Kuliner Khas Kabupaten Purwakarta”, mengungkapkan hanya sedikit bukti sejarah yang dapat dikemukakan mengenai asal mula sate maranggi.

Dari salah satu sumber, kata “Maranggi” merupakan nama panggilan yang ditujukan pada seorang penjual sate maranggi, yaitu Mak Anggi dari Jawa Tengah. Sekitar tahun 1960-an, ia berjualan sate dengan menggunakan tenda di daerah tempat tinggalnya yakni daerah Cianting. (travel.tempo.co, Rabu, 6/7/2022)

Masyarakat pada waktu itu kerap menyebutkan nama sate maranggi untuk merujuk tempat Mak Anggi berjualan. Tambahan huruf “R” dalam “MaRanggi” digunakan untuk mempermudah pengucapan dalam memberikan nama kuliner tradisional tersebut.

Tidak diketahui secara pasti kapan sate maranggi mulai terkenal. Data yang diperoleh dari informan Irvan menjelaskan bahwa Bustomi Sukmawirdja atau biasa disebut Mang Udeng, telah berjualan sate maranggi sejak tahun 1962 di Kecamatan Plered. Informasi tersebut pun menyaingi informasi lokasi asal mula sate maranggi yang oleh beberapa sumber disebut berasal dari Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta.

Adapun tahun awal adanya sate maranggi di Wanayasa adalah lebih muda dibandingkan dengan tahun keberadaan sate maranggi di Plered yakni tahun 1970. Informasi awal mula adanya penjual sate di Wanayasa datang dari seorang perempuan dengan nama panggilan Mak Unah.

Hasil asimilasi budaya
Tentang sejarah atau asal usul sate maranggi tersebut, ternyata ada versi lain yang juga layak untuk diketahui oleh masyarakat. Menurut Chef Haryo Pramoe, sate maranggi merupakan hasil asimilasi dengan budaya China. Haryo sendiri terkenal sebagai koki yang mendalami kuliner Indonesia dan juga pendiri Indonesian Food Channel.

Haryo Pramoe menuturkan, sate maranggi sebenarnya berasal dari para pendatang China yang menetap di Indonesia khususnya di daerah Jawa Barat atau para pendatang yang hidup di tengah-tengah budaya Sunda. (Kompas.com, 20/5/2016)

Karena itu, lanjutnya, awalnya sate maranggi sebenarnya bukan terbuat dari daging sapi atau kambing seperti sekarang ini, melainkan dibuat dari daging babi. Salah satu indikasi sate maranggi berasal dari China karena bumbu rempah yang digunakan sate maranggi sama persis dengan dendeng babi dan dendeng ayam yang dijual di Hongkong, China, dan Taiwan. Kemudian sate maranggi bertransformasi.

“Terjadi asimilasi, terjadi perkembangan budaya. Ajaran Islam masuk, banyak penduduk yang belajar Islam dan menjadi mualaf. Dijelaskan karena babi haram kemudian diubah menjadi daging sapi. Ini adalah bentuk perkembangan kebudayaan,” ungkap Chef Haryo yang pernah memasak sate maranggi di World Halal Food Festival di Ning Xia, China tahun 2014.* wasmowiyoto-kisuta.com


KATA KUNCI

BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya