Senin, 29 April 2024
Artikel Opini
Kolom

Relevansi Kuasai Beberapa Bahasa Asing

Widodo Asmowiyoto Mantan Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat. Saat ini jadi tim asesor Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI Pusat.
Senin, 16 Oktober 2023

KISUTA.com - Judul tersebut tiba-tiba mengganggu pikiran penulis yang berlatar belakang profesi sebagai wartawan. Harap maklum, pada medio 1990 penulis pernah mengikuti Program Orientasi Warawan ASEAN di Jepang selama satu setengah bulan.

Salah satu kenangan yang tidak terlupakan adalah percakapan penulis dengan wartawan di Negeri Sakura itu. “Anda belajar bahasa Inggris di mana?” tanyanya. Dengan polos penulis jawab, “dengan kursus di kota kami”. Dia tampak tersenyum heran mendengar jawaban itu.

Inti cerita begini. Bagi rekan wartawan Jepang yang bekerja di suratkabar besar harian itu, “tidak cukup belajar bahasa Inggris dengan kursus”. Wow! Bagi perusahaan media besar tempat dia bekerja, idealnya belajar bahasa Inggris ya di Inggris. Minimal belajar bahasa Inggris di perguruan tinggi yang fokus mempelajari bahasa Inggris.

Dengan latar belakang prinsip itu, wajar jika medianya mengirimkan para wartawannya ke negara-negara ASEAN untuk belajar bahasa nasional di masing-masing negara tersebut. Ada yang kuliah di Indonesia untuk menguasai bahasa Indonesia. Demikian pula ke Thailand dan Filipina untuk belajar bahasa yang biasa digunakan sehari-hari di negara bersangkutan.

Metode belajar tersebut dimaksudkan agar para wartawan di media besar itu benar-benar memiliki kemampuan yang mumpuni dalam berbahasa asing. Bukan hanya bahasa Inggris. Dengan demikian wartawan yang ditugaskan ke suatu negara akan mampu secara maksimal menggali informasi di negara bersangkutan.

Kuasai non-Inggris lebih disukai
Pengalaman di Jepang tersebut tentu saja menambah kekayaan pengetahuan, wawasan dan pola pikir penulis sebagai wartawan. Setelah itu penulis semakin memahami ketika ada perusahaan suratkabar besar di Indonesia yang mempunyai prinsip mirip dengan media di Jepang tersebut.

Dalam sebuah iklan rekrutmen wartawan baru, ada media besar di Indonesia yang menulis begini: “Pelamar harus mampu menguasai bahasa Inggris secara aktif. Menguasai bahasa asing non-Inggris lebih disukai”. Pengertian non-Inggris itu bisa macam-macam. Tergantung kebutuhan media bersangkutan.

Dengan ketentuan seperti itu, logikanya para calon wartawan yang akan direkrut harus menguasai bahasa Inggris plus (bahasa asing lainnya). Mungkin saja ada yang paham dan fasih bahasa Prancis atau lainnya (Belanda, Jerman, Rusia, China, Jepang, Korea, Arab, dan lain-lain).

Latar belakang pendidikan non-komunikasi dan non-jurnalistik biasanya juga menjadi bahan pertimbangan. Artinya tidak semua calon wartawan harus berasal dari lulusan jurusan jurnalistik atau fakultas komunikasi. Lulusan sarjana dengan beragam latar belakang keilmuan pun boleh jadi wartawan. Terpenting lulus seleksi termasuk seleksi bahasa Inggris dan kemampuan berbahasa non-Inggris yang “lebih disukai” tersebut.

Khusus bagi kita yang tinggal di Indonesia dengan ratusan suku bangsa ini, bisa saja diterapkan tambaha ketentusan seleksi penerimaan reporter atau wartawan baru. Yakni, lebih disukai bagi mereka yang selain menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris plus, juga menguasai bahasa daerah. Hal itu akan sangat bermanfaat bagi wartawan bersangkutan jika ditugaskan ke daerah-daerah di seluruh Indonesia. Tentu dipilih wartawan yang mampu menguasai bahasa setempat sehingga penggalian informasinya bisa lebih tajam.

Tahun 1983 ketika penulis harus hijrah tugas ke Kota Bandung dan Jawa Barat pada umumnya, awalnya sangat kesulitan untuk melakukan wawancara dalam bahasa Sunda. Namun dengan terus belajar dan berlatih, pada gilirannya mulai menguasai bahasa ibu di Jawa Barat ini, meskipun tidak sebaik penutur asli.

Sebaliknya, ada seorang teman yang biasa tinggal di Kota Bandung. Sebagai wartawan suatu saat dia ditugaskan ke Kota Surabaya. Tanpa berbekal kemampuan bahasa Jawa sedikit pun, dia merasa asing dengan keseharian bahasa Jawa di Kota Pahlawan itu. Itulah sebaiknya, para wartawan di tanah air tercinta ini –jika memungkinkan—juga mulai mempelajari dan menguasai bahasa daerah lain di luar tempat tinggalnya.

Pengalaman liputan olahraga
Lilianto Apriadi, wartawan senior, berbagi pengalaman tentang perlunya menguasai bahasa Inggris dan non-Inggris di bidang olahraga. Kemampuan itu untuk memenuhi teknik reportase yaitu wawancara dan riset data yang tidak jarang menggunakan bahasa asing lain, selain bahasa Inggris.

Kemampuan berbahasa Inggris, menurut Lilianto, memang sudah umum dipakai di event internasional. Tapi bagaimana bila wartawan hendak mewawancarai atlet yang tidak bisa berbahasa Inggris?

Padahal wartawan olahraga akan berhadapan dengan atlet Spanyol, Italia, China, Jepang, Rusia, dan banyak lagi yang harus diwawancarai agar bisa mendapatkan data lebih dalam lagi. Tidak mustahil, wartawan harus melakukan wawancara dengan bahasa yang dikuasai para atlet itu. (Lilianto Apriadi, Jurnalisme Olahraga Fair Play, Please, Buku HPN 2015, Januari 2015)

Pengalaman Lilianto ketika menyeleksi wartawan dalam program perekrutan wartawan baru, menerima sarjana bahasa Rusia ternyata bermanfaat sekali. Ketika kejuaraan Piala Eropa 2012 di Rusia-Ukraina, wartawan tersebut menjadi pilihan utama sebagai anggota tim peliput.

Begitu pula saat instansi menerima undangan meliput pertandingan catur yang banyak dilakukan di negara Rusia atau pecahannya, dialah yang menjadi pilihan utama untuk dikirim meliputnya.

Begitu pula, wartawan dengan memiliki latar belakang ilmu selain ilmu komunikasi dapat menambah warna laporan atau tulisan olahraga menjadi lebih dalam dan menarik. Lilianto menyebut beberapa rekannya yang sarjana fisika, metalurgi, dan matematika. Latar belakang ilmu-ilmu tersebut ikut memberi warna kepada para wartawan pemiliknya dalam menulis bidang olahraga.

Contohnya tendangan bebas pemain sepakbola asal Inggris, David Beckham, yang terkenal itu, akan lebih menarik kalau dibumbui oleh laporan dari sisi fisika, misalnya. Begitu pula tulisan yang dibuat olah wartawan yang memiliki latar belakang ilmu filsafat, sejarah, atau politik. Laporan atau tulisan tentang pertandingan sepakbola antara Inggris dan Argentina dalam Piala Dunia, bisa diwarnai dengan latar belakang perang Malvinas.

Kemampuan beragam bahasa asing non-Inggris juga diperlukan untuk menjelalah di dunia maya (internet), masuk ke situs-stus milik klub, twitter, atau facebook pribadi atlet. Di media sosial itu biasanya para atlet mengeluarkan cerita-cerita maupun gambar-gambar koleksi pribadi yang tidak bisa dijumpai di media umum.

Hal lain yang perlu diungkap dalam jurnalisme olahraga sekarang ini adalah penuangan karya untuk mendukung peningkatan prestasi olahraga. Munculnya sport science dalam pembinaan olahraga, mengakibatkan perlunya karya-karya teknologi olahraga disajikan ke media massa. Seorang wartawan perlu mempertajam karyanya dengan menambah wawasan teknologi olahraga ini melalui wawancara kepada pakarnya atau melalui riset data.***


KATA KUNCI

BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya