Senin, 29 April 2024
Artikel Opini
Kolom

Menyoal Sikap Disiplin dan Budaya Antre

Widodo Asmowiyoto Mantan Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat. Saat ini jadi tim asesor Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI Pusat.
Rabu, 18 Oktober 2023

KISUTA.com - Baru sekitar satu windu menjadi wartawan tahun 1986, penulis berkesempatan ke Kota Vancouver, Kanada. Tujuannya meliput World Expo 86. Itu pengalaman pertama penulis meliput event internasional di mancanegara. Apalagi penerbangannya sangat lama, harus transit di Bandara Narita, Tokyo, Jepang.

Ada satu kenangan di kota dekat perbatasan dengan Amerika Serikat itu yang hingga kini sulit penulis lupakan. Yakni suasana arus lalu lintas kota bersalju itu. Saat itu, di sebuah perempatan jalan raya yang relatif sepi, lampu lalu lintas menyala dari warna hijau ke merah. Meski sepi, tapi para pengendara mobil menaatinya. Berhenti sejenak.

Selama mobil berhenti menunggu lampu hijau, sebetulnya dari arah yang lain tidak ada mobil yang lewat. Jadi kalaupun mobil yang berhenti tadi tetap melanjutkan perjalanan tidak akan terjadi tabrakan atau kecelakaan. Namun itulah sikap disiplin dalam berlalu lintas. Para pengendara mobil atau kendaraan bermotor punya sikap disiplin menaati aturan berlalu lintas.

Sikap disiplin berlalu lintas juga penulis saksikan di beberapa kota besar lain di dunia yang sempat penulis kunjungi. Antara lain Tokyo, Osaka, Kyoto, Sydney, Canberra, Paris, Den Haag, Amsterdam, London, Singapore, Kuala Lumpur.

Di kota-kota besar tersebut sikap disiplin warganya, baik dalam berlalu lintas maupun kegiatan lain yang memerlukan keharusan antre lebih dulu, menunjukkan fakta yang sangat positif. Kecuali ada perilaku negatif yang luput dari pengamatan penulis. Itu lain soal. Tapi secara umum budaya antre mereka pun baik.

Fakta di negeri kita
Lalu bagaimana sikap disiplin dan budaya antre di negeri kita tercinta ini: Indonesia. Secara umum tentu saja sudah baik. Namun, harus diakui, masih perlu peningkatan. Kebetulan penulis sudah mengunjungi hampir semua ibu kota provinsi di Indonesia.

Dalam hal sikap disiplin berlalu lintas, maaf, terus terang, masih perlu terus ditingkatkan sopan santunnya. Mengapa? Karena di kota mana pun, ada kecenderungan para sopir angkutan kota atau angkot cenderung mengejar setoran sehingga seringkali bersikap egois.

Di Jakarta, yang terkenal dengan kemacetannya itu, manajemen angkutan kota sudah relatif baik. Ha itu berkat sikap kebersamaan atau kolaborasi antara pemerintah daerah dengan para pengusaha angkutan kota. Intinya dibuat kesepakatan antar-moda angkutan kota termasuk dalam pembagian rezekinya sehingga tidak lagi terburu-buru, ngebut, mengejar setoran.

Tampaknya di kota-kota lainnya masih perlu perbaikan dalam hal manajemen angkutan kota ini. Jika keberhasilan di Kota Jakarta tersebut bisa ditiru oleh kota-kota lainnya, maka semestinya secara bertahap akan terjadi perubahan ke arah perbaikan yang bisa dinikmati warga kotanya.

Fenomena di Bandung
Tentang sikap disiplin berlalu lintas dan budaya antre di Kota Bandung atau Bandung Raya, tentu saja penulis tidak harus bercerita banyak. Sebab umumnya warga Bandung sudah menyaksikan sendiri setiap hari ketika pergi-pulang saat ke kantor, lokasi kerja, atau tempat-tempat lain yang berkaitan dengan kegiatannya masing-masing.

Namun terasa ada fenomena relatif baru –atau mungkin sudah lama—yang perlu ditangani oleh pihak berwenang. Hal itu tetap menyangkut sikap disiplin dalam berlalu lintas dan budaya antre dalam kehidupan bersama.

Ceritanya begini. Di perempatan antara Jalan Soekarno-Hatta dan Jalan Mohammad Toha, Kota Bandung, ada kebiasaan yang relatif aneh. Yakni, saat lampu merah untuk pengendara kendaraan bermotor dari arah utara atau kota (Jalan Moh. Toha), banyak pengendara sepeda motor yang berhenti di bagian belokan ke arah Jalan Soerkano-Hatta.

Dengan posisi seperti itu, saat lampu lalu lintas berubah hijau, para pengendara sepeda motor yang berada di tikungan ke arah Jalan Soekarno-Hatta tersebut ternyata melaju ke arah Jalan Moh. Toha (ke selatan). Pada saat bersamaan, di jalan utama (Jalan Moh. Toha), baik kendaraan bermotor lainnya --mobil maupun banyak sepeda motor-- juga berhambur menuju selatan (ke Kabupaten Bandung).

Cara yang mirip juga terjadi di area atau perempatan yang sama. Saat lampu merah menyala bagi kendaraan dari arah timur di Jalan Soekarno-Hatta, sebagian pengendara sepeda motor tetap berusaha berjalan ke arah barat dengan lebih dulu belok ke jajaran kendaraan yang sedang berhenti di Jalan Moh. Toha. Mereka mencari celah-celah di deretan kendaraan yang sedang parkir di Jalan Moh. Toha yang sedang menghadap ke arah utara atau ke arah kota.

Cara-cara seperti itu mungkin saja dilakukan oleh para pengendara sepeda motor yang relatif sudah hafal situasi di situ. Jika tidak ada peringatan atau teguran dari polisi lalu lintas yang sedang bertugas, boleh jadi mereka merasa diizinkan dengan cara-cara yang tidak lazim tersebut. Padahal realitasnya bisa mengganggu para pengguna jalan yang lain.

Pentingnya mengantre
Di negara-negara maju yang keadaan sehari-hari lalu lintasnya sudah tertib karena diwarnai sikap disiplin warganya, ternyata diawali dengan gencarnya pendidikan budaya antre di lingkungan pelajar. Para guru di sana merasa lebih khawatir jika murid-muridnya tidak bisa mengantre daripada tidak bisa mengerjakan soal matematika. Mengapa?

Menurut perempuan pembicara dalam media sosial “Snack Video” yang beredar 13 Oktober 2023 lalu, para guru sekolah dasar di Australia berpendapat hanya perlu waktu tiga bulan untuk melatih murid-muridnya memahami soal-soal matematika. Namun perlu waktu 12 tahun atau bahkan lebih untuk mengajari para murid memahami budaya antre.

Dijelaskan, dalam perjalanan hidupnya hingga dewasa dalam beragam profesi masing-masing, mereka tidak akan menggunakan ilmu matematika kecuali yang relatif ringan seperti “penjumlahan, tambah-kurang”. Namun, mau tidak mau, ketika beranjak dewasa mereka harus belajar budaya antre karena hal itu merupakan bagian dari pelajaran etik dan moral.

Pendek kata ada sepuluh –bahkan bisa lebih—pelajaran penting di balik budaya mengantre tersebut. Pertama, belajar manajemen waktu. Maksudnya jika ingin tidak antre panjang harus mau datang lebih awal dan melakukan persiapan lebih awal.

Kedua, bersabar menunggu giliran jika kita terpaksa mendapat tempat di tengah atau di belakang dalam antrean tersebut. Ketiga, belajar menghormati hak orang lain, karena yang lebih awal akan mendapat giliran lebih awal pula.

Keempat, belajar disiplin setara dan tidak menyerobot orang lain. Kelima, belajar kreatif untuk mengatasi kebosanan saat antre. Jika di Jepang, biasanya waktu antre diisi dengan kegiatan membaca buku.

Keenam, belajar bersosialisasi dan komunikasi dengan orang lain yang ada dalam antrean itu. Ketujuh, belajar tabah dan sabar dalam proses mencapai tujuan. Kedelapan, belajar hukum sebab-akibat bahwa jika datang terlambat maka risikonya mendapat tempat antre di belakang.

Kesembilan, belajar disiplin dan menghargai orang lain. Kesepuluh, belajar rasa malu jika menyerobot hak orang lain.

Poin-poin tersebut mirip dengan tulisan Yudithia Dianputra berjudul “Perlu Dibiasakan! Tips Mudah dalam Mengajarkan Budaya Antre pada Anak” (yd.blog.um.ac.id, 21/04/2022) Upaya untuk mengajarkan budaya antre pada anak akan mudah dilakukan jika orang tua juga turut terlibat.

Anak-anak merupakan sosok yang gemar meniru. Seorang individu yang imitatif pada setiap kegiatan orang lain, maka langkah untuk menanamkan kebiasaan antre juga harus bisa diselipkan dalam kebiasaan orang-orang di lingkungannya.

Anak akan lebih menyadari saran dan nasihat yang berbentuk contoh dan teladan langsung dari orang tua dibandingkan omongan, teguran, atau hal-hal yang bersifat menyuruh. Hampir semua orang tidak suka diperintah. Jika Anda ingin mengajarkan budaya antre pada anak, maka berikan contoh terbaik dalam kehidupan sehari-hari.***


KATA KUNCI

BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya