Jumat, 10 Oktober 2025
Artikel Opini

Mengagumi Sumpah Pemuda 1928

Widodo Asmowiyoto Mantan Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat. Saat ini jadi tim asesor Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI Pusat.
Kamis, 26 Oktober 2023

KISUTA.com - Alhamdulillah pada tahun 1992 penulis berkesempatan ke Den Haag, Belanda. Sempat menginap semalam di rumah rekan wartawan “Antara”. Saat pertama menginjakkan kaki di ibu kota Belanda itu, pertanyaan muncul di benak “kok negara sekecil ini mampu menjajah Indonesia selama 350 tahun?”

Pertanyaan senada menggoda lagi pikiran ketika penulis kembali melawat ke Belanda tahun 1997. Selain ke Den Haag lagi, alhamdulillah kali ini penulis juga sempat mengunjungi Amsterdam dan semalam di sana. Kesan pertama melihat Den Haag maupun Amsterdam, kedua kota itu bersih dan arus lalu lintasnya teratur. Banyak terdapat sepeda ontel.

Kalau wilayah Indonesia ini bisa dibilang seluas benua Eropa, maka Belanda ibarat menjadi salah satu “provinsi” saja. Itu pun salah satu provinsi di Pulau Jawa, bukan di luar Pulau Jawa. Artinya memang Belanda itu kecil. Hanya perlu beberapa jam perjalanan dengan mobil dari “satu ujung ke ujung yang lain” wilayah Belanda di Eropa Barat itu.

Tentang mengapa Belanda mampu sangat lama menjajah Indonesia, sudah banyak diulas dalam buku-buku (pelajaran) sejarah. Namun intinya, atau salah satu metode utama yang diterapkannya adalah menjalankan politik adu domba. Apalagi pada masa penjajahan yang tiga setengah abad itu, di wilayah nusantara banyak terdapat kerajaan.

Saat itu memang belum ada atau belum banyak alat komunikasi cepat. Dengan demikian para raja yang diadu domba tidak dapat segera melakukan cek dan ricek, serta konfirmasi atau klarifikasi tentang apa sebetulnya maksud “pernyataan adu domba” penjajah Belanda. Karena itu di era komunikasi digital yang sangat canggih saat ini, mekanisme cek-ricek, konfirmasi, dan klarifikasi menjadi pelajaran sangat penting untuk dilakukan segera.

Ide brilian Sumpah Pemuda
Beberapa dekade sebelum Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, sebetulnya juga belum ada kebiasaan pertukaran ide cepat antar-warga di wilayah nusantara. Namun saat itu sudah terbit beberapa suratkabar yang mampu memberi informasi dan menginspirasi para pembacanya.

Karena itu boleh dibilang merupakan ide yang sangat brilian ketika para pemuda “Generasi 1928” mampu menyelenggarakan rapat atau kongres demi lahirnya “Sumpah Pemuda”. Seperti ditulis oleh buku sejarah, gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua pada 27-28 Oktober 1928 berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia.

Kongres bertujuan memperkuat rasa persatuan dan kebangsaan Indonesia yang telah tumbuh di dalam benak dan sanubari pemuda-pemudi. Sebelum kongres digelar, para pemuda mengadakan pertemuan terlebih dahulu pada 3 Mei 1928 dan 12 Agustus 1928. Mereka membahas tentang pembentukan panitia, susunan acara kongres, waktu, tempat, dan biaya. (museumsumpahpemuda.kemendikbud.go.id)

Rapat pertama, malam hari Sabtu, 27 Oktober 1928 di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond. Ketua Kongres, Sugondo Djojopuspito, menegaskan “perceraiberaian itu wajiblah diperangi, agar kita bisa bersatu”. Sedangkan Mohammad Yamin mengatakan, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

Rapat kedua, pagi hari, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan. Harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secra demokratis.

Poernomowoelan mengatakan, “Di Indonesia ini, mesti lebih banyak perubahan-perubahannya dalam segala apapun juga. Kita harus membuang jauh-jauh itu tabiat mempermanja anak-anak kita”.

Rapat ketiga, sore hari, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Indonesische Clubgebouw. Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Ramelan mengemukakan tentang gerakan kepanduan yang tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Theo Pangemanan menyampaikan bahwa pandu sejati adalah pandu berdasarkan semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air Indonesia. Pramuka tanpa semangat kebangsaan bukanlah Pramuka.

Kongres mengambil keputusan. Pertama, Kami Putra Putri Indonesia Mengaku Bertumpah Darah yang Satu, Tanah Indonesia. Kedua, Kami Putra Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa yang Satu, Bangsa Indonesia. Ketiga, Kami Putra Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, bahasa Indonesia.

Lagu Indonesia Raya
Kongres diikuti para pemuda dari perkumpulan yang berdasarkan kebangsaan dengan beragam nama: Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpunan Peladjar-Peladjar Indonesia.

Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia Raya” oleh Wage Rudolf Supratman melalui lantunan biola. Lagu tersebut disambut dengan sangat antusias oleh peserta kongres. Kemudian kongres ditutup dengan pembacaan sebuah keputusan oleh Sugondo Djojopuspito. Keputusan itu dirumuskan oleh Mohammad Yamin.

Bagi penulis pribadi, momentum peringatan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 ini, mengingatkan pada banyak perjalanan di tanah air: dari Banda Aceh hingga Jayapura. Dalam setiap penerbangan, ada rasa syukur yang mendalam, bahwa berkat perjuangan Generasi 1928, Indonesia yang pada gilirannya diproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 wilayahnya sangat luas tapi bisa bersatu.

Dengan ratusan suku bangsa, Indonesia memiliki bahasa nasional “Bahasa Indonesia” yang mampu menjembatani komunikasi rakyatnya – kini hampir 280 juta jiwa. Seorang rekan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, pernah menceritakan betapa di Provinsi NTB juga punya banyak suku. Tanpa ada Bahasa Indonesia, mereka merasa sulit untuk berkomunikasi. Hal yang sama dengan sendirinya juga dirasakan oleh penduduk provinsi lainnya.

Setiap kali penulis mengikuti upacara pembukaan sebuah acara besar dan dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, selalu muncul perasaan haru dan menahan air mata. Begitu pula jika mendengar lagu Indonesia Raya diperdengarkan di pentas internasional saat para atlet Indonesia meraih juara satu.

Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-95 tahun 2023 ini bertema “Bersama Majukan Indonesia”. Tema itu jelas mengisyaratkan perlunya bangsa dan negara Indonesia terus maju, bukan malah mengalami kemunduran.

Sebagai konsekuensinya, gerak langkah rakyat Indonesia –apa pun posisinya—jangan malah membuat kemunduran. Saat ini sangat terasa terjadi kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin. Segelintir orang mampu mempunyai aset ratusan triliun rupiah, tapi di lain pihak masih ada sekitar 5 juta jiwa yang berstatus miskin ekstrem. Jumlah rakyat miskin di atas “garis ekstrem” lebih banyak lagi.

Kasus-kasus korupsi semakin marak, bukan semakin berkurang. Para oknum pelaku korupsi umumnya orang yang berada atau orang kaya, bukan rakyat miskin. Jumlah uang yang dikorupsi pun bukan lagi jutaan rupiah, tapi sudah miliaran bahkan triliunan rupiah.

Istilah yang cenderung merupakan sindiran kini adalah Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kalau tidak dikelola secara bijaksana, negara ini bisa mengalami guncangan di sana-sini. Jika tidak disikapi dengan hati-hati, ibarat kapal yang sedang berlayar di lautan dengan banyak penumpang bisa tenggelam karena dihantam gelombang besar.

Sebaiknya para penyelenggara negara dan para pemimpin negeri ini –apa pun latar belakang aliran politiknya-- sering-sering mengingat isi dan pesan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Juga perlu sering mengingat dan menerapkan isi (pembukaan) Undang Undang Dasar 1945.***


KATA KUNCI

BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya