Medan Perang, Paling Berbahaya bagi Tugas Wartawan
KISUTA.com - Sejak pecah perang antara tentara Hamas (Palestina) versus Israel tanggal 7 Otkober 2023 lalu, setidaknya tercatat 30 wartawan tewas. Jumlah itu terdiri atas 25 wartawan Palestina, 4 Israel, dan 1 Lebanon. Data itu banyak dilaporkan media massa internasional yang juga dikutip media dalam negeri.
Sedangkan pada tahun 2022 lalu, perang antara Rusia-Ukraina, kekacauan di Haiti, serta meningkatnya kekerasan oleh kelompok kiriminal di Meksiko telah berkontribusi pada peningkatan jumlah jurnalis yang tewas.
Berdasarkan laporan dari International Federation of Journalists (IFJ), pada 2022 itu tercatat 67 jurnalis dan pekerja media terbunuh di seluruh dunia. Jumlah itu meningkat dari angka 47 pada tahun 2021. (mediaindonesia.com, 10/12/2022)
Melompat jauh ke belakang, tahun 2013, tercatat 70 wartawan di seluruh dunia tewas selama 2013 itu. Dari jumlah tadi, sebagian besar atau 52 wartawan tewas dalam tugas. Suriah adalah tempat tugas paling mematikan, yang mengakibatkan 28 kematian tahun 2013 itu. Angka tersebut merupakan catatan Komite untuk Melindungi Wartawan/The Committee to Protect Journalists (CPJ) seperti dikutip ANTARA News, Selasa 31 Desember 2013.
Tahun 2006, menurut organisasi kebebasan pers “Reporters Without Borders”, adalah tahun yang paling maut bagi wartawan --dalam lebih dari sepuluh tahun-- dengan sedikitnya 81 wartawan tewas karena sebab-sebab yang terkait dengan pekerjaan mereka.
Menurut organisasi itu, sejak perang pecah tahun 2003 tercatat 139 wartawan yang tewas di Irak, lebih dua kali jumlah wartawan yang tewas selama 20 tahun perang Vietnam. Reporters Without Borders juga mengatakan, pihaknya untuk pertama kali mulai mencatat penculikan terhadap wartawan dan selama 2006 terjadi 56 penculikan. Dua tempat rawan penculikan bagi wartawan adalah Irak dan daerah Gaza. (voaindonesia.com, 31/12/2006)
Taufan Wijaya dalam tulisannya berjudul “Panduan Meliput Konflik Bagi Jurnalis Foto” juga mengutip data CPJ. Sejak tahun 1992, menurut CPJ, di seluruh dunia tercatat 1.228 wartawan –sebagan di antaranya wartawan foto—tewas di daerah konflik. Khusus tahun 2016 tercatat 48 jurnalis tewas. (taufanwijaya.wordpress.com)
Perlindungan wartawan
Dari sekian banyak perusahaan media massa di dunia –yang jumlahnya ratusan ribu atau mungkin lebih—tidak semuanya berani menugaskan atau mengirimkan wartawannya ke medan perang atau daerah konflik. Hal itu antara lain tergantung visi-misi media bersangkutan, segmen khalayak pembaca atau pemirsa, kemampuan finasial, dan ketersediaan wartawan yang kompeten serta punya nyali untuk meliput perang.
Laporan IFJ menyebutkan, penembakan/pembunuhan fatal jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, dilakukan oleh pasukan Israel pada 11 Mei 2022. Tepatnya, saat dia meliput serangan militer Israel di sebuah kamp pengungsi di Tepi Barat. Jaringan Al Jazeera secara resmi meminta Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menyelidiki dan mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan Abu Akleh.
Di Indonesia, tercatat pernah berlangsung konflik di Aceh. Konflik terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia. Jurnalis RCTI, Ersa Siregar yang disandera GAM sejak 29 Juni 2003, akhirnya tewas dalam sebuah kontak tembak antara pasukan TNI dari kesatuan marinir dengan GAM di Desa Alue Matang Aron, Kecamatan Simpang Ulim, Kabupaten Aceh Timur, 12 Desember 2003.
Muncul pertanyaan tentang status jurnalis selama meliput konflik bersenjata dan bagaimana status jurnalis yang turut-serta (embedded journalist) dengan satuan militer untuk meliput pertempuran.
Dalam Pasal 8 UU No. 40/1999 tentang Pers secara jelas menyatakan bahwa profesi wartawan mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya.
Hukum humaniter atau dahulu disebut sebagai hukum-hukum perang (the law of war) mengatur status dan kedudukan jurnalis selama konflik bersenjata. Jauh sebelum konvensi Palang Merah atau Konvensi Jenewa 1949 lahir, status dan kedudukan jurnalis telah diatur dalam annex dari Konvensi IV Den Haag 1907 tentang Penghormatan Hukum-hukum Perang serta Kebiasaan Perang di Darat (Respecting the Laws and Custom of War on Land).
Berangkat dari isi Pasal 13 Konvensi IV Den Haag 1907 tersebut, dapat disimpulkan bahwa seorang jurnalis (dengan istilah: newspapers correspondent and reporters) yang jatuh ke tangan salah satu pihak berkonflik dan ditahan maka dia diperlakukan (treated) sebagai tawanan perang.
Jurnalis tersebut bukan dianggap sebagai tawanan perang. Untuk memenuhi syarat diperlakukan sebagai tawanan perang, para jurnalis harus memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh pimpinan angkatan bersenjata yang mereka ikuti. (hukumonline.com, Bhatara Ibnu Reza, Status Jurnalis dalam Konflik Bersenjata, 5/1/2004)
Jurnalis yang meliput konflik bersenjata adalah pekerjaan dengan risiko tinggi yang setiap orang telah memahaminya, termasuk Ersa Siregar. Namun, risiko bukan menjadi faktor utama ketika jurnalis dihalang-halangi, diintimidasi serta menjadi target dari operasi militer oleh para pihak yang bertikai.
Mereka yang terlibat konflik tidak dapat melepasan diri dari tanggung jawabnya untuk memberikan perlindungan (protection) serta memberikan penghormatan (pay their respect) terhadap profesi jurnalis selama meliput konflik. Pelanggaran terhadap hukum humaniter dan hukum kebiasaan internasional justru tidak menguntungkan posisi masing-masing pihak yang bertikai.
Satu hal yang terpenting, pemegang otoritas angkatan perang tidak sepantasnya menjadikan jurnalis sebagai bagian dari dirinya yang aktif dalam permusuhan, namun mereka harus memberikan perlindungan berupa pemberian akreditasi. Dengan akreditasi inilah para jurnalis akan merasa percaya diri dalam menjalankan profesinya. Mereka mendapatkan perlindungan dan penghormatan dari kedua belah pihak yang berkonflik.
Deklarasi Istanbul 2023
Terkait perlindungan wartawan itu, Perum LKBN ANTARA menegaskan dukungan atas perlindungan kepada jurnalis di daerah konflik, seperti Palestina harus dilakukan/diberikan.
“Itu sudah menjadi komitmen kantor berita bahwa perlindungan terhadap wartawan harus dilaksanakan, khususnya di daerah konflik, termasuk di Palestina,” kata Direktur Utama Perum LKBN ANTARA, Akhmad Munir, setelah menghadiri Konferensi dan Pertemuan Ke-51 Dewan Eksekutif Organisasi Kantor Berita se-Asia Pasifik (OANA) di Istanbul, Turki, Senin. (antaranews.com, Selasa, 24/10/2023)
Menurut Cak Munir, sapaan akrab Dirut ANTARA, wartawan saat meliput harus mendapat perlindungan dari pihak mana pun karena sedang menjalani tugas jurnalistik. Selain itu, dia juga mengapresiasi dan mendukung Deklarasi Istanbul 2023 yang disepakati dalam Pertemuan Ke-51 Dewan Eksekutif OANA dengan salah satu poin mengangkat pentingnya perlindungan bagi wartawan di Palestina.
Poin keempat yang tertulis dalam Deklarasi Istanbul 2023 menyatakan, “OANA sangat prihatin atas kondisi di Jalur Gaza, Palestina dan memperingatkan pentingnya perlindungan bagi para wartawan di kawasan itu dan mendesak seluruh institusi serta organisasi untuk melakukan upaya penuh dalam memastikan keamanan pada wartawan”.
Saat pembukaan Konferensi OANA, Direktur Utama Kantor Berita Turki Anadolu, Serdar Karagoz sebagai penyelenggara acara itu, mengingatkan akan pentingnya pemberian perlindungan bagi jurnalis di daerah konflik, termasuk Palestina.
Dalam konferensi bertema “Kerja sama kantor berita dalam memberantas disinformasi” itu, Presiden OANA yang juga Direktur Utama Kantor Berita IRNA, Ali Naderi, mengatakan disinformasi membuat kondisi di Palestina semakin panas. Karena itu kantor berita perlu meningkatkan peran dalam memberantas berita palsu atau disinformasi.* wasmowiyoto-kisuta.com