Minggu, 28 April 2024
Artikel Opini
Kolom

Sensitif, Penyebutan Jumlah Massa dalam Suasana Pemilu

Widodo Asmowiyoto Mantan Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat. Saat ini jadi tim asesor Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI Pusat.
Senin, 6 November 2023

KISUTA.com - Judul di atas masih menggelayuti pikiran penulis –sebagai wartawan—dalam suasana tahun politik atau pemilihan umum kali ini: 2023-2024. Lama berkiprah sebagai insan pers di zaman Orde Baru, mestinya “gangguan pikiran” itu harus sudah tidak ada lagi di era reformasi saat ini. Namun faktanya masih saja menggoda. Mengapa?

Seperti banyak diliput media massa –juga media sosial--, Aksi Akbar Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Minggu 5 November 2023, dihadiri oleh begitu banyak manusia. Sejak awal panitia menyebut acara tersebut akan dihadiri 2 juta orang bahkan bisa lebih.

Tanpa dihitung satu-satu, harapan kehadiran 2 juta orang itu tergambar di Lapangan Monumen Nasional pagi-siang itu. Harapan pengundang menjadi kenyataan. Atau mendekati kenyataan. Harap maklum, acara ini bersifat lintas agama, lintas politik, lintas kelompok. Semua pihak boleh hadir, bahkan diharapkan hadir. Termasuk semua calon presiden diundang dan diharapkan hadir.

Mereka adalah rakyat Indonesia. Termasuk pemerintah yang diwakili Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi; Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas; dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Ketua DPR, Puan Maharani, juga hadir. Mereka –termasuk para tokoh masyarakat-- sangat antusias hadir di Lapangan Monas karena ingin membuktikan bahwa Indonesia pro Palestina.

Dulu saat Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaanya, Palestina adalah barisan pendukung awal kemerdekaan Indonesia. Rakyat dan bangsa Palestina sangat mengerti apa arti kemerdekaan, dan kemerdekaan itulah yang hingga kini mereka terus perjuangkan untuk diraih. Aksi akbar di Monas tersebut merupakan penegasan bahwa (rakyat) Indonesia masih mendukung Palestina.

Bahwa kini ada segelintir rakyat Indonesia yang cenderung atau bahkan terang-terangan mendukung Israel, itu merupakan bukti keberhasilan pihak Israel mempengaruhi masyarakat internasional, termasuk Indonesia. Pemerintah Israel rela membayar para buzzer untuk membela keberadaan Israel.

Hal itu merupakan tantangan tersendiri bagi siapa pun yang kelak menjadi penguasa di Indonesia. Hingga detik ini masih jelas bahwa Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel. Tapi ada saja pihak yang berusaha “menghadirkan Israel” di bumi Indonesia.

Terkait susana pemilu
Kembali ke soal penyebutan jumlah orang dalam kerumunan massa yang hadir dalam suatu acara besar, bagi jajaran pengelola redaksi media massa memang masih menjadi permasalahan, terutama dalam suasana pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan presiden (pilpres).

Sebetulnya para wartawan –atau jajaran pengelola redaksinya—tidak perlu ragu untuk menyatakan jumlah yang hadir di Lapangan Monas tersebut sesuai fakta. Sebut saja dua juta orang sesuai harapan panitia. Atau kalau tidak persis dua juta ya mendekati atau lebih kurang dua juta orang.

Jika penyebutan jumlah tersebut –mendekati atau lebih kurang dua juta orang—masih meragukan, lebih baik sebut saja ratusan ribu orang. Atau lebih dari satu juta orang. Mengapa?

Intinya jangan sampai hanya menyebut “ribuan orang” –seperti ada media yang menyebut dalam beritanya-- untuk menggambarkan jumlah yang menghadiri acara aksi akbar di Lapangan Monas tersebut. Pertanyaannya lagi, mengapa?

Ya, kalau disebut ribuan, itu hanya kisaran angka 1.000 sampai 10.000. Kalaupun disebut “puluhan ribu orang”, itu pun masih menggambarkan jumlah antara 10.000 hingga 100.000. Pertanyaannya, masak yang hadir tersebut hanya maksimal 10.000 orang atau 100.000 orang, padahal massanya sangat menyemut.

Sebagai bukti, secara umum stasiun televisi juga menayangkan gambar lautan manusia di Lapangan Monas itu. Gambar senada yang juga ditayangkan oleh media sosial. Jadi, pada saat yang sama, kini khalayak pemirsa atau masyarakat luas dapat membandingkan konten pemberitaan di media massa (arus utama atau konvensional) dengan media sosial.

Berdasarkan hasil membading-bandingkan itu, masyarakat dapat menilai independensi dan kredibilitas media massa yang menyiarkan acara Aksi Akbar Bela Palestina tersebut. Kalau untuk kepentingan membela Palestina saja ada media massa di Indonesia yang bersikap tidak obyektif, maka apalagi jika khalayak luas nanti juga menyimak pemberitaan tentang pemilu dan pilpres.

Taati Kode Etik Jurnalistik
Dalam suasana menjelang pemilu dan pilpres nanti, boleh jadi akan berseliweran upaya kekuatan politik untuk mempengaruhi pengelola media massa, baik wartawan di lapangan maupun jajaran redaksi di kantor. Tentang jumlah orang yang menghadiri acara kampanye misalnya, boleh jadi akan ada “permintaan khusus” dari pihak tertentu. Biasanya cenderung minta dibesarkan atau dilebih-lebihkan.

Ketegangan sikap mungkin saja akan terjadi di antara jajaran pengelola redaksi media massa. Bisa antar-wartawan internal sebuah perusahan media massa, bisa juga antara wartawan di lapangan dengan jajaran redaktur sebuah media massa di kantor, atau bahkan antara jajaran redaksi dengan bagian lain yang mengelola aspek bisnis.

Karena itu sudah menjadi kelaziman, menjelang pelaksanaan pemilu dan pilpres, sebuah perusahaan media massa mengadakan rapat khusus tentang kebijakan redaksi yang ingin ditempuh. Dalam forum itu lazim terjadi tarik-menarik pendapat dan pandangan. Visi dan misi sebuah media kembali didiskusikan, dan diperbincangkan bagaimana penerapannya di lapangan.

Bagi jajaran pers atau media massa nasional, sudah ada pedoman baku yang harus dipegang teguh dan diterapkan yakni Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pasal 1 menyebutkan, “Wartawan Indonesia bersikap indenpenden, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”.

Tafsir atas Pasal 1 itu adalah, a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan obyektif ketika persitiwa terjadi. c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Selebihnya terserah Anda. Namun patut dicatat, kini masyarakat luas gemar membandingkan konten media massa dengan medsos yang diwarnai hoaks itu. Bagi media massa arus utama (mainstream), posisi konten seharusnya tetap sebagai raja (content is the king). Tinggi rendahnya kepercayaan khalayak berawal dari kualitas konten dan pada gilirannya dapat mempengaruhi sikap khalayak terhadap brand media Anda.***


KATA KUNCI

BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya