Apa Mungkin Menghapus Korupsi di Indonesia?

KISUTA.com - Judul di atas penulis sedikit modifikasi dari subjudul “Menghapus Korupsi di Indonesia (Apa Mungkin)” dalam buku karya Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL berjudul “Menjaga Kemerdekaan Pers di Pusaran Hukum”. Buku tersebut diterbitkan oleh Dewan Pers, November 2010, dengan penyunting Wina Armada Sukardi.
Buku tersebut tentu terkait dengan posisi Prof. Bagir Manan masa itu sebagai Ketua Dewan Pers periode 2010-2013 dan 2013-2016. Sebelum memimpin Dewan Pers, beliau adalah Ketua Mahkamah Agung periode 2001-2008. Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran itu pernah pula menjabat Rektor Universitas Islam Bandung periode 1985-1986 dan 2000-2001.
Dengan latar belakang seperti itu, kita tidak perlu meragukan kompetensi Profesor kelahiran 6 Oktober 1941 di Kalibalangan, Abung Selatan, Lampung Utara, Provinsi Lampung untuk menganalisis tentang perkembangan korupsi di Indonesia. Karena itu penulis merasa layak untuk mengutip pemikiran beliau dalam buku tersebut, terutama terkait dengan terus maraknya kasus korupsi di tanah air.
Tentang maraknya kasus korupsi itu masyarakat bisa menyimak sendiri pemberitaan media massa. Namun sebagai indikator, dikutip di sini informasi yang menyebutkan pada Semester I tahun 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima 2.707 laporan dugaan korupsi. Terbanyak Jakarta (359 kasus), kemudian Jawa Barat (266), Jawa Timur (213), Sumatra Utara (202), dan Jawa Tengah (135). (Nabilah Muhamad, databoks.katadata.co.id, 15/8/2023)
Ketua KPK, Johanis Tanak, menjelaskan, laporan tersebut berasal dari lingkungan pemerintahan. “Laporan ini terkait dengan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi di kementerian atau lembaga atau pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten maupun kota di BUMN maupun BUMD,” kata Tanak melalui konferensi virtual pada Senin (14/8/2023).
Perkembangan terakhir dalam suasana menjelang pemilihan umum dan pemilihan presiden 2024, ada nama menteri yang diduga atau terbukti melakukan tindak korupsi. Bahkan hari-hari ini juga berlangsung pemeriksaan ketua KPK yang diduga melakukan pemerasan kepada mantan Menteri Pertanian. Ironis memang.
Akar korupsi di luar hukum
Dalam bukunya tadi Prof. Bagir Manan antara lain mengatakan, “Telah lama dikumandangkan pemikiran mengenai berbagai akar persoalan korupsi. Bahkan ada yang berpendapat memberantas korupsi dengan cara-cara penegakan hukum tidaklah menyentuh dasar atau akar korupsi. Korupsi bukan hanya, bahkan tidak berakar pada persoalan hukum. Hukum hanya mengungkap peristiwa korupsi, bukan memecahkan persoalan korupsi. Akar korupsi berada di luar hukum”.
Memperhatikan cara pandang tersebut, Prof. Bagir menyatakan sudah waktunya membenahi berbagai fenomena di luar hukum yang bukan saja bertalian tetapi sebagai akar korupsi. Yakni, 1. Tatanan dan tingkah laku korup, 2. Tatanan dan tingkah laku birokrasi, 3. Tatanan dan tingkah laku sosial, 4. Tatanan dan tingkah laku ekonomi, 5. Kekacauan paradigma konstitusi, 6. Kekecauan sistem penegakan hukum.
Penjelasan dari poin-poin tersebut akan dikutip di sini, tentu saja secara singkat. Menurut Prof. Bagir Manan, selama ini kepada kita diajarkan, sistem kekuasaan atas dasar kediktatoran atau otoritarian dan lain-lain nama dengan maksud yang sama, merupakan tempat subur korupsi.
Pendapat tadi dirangsang oleh ungkapan seperti “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” (Lord Acton). Pertanyaannya, bernarkah hanya sistem kediktatoran atau otoritairan dan lain-lain semacam itu yang akan menjadi tanah subur korupsi yang dirangsang oleh berbagai penyalahgunaan kekuasaan dan pemerintahan tanpa kontrol?
Ternyata dalam sistem yang mengklaim diri demokrasi pun korupsi dapat merajalela. Mengapa? Bukankah dalam demokrasi ada kontrol, ada partisipasi luas masyarakat, dan berbagai sarana dan mekanisme demokrasi?
Demokrasi akan menjadi korup dan menjadi sumber segala korupsi, kalau semua sarana dan mekanisme demokrasi hanya sekadar simbol, sekadar gincu, atau bedak. Kenyataan riil justru demokrasi tidak dijalankan menurut syarat dan dasar kejiwaan demokrasi itu sendiri.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Selain karena tidak dipenuhi syarat dan dasar kejiwaan demokrasi seperti tuntutan rule of law, korupsi dalam demokrasi terjadi karena demokrasi hanya diperlukan sebagai fenomena kekuasaan, demokrasi tanpa tanggung jawab dan disiplin, demokrasi tidak disertai moral.
Birokrasi lahan korupsi
Prof. Bagir Manan menjelaskan, seperti dikatakan David Orborne dkk (Reinventing Government), birokrasi harus selalu ada dan senantiasa diperlukan. Tetapi penyakit timbul apabila birokrasi menjadi birokratik, karena segala sesuatu menjadi tidak mudah, kompleks, dan berbelit-belit. Bukan saja tidak mudah, kompleks dan berbelit-belit, tetapi dalam banyak hal tidak masuk akal.
Birokrasi semacam itu merupakan lahan korupsi karena, Pertama, diikuti penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power). Seperti ditulis oleh Montesquieu (The Spirit of the Laws), setiap kekuasaan selalu ada muatan “greedy” (tamak). Begitu pula yang dikatakan Acton, setiap kekuasaan selalu ada kecenderuungan disalahgunakan.Kedua, penggajian yang sangat ganjil. Bukan saja rendah, tetapi dari hitungan apa pun tidak masuk akal. Untuk menutupi keadaan yang tidak masuk akal, maka korupsi merajalela. Ada dua cara korupsi, yakni dengan cara-cara yang dianggap dibenarkan hukum yaitu dengan menciptakan berbagai kegiatan sampingan yang dibayar. Selain itu, dilakukan secara melawan hukum. Sangat disayangkan, reformasi birokrasi tidak pernah dilakukan secara mendasar.
Sebagian besar rakyat tidak berdaya menghadapi birokrasi yang tidak mudah, kompleks, dan berbelit-belit. Rakyat tidak berdaya, baik urusan kecil maupun urusan besar. Sampai-sampai di lingkungan universitas pun, menurut Prof. Bagir, seringkali dijumpai ulah birokrasi yang menyulitkan. Birokrasi menjadi lingkungan kekuasaan tersendiri, lepas dari ikatan sebagai sporting unit tugas pokok organisasi yakni tugas akademik.
Persoalkan tatanan ekonomi
Menurut Prof. Bagir Manan, banyak yang mempersoalkan tatanan ekonomi dan tingkah laku ekonomi Indonesia. Sistem ekonomi tidak atau sangat kurang berorientasi pada kesejahteraan umum, sebesar-besarnya kemakmuran atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
“Lebih jauh ada yang mencatat, tatanan ekonomi kita berangsur-angsur dikuasai dan dijalankan demi kepentingan asing. Kita tidak kompeten untuk membicarakan hal tersebut, apalagi secara keilmuan. Namun, common sense dan dari lubuk hati kita yang paling dalam, tidak akan disalahkan kalau mengatakan, kita menyaksikan kemiskinan di mana-mana (di kota dan desa, di pantai dan di bukit-bukit). Di balik itu kita menyaksikan pula kemakmuran yang melimpah atau berlebihan untuk sebagian kecil bangsa kita,” paparnya.
“Ahli-ahli ekonomi kita –terutama yang duduk dan menyokong penguasa—rajin secara statistik mendemonstrasikan angka-angka pertumbuhan. Tentu tidak salah, sebagai satu kenyataan. Tetapi semestinya ada hubungan signifikan dengan kesejahteraan nelayan, buruh, dan petani yang secara nyata bekerja mencapai angka statistik yang hebat tersebut. Ini persoalan hati nurani, bukan persoalan statistik,” ujar Prof. Bagir lagi.
Tentang kekacauan paradigma konstitusi, Prof. Bagir Manan menyatakan kekacauan itu tidak secara langsung menimbulkan korupsi, tetapi dapat berpengaruh pada tindakan dan tingkah laku koruptif. “Saya hanya akan mengambil beberapa contoh kekacauan paradigma berkonstitusi,” lanjut akademisi yang mulai merantu ke Bumi Parahiyangan pda usia 20 tahun (1961) itu.
Pertama, sistem pemerintahan. Telah menjadi communion doctorum, kalau hanya (sekali lagi ‘hanya”) Presiden yang memimpin dan bertanggung jawab menjalankan pemerintahan, disebut presidensil. Sebagai konsekuensi, tidak boleh ada pranata-pranata parlementer, seperti hak interpelasi.
Kedua, pengertian DPR sebagai badan legislatif. Pengertian ini lebih ditegaskan dengan menyebut “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang” (Pasal 20 ayat 1). Di negara-negara seperti Amerika Serikat, dua pertiga waktu Kongres dipergunakan untuk membahas dan membentuk undang-undang. DPR di Indonesia lebih menonjolkan fungsi kontrol sehingga penuh dengan kegiatan di luar membentuk UU (selama lima bulan, tahun 2010, DPR tidak membentuk satu pun UU). Bahkan yang lebih ganjil, DPR banyak mengambil dan menjalankan fungsi pemerintahan (supra). Ini suatu anomali.
Ketiga, sistem pemilihan umum, sistem kepartaian, dan sistem pemerintahan. Sistem itu sekarang tidak sesuasi dengan tujuan sistem presidensil yang menghendaki pemerintahan demokratik yang kuat dan stabil sehingga dapat menjalankan kebijakan tanpa diganggu.
Keempat, sistem presidensil dan koalisi. “Sudah menjadi dalil, tidak ada koalisi dalam pemerintahan presidensil,” ujar Prof. Bagir sambil memberi penjelasan panjang lebar.
Terakhir tentang kekacauan sistem penegakan hukum, menurut Prof. Bagir, sangat nyata karena ada penegak-penegak hukum yang korup. Beliau mencatat hal-hal yang berpengaruh pada tingkah laku korup itu.
Pertama, keterbukaan peluang berperkara di pengadilan, sehingga pencurian tiga buah kakao, atau pencurian satu atau dua sabun mandi sampai ke pengadilan. Menurut Laporan Tahunan MA 2008, ada dua juta perkara masuk ke pengadilan tingkat pertama (diputus lk 98 persen). Lebih dari 10.000 perkara masuk ke MA (di Mahkamah Agung Amerika hanya lk 90 perkara).
Kedua, kehadiran berbagai lembaga ad hoc. Salah satu aspek ad hoc adalah karena ada keadaan yang tidak dapat ditangani secara biasa, artinya ada keadaan abnormal. Memelihara berkepanjangan tata cara peradilan semacam itu berarti memelihara keadaan abnormal. Semestinya yang dilakukan adalah memberdayakan pranata yang ada agar memenuhi tuntutan baru.
Ketiga, merajalelanya markus (makelar kasus) yang begitu berkuasa menentukan perjalanan perkara, dan ini tidak hanya dilakukan orang biasa, tetapi oleh advokat.
Berbagai kekacauan di atas, menurut Prof. Bagir Manan, sangat kondusif bagi berbagai korupsi dalam proses penegakan hukum. “Sekali lagi saya perlu menekankan, perlu ada pertimbangan ulang usaha memberantas korupsi dengan meluaskan cakupannya. Kita memerlukan pembaharuan integral dan radikal untuk menuju cita-cita bernegara. Di berbagai tempat saya katakana dunia kampus sangat diharapkan berperan,” tegasnya pada acara diskusi pemberantasan korupsi oleh Alumni FH Unpad Angkatan 1970-1979 di Bandung, 22 Mei 2010.
Setelah 13 tahun berlalu, apakah pesan Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL itu sudah terwujud, tentu saja masyarakat luas dapat menilainya.***