Minggu, 28 April 2024
Artikel Opini
Kolom

Dosa-dosa Media Amerika

Widodo Asmowiyoto Mantan Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat. Saat ini jadi tim asesor Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI Pusat.
Senin, 13 November 2023

KISUTA.com - Jangan dulu buru-buru tidak berkenan atau bahkan marah dengan judul di atas. Judul tersebut penulis kutip dari buku karya Jerry Duane Gray, mantan US Air Force dan Wartawan Metro TV & CNBC Asia: “Dosa-dosa Media Amerika Mengungkap Fakta Tersembunyi Kejahatan Media Barat”.

Buku setebal 251 halaman berbahasa Indonesia itu diterbitkan oleh Ufuk Press, Cetakan I Juni 2006. Kata Pengantarnya oleh Effendi Gazali, PhD, MPS ID, Koordinator Program Master Komunikasi Politik, Universitas Indonesia dan Arief Suditomo, Pemimpin Redaksi RCTI.

Penulis tertarik untuk membaca lagi buku ini karena sejak tanggal 7 Oktober 2023 lalu terjadi perang antara Palestina versus Israel. Perang yang terutama dimotori oleh militan Hamas ke wilayah Israel itu kemudian mendapat perlawanan tentara Israel ke Gaza.

Perang tersebut telah merenggut banyak korban. Tercatat lebih dari 10.000 warga Gaza atau warga Palestina meninggal dunia. Banyak di antaranya perempuan dan anak-anak. Sedangkan warga Israel –termasuk tentara-- yang tewas tercatat 1.400-an orang, tapi belakangan diralat oleh pemerintah Israel hanya 1.200-an.

Termasuk korban tewas tadi adalah para wartawan peliput perang. Hingga 5 November tercatat 36 orang. Terbanyak wartawan Palestina (31), kemudian Israel (4), dan Lebanon (1). Menurut Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ), tercatat pula 8 wartawan terluka, 3 hilang, dan 8 ditangkap. (Cindy Mutia Annur, Katadata.co.id, 6/11/2023)

Tidak berimbang
Mengapa penulis tiba-tiba ingin membaca lagi buku karya Jerry D. Gray itu? Jerry mengatakan, media berita tak lain jembatan yang menghubungkan kita dengan dunia. Melalui “jembatan” ini kita mengetahui beragam peristiwa di seantero jagat. Namun sayangnya, tidak semua media yang hadir laik dijadikan “sahabat terpercaya”. Ada sebagian yang didominasi kepentingan atau pihak tertentu hingga laporan yang disajikan tidak lagi berimbang.

Contohnya kasus Irak (2003). Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal. Namun, menurut Jerry, dengan bantuan media korporat Amerika, Presiden Amerika Serikat, George Bush (saat itu) membohongi publik agar percaya pada kabar tersebut.

Contoh-contoh lain, peristiwa serangan Sebelas September (terkenal dengan sebutan 9/11) pada 2001 yang memiliki banyak kejanggalan dan ditengarai hasil rekayasa Amerika sendiri, penyiksaan tahanan di Abu Gharib dan Guantanamo, distorsi fakta penyakit dan obat-obatan atau produk yang membahayakan kesehatan, dan masih banyak lagi.

Bahkan ada pula peristiwa yang sebenarnya penting, tapi diacuhkan sama sekali. Singkatnya, sekarang dunia penuh dengan kebohongan dan muslihat pemimpin barat yang didukung media korporat. Dusta dan muslihat itulah yang Jerry D. Gray tunjukkan kepada masyarakat melalui buku karyanya itu.

Lalu, apakah kebohongan dan muslihat dimaksud juga kini dilakukan oleh media barat dalam meliput dan melaporkan perang Palestina versus Israel yang masih berlangsung hingga saat ini?

Jawabannya tentu saja “bisa ya, bisa tidak”. “Bisa ya” karena Presiden Amerika Serikat atau pemerintah AS telah jelas dan tegas mendukung zionis Israel. Boleh jadi ada media di sana yang tetap bersikukuh membela kebijakan pemerintah AS sehingga kebijakan pemberitaannya mendukung Israel.

Besar kemungkin juga ada media di AS yang tidak mendukung kebijakan pemerintahnya dan juga tidak mendukung Israel. Sebab, belakangan ada kecenderungan –bahkan fakta—semakin banyak negara di dunia yang mendukung Palestina. Banyak warga AS sendiri yang melakukan demontrasi menentang Israel.

Prinsip-prinsip jurnalisme
Perusahaan media massa dan wartawan di mana pun kini, harus sangat hati-hati untuk melakukan kebohongan sekalipun untuk mendukung kebijakan pemerintahnya. Sebab, dengan maraknya media sosial, kini khalyak dapat membandingkan sekaligus untuk mengecek kebenaran konten media massa yang dilangganinya.

Sebaliknya, dengan berkembang pesatnya media sosial, idealnya media massa arus utama (mainstream) justru harus mampu berperan sebagai “penjernih informasi”. Jangan sampai media massa --yang juga kini sering disebut sebagai media konvensional-- itu malah diwarnai atau bahkan dipenuhi berita bohong.

Mengakhiri penulisan bukunya, Jerry D. Gray yang lama tinggal di Indonesia itu, mengulas prinsip-prinsip jurnalisme yang mirip dengan isi buku berjudul “Sembilan Eelemen Jurnalisme, Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik” karya Bill Kovach & Tom Rosenstiel pada 2001.

Kesembilan prinsip itu digambarkan sebagai teori jurnalisme. 1. Tugas utama seorang wartawan adalah (mengungkapkan) kebenaran. 2. Loyalitas utama adalah kepada masyarakat. 3. Esensinya adalah disiplin memverifikasi. 4. Praktisinya harus mandiri dari peristiwa yang diliput. 5. Harus berperan sebagai pengawas independen bagi kekuasaan. 6. Harus memberikan forum bagi kritik dan kompromi publik. 7. Harus menarik dan relevan. 8. Berita harus komprehensif dan proporsional. 9. Praktisinya harus diperbolehkan menuangkan pikirannya sendiri.

Jerry D. Gray, kelahiran Weisbaden, Jerman, 24 September 1960 itu, menjelaskan, jurnalisme adalah penulisan yang ditandai dengan presentasi fakta langsung atau deskripsi kejadian tanpa upaya menafsirkan dan tanpa opini. Sedangkan tujuan utama jurnalisme adalah memberikan informasi akurat dan terpercaya yang dibutuhkan publik agar berfungsi dalam masyarakat sekarang ini.

Jurnalis zaman sekarang, menurut Jerry yang beristrikan orang Indonesia itu, adalah sosok panutan. Mereka mengidentifikasi tujuan, pahlawan, dan penjahat masyarakat sembari memberikan edukasi untuk meraih perspektif yang lebih baik tentang peristiwa yang sesungguhnya terjadi.

Dalam menghadirkan berita terdapat sejumlah syarat lain, di antaranya menghibur, berperan sebagai pengawas publik, dan menawarkan suara bagi mereka yang tidak bisa bersuara. Seiring waktu, jurnalis mengembangkan sembilan prinsip inti demi memenuhi tugas-tugas di atas.

Andreas Harsono, dalam epilognya di buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” (edisi terjemahan, Yayasan Pantau, 2006) tersebut, menceritakan pendapat Bill Kovach saat ditanya dalam acara di Kelompok Jawa Pos, Surabaya, Desember 2003.

Pertanyaan itu adalah, “Elemen mana yang prioritas untuk wartawan dalam suasana perubahan macam Indonesia?” Media di Surabaya –dan juga umumnya di Indonesia-- baru mulai merdeka sesudah jatuhnya Jenderal Soeharto pada Mei 1998.

Kovach mengatakan, semua elemen penting. Namun bila harus memilih satu, dia memilih independen untuk jadi prioritas media di Indonesia. Wartawan harus tetap independen dari semua pihak yang mereka liput. Ini penting karena media di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, selama ini –khususnya zaman Orde Baru (pen)-- belum pernah bebas dari sensor dan pengaruh pemerintah.

Seperti ditulis Andreas Harsono, Kovach mengutip pendapat Presiden Jimmy Carter, “Ketika kau memiliki kekuasaan, kau menggunakan informasi untuk membuat orang mengikuti kau punya kepemimpinan. Namun kalau kau seorang wartawan, kau menggunakan informasi untuk membantu orang mengambil sikap mereka masing-masing”.***


KATA KUNCI

BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya