Jumat, 10 Oktober 2025
Artikel Opini
Kolom

Menyimak 25 Tahun Era Reformasi

Widodo Asmowiyoto Mantan Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat. Saat ini jadi tim asesor Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI Pusat.
Kamis, 16 November 2023

KISUTA.com - Tak terasa era reformasi sudah berlangsung 25 tahun. Resminya bermula sejak lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Hari-hari ini, November 2023, bangsa Indonesia sedang sibuk menghadapi pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) pada 14 Februari 2024 mendatang.

Pertanyaannya, masih adakah semangat reformasi selama seperempat abad itu? Berbagai peristiwa yang selama ini mewarnai negeri kita tercinta, terutama politik dan hukum, apakah masih mencerminkan semangat reformasi tersebut? Apalagi setelah peristiwa terakhir yang sangat menghebohkan, yakni keputusan Mahkamah Konstitusi terkait batasan umur bagi calon presiden dan wakil presiden.

Analisis tentang perjalanan era reformasi pastilah telah melahirkan banyak buku dan bahan bacaan lainnya dari para akademisi, politisi, pemerintah, dan entah siapa lagi. Tapi dari sejumlah bahan bacaan yang penulis miliki, terselip satu buku berjudul “Repotnasi” karya almarhum Dr. Wikrama Iryans Abidin.

Buku tipis setebal 100 halaman itu sengaja penulis pilih. Tujuannya agar menjadi amal jariyah bagi penulisnya, almarhum Dr. Wikrama Iryans Abidin, kelahiran Bangko, Jambi, 27 September 1954. Sejak 1975 atau sejak mahasiswa, almarhum memang sudah aktif di bidang pers.

Dimulai sebagai wartawan mahasiswa (1976), Pak Wikrama kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Suratkabar Mahasiswa UI (SKKUI) “Salemba” (1978-1980). Pada periode 2006-2009, Wikrama menjadi anggota Dewan Pers. Pada saat buku karyanya berjudul “Repotnasi” diterbitkan pada Februari 2012, Wikrama menjadi anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat.

Pada 19 Juli 2013, Wikrama meraih gelar doktor dari Fakultas Hukum UI. Disertasinya berjudul “Perlindungan Konstitusional Kemerdekaan Pers: Absennya Jaminan UUD 1945 Terhadap Kemerdekaan Pers Indonesia pada Sebelum dan Sesudah Reformasi”. Mungkin sudah menjadi takdirnya, Dr. Wikrama Iryans Abidin wafat pada hari Jumat 30 Desember 2016.

Tak kunjung lenyap
Dalam sebuah perbincangan di Sekretariat PWI Pusat, almarhum sempat mengatakan kepada penulis kolom ini, dia sengaja memberi judul bukunya “Repotnasi”. Maksudnya untuk menggambarkan suasana tahun-tahun awal era reformasi yang masih diwarnai banyak orang miskin sehingga untuk makan nasi pun terasa repot.

Secara resmi, melalui Kata Pengantar, almarhum menulis begini, “Di Era Reformasi nyatanya aneka praktik buruk pada Era Soeharto, juga tak kunjung lenyap. Padahal, demokrasi dan kebebasan pers sudah berjalan. Bukan hanya wakil rakyat di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Presiden juga sudah dipilih langsung rakyat. Di bidang pers, sudah tak ada yang tabu diberitakan, tidak ada izin terbit, tidak ada pers bredel. Penguasa juga sulit menyembunyikan aib dan praktik KKN pejabat dari sorotan berita pers”.

“Toh, perubahan yang dijanjikan tak kunjung tiba. Kalau pada Era Soeharto popular julukan putra-putra, ponakan, putu (P4) sebagai pemain bisnis dan politik dengan payung kekuasaan; kini juga berulang. Penguasa tetap berpesta di atas derita yang mendera rakyat. Rakyat miskin, yang mencuri singkong untuk sekadar menafkahi keluarga mereka terjadi pada Era Soeharto; di Era Reformasi, juga ditemui wong cilik terpaksa mencuri pisang, biji coklat, untuk menafkahi keluarga mereka”.

“Repetisi isu sosial politik dari Era Soeharto ke Era Reformasi, merupakan salah satu alasan bagi penerbitan buku ini. Melalui rangkaian essay yang juga dapat disebut essay jurnalistik ini; yang ditulis dalam dua ruang dan waktu yang berbeda, ditemui benang merah yang menggambarkan fenomena yang sama. Yang berbeda hanya penamaan sistem pers otoriter berubah menjadi liberal; sistem politik otoriter berubah menjadi demokratis”.

“Sementara sikap penguasa, tidak berubah. Jika pada sistem pers otoriter yang memetik manfaat dari jargon kebebasan pers yang bertanggung jawab adalah penguasa; maka pada Era Pers Liberal, yang paling berbahagia adalah juragan pers, pemilik modal, karena atas nama kemerdekaan pers mereka dapat mengeksploitasi pranata pers sebagai komoditi. Tak heran kemudian, nasib rakyat tetap tidak berubah lebih baik dan didera kemiskinan dengan berbagai perilaku ketidakadilan”.

Meritokrasi
Dalam bukunya ini, almarhum Wikrama juga menuliskan diskusinya dengan rekannya di Singapura, seorang wartawan senior, tentang suksesi di negeri kota yang terkenal bersih dari korupsi itu.

“Dapatkah calon pemimpin bangsa disiapkan,” tanya Wikrama.

“Oh, tentu bisa. Kalau tak percaya, lihat saja negeri kami. Sejak dini kami tahu siapa yang akan memimpin negeri kota ini,” jawab rekannya.

“Itu sih namanya karbitan,” sindir Wikrama. “Mana mungkin calon pemimpin dikarbit seperti buah,” sanggah rekannya dan menambahkan, “Kalau di antara calon pemimpin di Singapura ada anak mantan pejabat, itu sih kebetulan. Tapi, dasarnya, tetap merit system. Yang mempertahankan budaya kerja dan politik yang bersih. Itu intinya”.

“Bukankah calon pemimpin selain cerdas dan unggul, mesti ditempa dari bawah?” tanya Wikrama tak puas.

“Kan ada seleksi dan kompetisi. Seterusnya, ya kita lihat sajalah nanti,” jawabnya.

“Bagaimana di tempat you?” rekan Wikrama bertanya.

“Oh, konstitusi kami setengah abad lalu mengaturnya,” jawab Wikrama sekenanya. Namun, dalam hati Wikrama tak bisa membohongi diri sendiri. Sebab, setiap menjelang pemilu kita biasa mendengar bisik-bisik dan kasak-kusuk politik soal suksesi. Banyak politisi dan pejabat yang datang ke “dukun politik”. Lalu ada pula yang mengutak-atik ramalan Joyoboyo dengan menghubung-hubungkan nama sejumlah tokoh.

Agar tak tercecer, Wikrama mengalihkan pembicaraan kembali ke soal meritokrasi dan anak muda yang unggul secara akademis. Bagi kalangan swasta Indonesia, meritokrasi sudah banyak yang mempraktikannya. Begitu juga, tentang anak-anak muda Indonesia lulusan Universitas “lubang jarum” Harvard. Barangkali, jumlahnya lebih banyak ketimbang Singapura.

Cuma, tragisnya, merit system belum mewarnai proses suksesi di dunia politik di Indonesia. Juga tak ada jaminan terhadap anak-anak muda yang punya track record bagus, serta lulus dari sekolah-sekolah unggul, bisa menjadi pemimpin.

“Kami pun sama-sama terdiam. Lalu manggut-manggut. Mungkin pertanda saling paham,” tulis Wikrama.

Dalam hal suksesi di Singapura, menurut almarhum, orang yang paling berbangga tentu Menteri Senior Lee Kuan Yeuw, Mantan Perdana Menteri Singapura. Sebab, dialah arsitek Singapura. Setelah bangunan ekonomi dan politik Singapura kokoh, dengan tenang posisi PM pun dia serahkan kepada generasi keduanya, PM Goh Chok Tong.

Saat Wikrama berdiskusi dengan rekannya di Singapura itu, terdapat empat nama calon pemimpin Singapura abad ke-21. Mereka dikenal sebagai “The Gang of Four”, saat itu rata-rata berusia di bawah 45 tahun dan punya posisi penting dalam pemerintahan. Hebatnya, semuanya jebolan universitas paling bergengsi di Amerika Serikat, Universitas Harvard.

Meraka adalah Brigjen Lee Hsien Loong (44 tahun). Jabatan terakhir wakil PM, menteri kedua pertahanan, dan menteri perdagangan dan industri; Brigjen George Yeo (41 tahun), menteri penerangan dan seni, juga menteri kesehatan; Lim Hng Kiang (42 tahun), menteri pembangunan nasional; dan Laksamana Muda Teo Chee Hean (41 tahun), menteri lingkungan.

Tak berniat seumur hidup
PM Goh Chok Tong, waktu itu berusia 55 tahun, juga sudah menyiapkan suksesi berdasarkan merit system atau meritokrasi. Dia berniat tidak akan menjadi PM seumur hidup. Siapa pun yang mampu, dipersilakan untuk menggantikannya.

Kalau kita kini, tahun 2023, menyimak Singapura, Perdana Menterinya adalah Lee Hisen Loong, salah satu dari “The Gang of Four” tadi. Namun kini dia sudah berusia lanjut, 71 tahun. Gegara ada pandemi Covid 19, dia kini masih menjabat PM.

Wakil PM Singapura, Heng Swee Keat, dinilai merupakan sosok utama yang digadang-gadang akan menjabat sebagai PM selanjutnya, menggantikan Lee Hsien Loong. Namun, pada hari Kamis 8 April 2021, Heng mengatakan bahwa dia ingin membuka jalan bagi orang yang lebih muda untuk mengambil alih posisi tersebut. Usianya yang sudah menginjak 60 tahun menjadi alasannya untuk keluar dari pencalonan.

PM Lee Hsien Loong menyatakan setelah Heng Swee Keat mengumumkan untuk mengundurkan diri, “Suksesi tetap menjadi tugas yang mendesak dan tidak dapat dtunda”. (amp.dw.com, 9/4/2021)

Lee berharap pemimpin baru akan segera ditetapkan sebelum pemilihan umum berikutnya yang dijadwalkan pada akhir 2025. “Saya tidak berniat untuk bertahan lebih lama,” kata PM Lee, yang telah dua kali selamat dari kanker.

Karena itu, politik Singapura yang biasanya tenang kini mengalami gejolak. Pasalnya kandidat utama suksesi perdana menteri yakni Heng Swee Keat mengundurkan diri dari pencalonan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan tentang masa depan pemimpin Negeri Singa itu.

Namun, PM Lee Hsien Loong memastikan bahwa serentetan skandal politik yang baru-baru ini menguncang partainya tidak akan menggagalkan rencananya untuk menyerahkan kekuasaan kepada generasi pemimpin yang lebih muda. (dw.com, 21/8/2023)

“Sekarang Covid sudah berlalu dan rencana suksesi saya telah kembali ke jalurnya,” kata Lee dalam pidato tahunannya yang dikenal sebagai National Day Rally itu.***


KATA KUNCI

BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya