Jumat, 3 Mei 2024
Wisata & Sejarah

Lokasi Jembatan Mojo, Sangat Bersejarah bagi Solo Raya

Selasa, 2 Januari 2024
mojo.jpg
Wasmowiyoto-KISUTA.com
GAPURA bersejarah di bawah Jembatan Mojo.*

KISUTA.com - Jembatan Kampung Mojo, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo adalah satu dari tiga jembatan besar di atas bengawan yang menghubungkan Solo dengan beberapa daerah kabupaten di sekitarnya. Dua jembatan besar lainnya adalah Jembatan Jurug dan Jembatan Bacem.

Bengawan dimaksud adalah Bengawan Solo, nama sungai besar dan panjang yang berhulu di Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah dan berhilir di beberapa daerah di Provinsi Jawa Timur. Peran sangat strategis bengawan ini bagi kehidupan jutaan rakyat di kedua provinsi itu telah diabadikan oleh seniman keroncong kenamaan, almarhum Gesang, melalui sebuah lagu berjudul “Bengawan Solo”.

Untuk transportasi dengan masyarakat luar dan jauh, Jembatan Jurug dan Jembatan Bacem lebih dulu ada dibanding Jembatan Mojo. Jembatan Jurug menghubungkan Solo dengan Kabupaten Karanganyar (arah timur), Provinsi Jawa Tengah yang sekaligus dapat menghubungkan dengan daerah-daerah lain di Provinsi Jawa Timur, antara lain Kabupaten Ngawi, Kota Madiun, dan Kabupaten Magetan.

Sedangkan Jembatan Bacem menghubungkan Solo dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri di arah selatan, keduanya masuk Provinsi Jawa Tengah. Namun melalui jembatan itu pula para pengguna jalan dapat menuju Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur.

Lokasi Mojo yang sangat bersejarah
Secara resmi Jembatan Mojo baru dibangun pada tahun 1985. Sejak itu warga Solo Timur khususnya Kecamatan Pasar Kliwon dapat mudah berhubungan dengan warga Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo. Semula, bertahun-tahun, kedua warga daerah itu hanya dapat berhubungan “darat” melalui perahu atau sampan terbuat dari bambu.

Perahu kecil yang dirakit dari sejumlah bambu dan disebut “perahu getek” itu dapat mengangkut sejumlah orang dan barang bawaan. Barang bawaan bisa berupa sepeda ontel, sepeda motor, dan barang dagangan bagi para pedagang kecil.

Dulu –dan mungkin hingga kini—warga Kecamatan Mojolaban terkenal dengan produksi “karak” atau “sejenis kerupuk berbahan baku gendar”. Rasanya gurih dan agak asin, sangat enak saat dimakan berbarengan dengan saat makan soto hangat. Untuk berjualan di Kota Solo mereka memanfaatkan keberadaan “perahu getek” tersebut.

Pada saat arus Bengawan Solo sedang besar lantaran berlangsung musim hujan, “nakhoda getek” harus sangat hati-hati saat menyeberangkan para penumpang. Nakhoda itu –tidak sendirian-- sangat mengandalkan keberadaan “kawat baja” atau “tali” penghubung dari ujung ke ujung tepian Bengawan, selain telah bersiap dengan alat-alat pengayuh perahu. Dengan keterampilan dan keahlian menyeberangkan para penumpang itulah mereka mendapatkan penghasilan untuk menyambung kehidupan.

Dulu, pada tahun 1800-an atau abad ke-19, bantaran Bengawan Solo di wilayah Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon malah merupakan “kota pelabuhan”. Hal itu tidak lepas dari keberadaan dermaga yang kini menyisakan gapura di bawah Jembatan Mojo.

Menurut budayawan Kecamatan Pasar Kliwon, KRT Joko Wiranto Adi Nagaro, sebelum ada jembatan dulunya –pada era 1800-an-- kawasan itu merupakan bandar atau pelabuhan Sungai Bengawan Solo. Saat itu merupakan era Putra Mahkota Paku Buwana (PB) IV, Raden Mas Sugandi.

“Dulu menjadi kota kecil sehingga terjadi hilir-mudik masuknya para pedagang yang notabene dari mancanegara, termasuk dari Tiongkok dan VOC lewat itu,” katanya.

Joko Wiranto mengungkapkan, akses masuk dan keluar para pedagang menjadikan kawasan itu berkembang menjadi kota pelabuhan kecil di pinggir Bengawan Solo. Sebelum ada Jembatan Mojo, kawasan itu menjadi jalur penyeberangan antara Kota Solo dan Kabupaten Sukoharjo.

“Menyusuri tanggul ke selatan dari jembatan ada jalan tanggul dan replika perahu sebagai bukti sejarah Perahu Rajamala yang dipakai untuk mobilitas di situ sampai ke Madura. Perahu Rajamala merupakan perahu Keraton Solo yang diluncurkan pada 19 Juli 1811 oleh Putra Mahkota PB IV, Raden Mas Sugandi. Rajamala merupakan ikon Semanggi/Mojo. Kemudian Keraton membangun gapura yang kini berada di bawah Jembatan Mojo pada era PB X,” papar Joko. (soloraya.solopos.com, Minggu, 22/5/2022)

Banjir besar tiga hari
Peristiwa lain yang sangat bersejarah adalah terjadinya banjir besar di Solo pada Maret 1966 akibat jebolnya tanggul Bengawan Solo antara lain di kawasan Mojo. Banjir itu merendam hampir 75 persen wilayah Kota Solo selama tiga hari (16-18 Maret) dan mengakibatkan 90 orang meninggal dunia.

Para korban itu terdiri atas 72 warga Solo dan 18 warga luar Solo. Banjir besar itu juga mengakibatkan 611 rumah roboh dan 711 rumah rusak. Ada pula tiga unit rumah terbakar, sedangkan 7.500 orang kehilangan tempat tinggal.

Berdasarkan kronologi kejadian, banjir dipicu oleh luapan Bengawan Solo yang menyebabkan tanggul-tanggul penahan jebol. Wilayah terdampak banjir meliputi wilayah Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Jebres, Kecamatan Serengan, dan Kecamatan Banjarsari.

Wilayah yang tidak tergenang hanya Kecamatan Laweyan (Solo Barat) dan Kelurahan Mojosongo (Solo Utara yang wilayahnya berada di dataran relatif tinggi). Saat itu luasnya genangan banjir menimbulkan suasana yang menyeramkan, karena Alun-Alun Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat bahkan menjadi seperti “kedung” (waduk). (soloraya.solopos.com, Selasa, 15/3/2022)

Revitalisasi Jembatan Mojo
Jembatan Mojo yang dibangun pada 1985 itu pada gilirannya semakin tua sehingga secara teknis semakin lemah. Karena itu pada pertengahan tahun 2022 lalu pemerintah berniat melakukan vitalisasi jembatan yang memang setiap hari dilalui oleh ribuan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat tersebut.

Pelaksanaan revitalisasi selama lebih kurang tiga bulan dan menghabiskan biaya sekitar Rp 28 miliar itu akhirnya diresmikan awal Desember 2022 lalu. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPU-PR) Kota Solo, Nur Basuki, mengatakan ada perubahan struktur jembatan dari plat lantai beton diganti dengan plat autotrophic.

Sebelum direvitalisasi, menurut Basuki, ada beberapa permasalahan di jembatan. Salah satunya pada bagian bawah jembatan ada yang harus diganti karena usianya sudah 30 tahun. Kemudian waktu uji dengan beban 20 ton kendaraan melintas jembatan terasa bergetar. Sementara untuk kembali ke semula membutuhkan waktu sekitar 210 detik.

“Ini hasil ujinya belum kita dapatkan. Setelah ini nanti mungkin ada uji dinamis dengan uji dari status jembatan. Jembatan Mojo akan dievaluasi setelah setahun beroperasi pascarevitalisasi. Semua laporan yang masuk akan dijadikan analisa dan kajian terhadap jembatan ini,” ungkap Basuki. (kompas.com, 2/12/2022)

Dengan berakhirnya tahun 2023 dan masuk tahun 2024 ini, semoga kajian pascarevitalisasi Jembatan Mojo telah ada hasilnya dan bisa diterapkan. Bagaimanapun, kehadiran dan keberadaan Jembatan Mojo telah berdampak positif bagi perkembangan daerah di sekitarnya baik yang berada di wilayah Kota Solo maupun Kabupaten Sukoharjo.

Saat melawat ke daerah di sekitar Jembatan Mojo pertengahan Desember 2023 lalu, penulis menyaksikan kemajuan fisik yang sangat kontras dengan keadaan perkampungan 40-an tahun lalu. Kelurahan Semanggi telah menjadi permukiman yang semakin padat dan berwajah perkotaan. Sedangkan di sebelah timur Bengawan Solo, Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo telah banyak berubah, terutama ditandai dengan semakin banyak kompleks perumahan yang relatif baru.* wasmowiyoto-kisuta.com


KATA KUNCI

BAGIKAN

BERI KOMENTAR
masjidraya